New York, MINA – Amerika Serikat (AS) pada Selasa (13/2) menggambarkan sikap Myanmar yang mengelak tuduhan pembersihan etnis atau genosida terhadap Muslim Rohingya sebagai ‘tidak masuk akal’.
Washington menyeru Dewan Keamanan PBB untuk menuntut militer Myanmar bertanggung jawab dan agar Aung San Suu Kyi mengakui tindakan mengerikan yang sedang terjadi di dalam negaranya.
“Militer yang sangat berkuasa dalam pemerintahan Burma telah menyangkal pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine,” kata Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley kepada Dewan Keamanan.
“Untuk memastikan tidak ada seorang pun yang membantah sangkalan mereka yang tidak masuk akal, mereka mencegah akses ke Rakhine kepada siapa pun atau organisasi mana pun yang mungkin menjadi saksi kekejaman mereka, termasuk Dewan Keamanan PBB,” kata Haley.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Duta Besar PBB Francois Delattre juga mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa pembantaian Muslim Rohingya yang dilaporkan oleh Reuters mungkin “merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Namun, upaya untuk mendorong Dewan Keamanan menindak Myanmar kemungkina tidak akan mulus. Pasalnya, Rusia dan Cina kemungkinan besar akan menggunakan hak veto mereka.
Kedua diplomat negara itu pada Selasa mengatakan bahwa situasi di Rakhine stabil dan terkendali.
“Menggunakan label dan mencoba untuk menggunakan laporan media yang kontradiktif dan subyektif … untuk mengetahui siapa yang bersalah dan mengutuknya, hanya memindahkan kita lebih jauh dari solusi,” kata Wakil Duta Besar Rusia Dmitry Polyanskiy memperingatkan.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Hampir 690.000 Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine dan menyeberang ke selatan Bangladesh sejak Agustus lalu, ketika serangan terhadap pos keamanan oleh gerilyawan memicu sebuah tindakan keras militer yang menurut PBB mungkin sepadan genosida.
“Kondisi belum kondusif untuk pemulangan pengungsi Rohingya,” kepala pengungsi PBB Filippo Grandi mengatakan kepada Dewan Keamanan.
Laporan khusus Reuters, yang diterbitkan pekan lalu, memaparkan tentang pembunuhan 10 orang Rohingya dari desa Din Din di negara bagian Rakhine. Mareka dikubur di sebuah kuburan massal setelah tubuh mereka disayat-sayat sampai mati atau ditembak oleh Buddhis atau tentara.
Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Belanda dan Kazakhstan, semua menyerukan pembebasan jurnalis Reuters selama pertemuan Dewan Keamanan pada hari Selasa. (T/R11/RI-1)
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Miraj News Agency (MINA)