Kairo, 7 Dzulqo’dah 1435/2 Agustus 2014 (MINA) – Kementerian Luar Negeri Turki memanggil duta besar Amerika Serikat (AS) di Ankara untuk menjelaskan pemberitaan di media Jerman atas dugaan penyadapan AS.
“Jika dugaan ini benar, maka Amerika Serikat harus menghentikan semua kegiatan mata-mata yang menargetkan Turki dan lembaga-lembaganya, baik di dalam negeri dan luar negeri,” kata Kementerian Luar Negeri negara itu dalam pernyataan tertulis, Senin, sebagaimana dikutip kantor berita Anadolu dan Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Kuasa Perhubungan Kedutaan AS Jess Baily dipanggil ke Kementerian Luar Negeri atas dugaan AS memata-matai Turki, Wakil Perdana Menteri Bulent Arinc mengatakan kepada reporter.
Menurut laporan mingguan Jerman Der Spiegel, AS telah memata-matai Turki melalui dua stasiun intelijen rahasia di Istanbul dan Ankara sejak lama.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Kemenlu Turki mengatakan hal itu tidak bisa diterima dan tidak sesuai dengan hubungan persahabatan dua negara.
Mingguan Jerman itu menulis, intelijen NSA milik AS bekerja sama dengan rekan intelijennya dinas rahasisa Inggris mengenai Turki dan juga saling berbagi informasi yang diperoleh intelijen dengan rekan Inggris-nya.
Laporan mingguan Jerman itu melaporkan pada 16 Agustus, bahwa badan intelijen luar negeri Jerman juga telah memata-matai Turki sejak 2009, menimbulkan kecaman keras dari Ankara.
Arinc menekankan Turki terus melakukan negosiasi dengan agen intelijen Jerman mengenai hal ini.
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Mengenai hal lainnya, Arinc mengatakan pihaknya mengetahui perkembangan terbaru mengenai sandera warga Turki oleh militant ISIS, mengatakan mereka masih hidup, dan saling melakukan kontak.
“Komunikasi antara sandera Turki dan keluarga mereka terus berjalan,” katanya.
ISIS menangkap 49 staf konsulat Turki pada Juli, termasuk anggota konsul jenderal dan keluarganya di kota Irak Mosul.(T/R04/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas