Brussels, 19 Rabiul Awwal 1435 / 21 January 2014 ( MINA ) – Perdana Menteri Turki , Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan Presiden Uni Eropa , Jose Manuel Barroso, Selasa di Brussels, membahas krisis Timur Tengah yang berkepanjangan.
Mereka membicaraan penanganan krisis Suriah, perkembangan nuklir Iran, dan referendum Mesir yang baru saja diumumkan hasilnya oleh pemerintahan sementara.
Dalam pertemuan itu, Barrosa menekankan, Uni Eropa dan Turki harus menjadi mitra penting dalam membantu menangani krisis Timur Tengah.
Baca Juga: Diplomat Rusia: Assad dan Keluarga Ada di Moskow
Setelah pertemuan di Brussels, mereka dijadwalkan akan menuju Jenewa untuk mengikuti konferensi perdamaian Suriah, 22 Januari mendatang, Kantor berita Anadolu melaporkan seperti dikutip Mi’raj Islamic News Agency ( MINA ).
Referendum di Mesir
Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Kairo, Ahad pagi (19/1) melaporkan pihak panitia referendum mengatakan pemungutan suara dalam referendum ini diikuti oleh 20,5 juta jiwa dari 53 juta yang mempunyai hak pilih.
“Menurut panitia tingkat partisipasi referendum mencapai 38,6 % dibanding referendum sebelumnya, meskipun angka ini bertentangan dengan laporan media masa yang menyebutkan dari tiap kegubernuran suara hanya mewakili sekitar 11,3% saja,” lapor koresponden Dany Novery.
Baca Juga: Penulis Inggris Penentang Holocaust Kini Kritik Genosida Israel di Gaza
Ketua Pemilu Mesir Nabil Shalib mengatakan 19,985,389 jiwa dari 20,5 juta jiwa memilih “YA” untuk referendum, atau sekitar 98%. Adapun menurutnya, 381 ribu orang atau sekitar 1,9% memilih “TIDAK” untuk referendum konstitusi yang kini diubah setelah militer mengkudeta presiden demokratis pertama mereka, Muhamad Mursi.
Sementara itu, Aliansi anti kudeta yang mendukung Mursi terus mengkampanyekan protes damai di seluruh Mesir atas referendum perubahan konstitusi yang diubah di saat pemerintah kudeta belum memiliki presiden tetap sejak penggulingan Mursi. Mereka juga menuntut pembebasan Mursi dan ribuan aktivis lainnya yang hingga kini ditahan di penjara-penjara Mesir.
Ikhwanul Muslimin Mesir menyatakan, hasil referendum Mesir, 14-15 Januari 2014 yang diselenggarakan pemerintahan transisi sarat dengan kecurangan.
“Rezim saat ini tidak mampu mengadakan pemungutan suara yang adil karena rakyat berada dalam tekanan militer. Sejak 3 Juli 2013 lalu, militer selalu mengintimidasi warga, terutama yang pro Presiden Mursi,” tulis ikhwanul Muslimin dalam sebuah pernyataannya, Ahad.
Baca Juga: Polandia Komitmen Laksanakan Perintah Penangkapan Netanyahu
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Tinggi mengatakan, angka partisipasi rakyat pada referandum kali ini lebih tinggi dibanding referendum 2012 lalu ketika dilakukan oleh pemerintah Mursi,” tulis pengadilan itu dalam statemen resminya.
Sementara itu, Pusat Penelitian HAM untuk Kebebasan kawasan Arab (The Arab Observatory for Rights and Freedoms) merilis angka berbeda dari Komisi Pemilihan Tinggi Mesir itu. LSM itu mencatat partisipasi rakyat Mesir dalam referendum kali ini hanya 11,3 persen.(T/P04/E1)
Mi’raj Islamic News Agency ( MINA )
Baca Juga: Ratusan Ribu Warga Spanyol Protes Penanganan Banjir oleh Pemerintah