Oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Antropolog Menetap di Banda Aceh
Baru-baru ini, Saya mengikuti rangkaian kegiatan short course tentang Existence and Meaning: A Multidimensional Approach, dilaksanakan oleh Risale-I Nur Research Platform of Uskudar University (RINAP), Turkiye dengan Institute Integrated Knowledge (IIK), Amerika Serikat.
Program tersebut menggunakan dua model, yaitu online dan on-site class di kampus Universitas Uskudar, Istanbul. Adapun kelas on-site dilaksanakan sejak tanggal 12-17 Agustus 2024. Dalam kesempatan inilah saya belajar memahami negara Turkiye, selama seminggu di Istanbul.
Saya tertarik untuk menuangkan bagaimana kesan saya selama berada di Kota Istanbul. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menjelaskan pengalaman saya mengambil kegiatan perkuliahan. Saya akan mencari kesempatan lain untuk menyajikan pengalaman saya mengikuti kursus ini. Tentu saja, ini merupakan pengalaman subjektifitas saya sendiri, sebagai peneliti sosial antropologi, apa yang saya tangkap itulah yang ingin saya sajikan dalam tulisan ini.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Masyarakat Stres
Keadaan masyarakat yang stres, itulah kesan pertama, ketika saya menginjakkan kaki di Istanbul. Petugas yang kurang ramah. Namun, tidak sedikit juga warganya yang begitu ramah, ketika saya meminta tolong. Di bandara, beberapa kali dibentak oleh petugas kepolisian, sambil membelalak matanya mengatakan: “Look! I do not know! Itulah pemandangan yang saya alami. Mereka sukar berbahasa Inggris.
Namun, beberapa ada juga yang piawai dalam bahasa Inggris. Keramahan memang saya dapatkan, khususnya ketika menanyakan persoalan untuk informasi perjalanan. Mereka tidak tersenyum, sambil menunjukkan arah kepada saya, tempat yang harus saya tuju.
Namun, istilah “masyarakat stres” ini saya dapatkan ketika mengetahui bahwa warga Turkiye sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Mata uang mereka, lira sedang terseok-seok di hadapan dolar dan euro. Antara penghasilan dengan pengeluaran tidak stabil. Angka stres ini, lalu semakin meningkat, ketika krisis ekonomi menimpa masyarakat Turkiye. Mereka terkadang marah tanpa sebab kepada orang lain dan pasangan. Darting adalah istilah untuk menggambarkan darah tinggi. Suara yang besar dan keras, adalah hal yang biasa dijumpai.
Namun, di balik itu semua, masalah ekonomi sedang mendera negara Turkiye. Bahkan seorang warga mengatakan sudah ada fenomena warga yang bunuh diri di Selat Bosporus. Data tentang angka bunuh diri di Turkiye dengan terjun ke Selat Bosporus memang telah banyak dikaji oleh para sarjana. Mereka yang tidak tahan dengan penderitaan kehidupan.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Masyarakat Turkiye yang memiliki penghasilan yang tidak sesuai dengan gaya kehidupan Eropa, rupanya harus mengakhiri kehidupan mereka di Selat Bosporus. Upah minimal yaitu sekitar 7 jutaan rupiah, tidak lagi mampu menahan beban ekonomi. Banyak yang mengamuk, ketika mereka makan di restoran, harganya meningkat tajam. Angka perceraian pun sekarang, menurut info warga setempat, semakin meningkat.
Beberapa wanita Indonesia yang menikah dengan pemuda Turkiye di Istanbul, mengingatkan bahwa sekarang, bukanlah saat yang tepat untuk mengincar pemuda Turkiye sebagai pasangan hidup. Sebab, keluarga besar di Turki, menurut warga ini, sedang dalam masalah perekonomian yang cukup memprihatinkan. Harus diakui bahwa tren mencari pemuda Turkiye sebagai calon pasangan hidup sudah menggejala di Indonesia. Namun, ketika mereka tidak tahu latar belakang dan keadaan ekonomi calon pasangan, ketika sampai di Turkiye, malah bencana yang akan dihadapi.
Dalam konteks ini, pola perdagangan manusia juga menjadi momok yang menakutkan, ketika menyimak beberapa kisah kedatangan warga Indonesia yang dijanjikan untuk dipekerjakan di Timur Tengah. Kenyataanya menjadi “budak” di salah satu perbatasan di Negara Turkiye.
Eropanisasi
Melihat Turkiye memang harus dilihat dari kaca mata Eropa. Bahkan Selat Bosporus menjadi pemisah mana kawasan “Eropa” dan “Asia.” Nuansa kebaratan memang begitu kental di Turkiye. Pola pergaulan bebas yang terlihat di depan mata, tidak dapat dikesampingkan. Karena itu, ketika menginjakkan kaki di Istanbul, saya malah melihat ada sesuatu yang “hilang” di kawasan ini, dibandingkan ketika membaca berbagai literatur mengenai Kejayaan Islam di negeri ini. Proses menjadi Eropa memang sangat diinginkan oleh Turki. Kendati sampai sekarang belum berhasil masuk dalam sistem Uni Eropa karena beberapa persyaratan untuk menjadi Uni Eropa belum dapat dipenuhi oleh Negara Turkiye.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Jejak kekuatan Islam di Istanbul sangat kental. Ketika berkeliling naik Bus Keliling Kota, tampak bahwa peninggalan Islam begitu dominan di Istanbul. Jejak Islam selalu tampak dari bangunan dan berbagai artefak sejarah Islam. Karena itu, ketika dijelaskan tampak bahwa sejarah Turkiye sebenarnya Sejarah Islam di Eropa. Kemegahan Istana Topkapi menjadi saksi sejarah bagaimana kekuatan Islam menjadi begitu dominan. Para sultan di Turkiye berhasil menjayakan Islam sampai ke seluruh penjuru dunia. Namun, hal ini menjadi kenangan hari ini, kalau kita menginjakkan kaki di Istanbul, misalnya.
Semua menjadi “Eropa” dan Islam adalah masa lalu. Karena itu, saya merasa tidak begitu nyaman ketika sampai di Kota Istanbul. Ketidaknyamanan ini bukan karena situasi kekinian, tetapi harus membuka lembaran sejarah untuk memahami sejarah Turki Ustmani dalam konteks keadaan sebagai Turkiye yang nge-Eropa saat ini.
Islam menjadi aset wisata Negara Turkiye saat ini, khususnya ketika dihadapkan dengan kondisi krisis yang berkepanjangan di negara ini. Dengan kata lain, Islam menjadi museum kehidupan kesadaran masa lalu masyarakat Turkiye. Kalau tidak ada jejak Islam di negara ini yang sudah menjadi obyek wisata, maka dapat dibayangkan apa upaya lain untuk mendapatkan devisa negara, di tengah posisi Turkiye secara global.
Saat ini, Turkiye menjadi negara modern. Kehidupan warganya begitu nge-Eropa. Bunyi azan di mana-mana, walaupun yang mengisi saf sangat jarang sekali. Jejak spiritual Islam di negara ini memang sangat kuat dan kental sekali. Namun, hal ini belum menjadi pemandangan yang dapat ditemukan di ruang publik. Tentu saja, kesan saya bukanlah murni benar semua, mengingat bahwa dalam sejarah kejayaan Islam sejak 1299, Turkiye menjadi salah satu Pusat Peradaban Islam yang cukup diingat oleh umat Islam secara global.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Dari De-Sekulerisasi ke Re-Islamisasi
Sejak 2014, tampaknya Turkiye ingin melakukan proses De-Eropanisasi dengan sangat memusuhi istilah “sekularisme”. Dalam kesempatan mengikuti Short Course ini tampak bahwa ada upaya kuat dari bangsa Turki untuk menuju Islam kembali sebagaimana masa lalu. Mereka sangat membenci sekularisme dan menjadi musuh yang sangat menakutkan.
Diceritakan bahwa hampir beberapa dekade, umat Islam tidak dapat menikmati menjadi Muslim yang bebas di negara ini, oleh karena rezim pemerintahan Kemal Attaturk. Mereka tidak boleh belajar mengaji di rumah. Studi Islam menjadi suatu yang amat dijauhi. Karena itu, dalam keadaan seperti inilah, umat Islam Turkiye ingin kembali lagi menjadi salah satu kekuatan Islam di Eropa.
Mereka ingin melawan sekularisme Eropa dengan kembali pada ajaran dan pemikiran Islam yang telah lama mereka tinggalkan karena proses sekularisasi di negara ini. Dalam konteks ini, kekuatan pemikiran Islam, dari berbagai tokoh pembaru Islam di Turkiye sudah mulai diperkenalkan dalam konteks nasional maupun global. Kajian demi kajian tentang pemikiran tokoh, seperti Said Nursi, sudah menjadi begitu mainstream di sudut-sudut bangunan wakaf di Turkiye. Mereka selalu ingin berbicara tentang keilmuan falsafah, supaya dapat melawan cara pandang Barat yang telah merusak worldview orang Islam di negara ini.
Karena itu, kemunculan pemimpin yang ingin menghadirkan Islam sebagai acuan utama, sangat disukai oleh masyarakat Muslim. Kendati terkadang mereka harus berhadapan dengan kepentingan global, yang tidak menginginkan Islam sebagai salah satu kekuatan global utama. Erdogan sangat populer di Turkiye, tetapi dalam konteks perekonomian tampaknya belum tentu demikian. Karena itu, proses Re-Islamisasi yang dilakukan di Turkiye saat ini, menjadi masalah tidak hanya di level Eropa, tetapi berhadapan dengan kepentingan Barat, yang menginginkan kekuatan Islam tidak menjadi penentu tatanan global.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Narasi di atas adalah murni kesan selintas saya yang hanya berkenalan dengan Turkiye salama beberapa hari saja. Oleh karena itu, narasi ini bukanlah sesuatu yang mutlak benar. Sangat boleh jadi pembacaan saya keliru. Namun, dalam satu diskusi saya dalam kuliah dengan Dr. Mustafa Tuna, ada kalimat yang kami diskusikan yaitu: mereka belum tentu salah, kendati kita juga belum tentu benar.
Dalam konteks inilah, pemahaman saya mungkin tidak benar dan juga belum tentu keliru. Apa yang saya amati selama di Istanbul membuktikan bahwa ada kekuatan sejarah kejayaan Islam yang tidak dapat dikuburkan, ketika Turkiye menjadi Eropa. Pada saat yang sama, ada kekuatan baru dari Eropa yang terus berusaha untuk membenamkan kekuatan daripada pengaruh Islam di negara ini.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital