DI ZAMAN modern ini, manusia seolah hidup hanya untuk mengejar uang. Setiap hari dihitung dengan nominal, setiap detik dinilai dengan materi. Banyak yang mengukur kesuksesan dari banyaknya harta, bukan lagi dari keberkahan hidup atau ketenangan jiwa. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kita menjadi budak dunia. Justru Islam datang untuk membebaskan manusia dari perbudakan dunia yang menyesakkan.
Kini banyak orang yang rela berhutang demi terlihat “berkelas”. Mereka beli barang yang tidak mereka butuhkan, dengan uang yang tidak mereka miliki, hanya untuk mengesankan orang yang bahkan tidak peduli. Gaya hidup konsumtif menjadi jebakan yang memperbudak hati dan pikiran. Sementara dalam Islam, hidup sederhana dan bersahaja adalah salah satu tanda dari kemuliaan akhlak dan kematangan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri hidup sangat sederhana. Beliau pemimpin umat, tapi tidurnya di atas tikar, makannya sekadarnya, dan hartanya lebih banyak diberikan kepada yang membutuhkan. Sungguh, teladan beliau adalah cermin bahwa nilai seorang manusia tidak terletak pada seberapa banyak hartanya, tapi seberapa besar ketakwaannya. Karena itu, mari kita renungkan: apakah kita masih mengikuti ajaran Rasulullah, atau justru sudah larut dalam budaya pamer dan foya-foya?
Ketika gaya hidup dipaksakan, hutang jadi pilihan. Tapi sesungguhnya, hutang bukanlah hal sepele. Dalam Islam, hutang adalah perkara berat. Rasulullah ﷺ sampai mengatakan bahwa ruh orang yang berhutang akan tertahan, tidak bisa masuk surga, sebelum hutangnya dilunasi. Bukankah ini peringatan yang sangat menggugah hati? Maka jangan biarkan keinginan sesaat mengorbankan ketenangan abadi di akhirat.
Baca Juga: Hidup Hanya Sekali, Jangan Sia-siakan!
Allah Ta’ala mengingatkan dalam Al-Qur’an, “Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Qs. Al-Isra: 26-27). Ayat ini menampar kesadaran kita. Hidup boros dan konsumtif tidak hanya merusak keuangan, tapi juga mendekatkan kita pada perilaku yang dibenci Allah. Sungguh merugi jika gaya hidup membuat kita lupa pada tujuan hidup.
Kita butuh uang, iya. Tapi uang bukan tujuan hidup. Uang hanyalah alat. Jangan sampai alat menjadi tuan atas diri kita. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kebutuhan dan keinginan, antara kerja keras dan tawakal. Jangan biarkan gengsi dan trend menipu kita dari kehidupan yang tenang dan berkah.
Mulailah memilah antara kebutuhan hidup dan gaya hidup. Jangan biarkan tekanan sosial atau pamer di media sosial menjadikan kita miskin secara ruhani. Jadikan uang sebagai sarana untuk beribadah, bukan sebagai pusat dari segala keputusan hidup. Karena sebaik-baiknya harta adalah yang digunakan untuk kebaikan dan jalan Allah.
Mereka yang hidup dalam kesederhanaan bukan berarti kalah dalam peradaban. Justru mereka sedang menang dalam menjaga diri dari hawa nafsu dan jebakan dunia. Orang yang paling kaya bukanlah yang punya segalanya, tapi yang paling cukup dengan apa yang ada. Itulah qana’ah, kekayaan hati yang tak ternilai.
Kini saatnya kita berhenti sejenak. Renungkan, untuk apa kita bekerja keras siang dan malam? Apakah untuk mengejar dunia yang fana, atau bekal akhirat yang abadi? Jangan sampai hidup habis untuk membayar cicilan demi barang-barang yang tak penting. Kembalilah kepada nilai-nilai Islam: hidup berkah, cukup, sederhana, dan penuh syukur.
Terkadang kita merasa hidup ini berat karena selalu merasa kurang. Padahal, kekurangan itu sering kali datang bukan karena kurang rezeki, tapi karena terlalu banyak keinginan. Islam mengajarkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu yang menjerumuskan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sejati) adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah kunci kedamaian sejati: hati yang merasa cukup.
Banyak orang bekerja tanpa henti, mengejar uang siang dan malam, tapi tetap merasa hampa. Kenapa? Karena mereka lupa hakikat hidup. Hidup bukan sekadar menumpuk materi, tapi membangun makna. Rezeki yang berkah itu tidak hanya yang banyak, tapi yang membawa ketenangan. Sedikit tapi cukup dan membawa keberkahan lebih baik daripada banyak tapi menyiksa hati dan menjauhkan dari Allah.
Cobalah sesekali bertanya pada diri sendiri: “Untuk siapa aku membeli ini? Apakah aku benar-benar butuh, atau hanya karena takut dianggap ketinggalan?” Jika setiap keputusan keuangan didasari oleh gengsi dan perbandingan dengan orang lain, maka selamanya kita akan hidup dalam perlombaan yang tak berujung. Islam menganjurkan untuk hidup sesuai kemampuan, bukan mengikuti tren yang membebani.
Baca Juga: MATAIN dan Taiwan Technical Mission Jajaki Kolaborasi Tingkatkan Kesejahteraan Petani Indonesia
Ingatlah, setiap rupiah yang kita keluarkan akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang… hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi). Maka jangan remehkan gaya hidup, karena itu bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal hisab di akhirat nanti.
Mari mulai perbaiki niat dan gaya hidup. Kita tidak dilarang untuk kaya, tapi jangan sampai kekayaan menjauhkan kita dari Allah. Milikilah harta, tapi jangan biarkan hati kita dimiliki oleh harta. Saat kita mampu hidup sederhana dengan hati yang penuh syukur, saat itulah kita telah memenangkan salah satu perjuangan terbesar dalam hidup: melawan hawa nafsu dan kecintaan pada dunia.
Mari kita luruskan kembali orientasi hidup. Jadilah muslim yang bijak mengelola harta, menghindari hutang tanpa kebutuhan, dan hidup sesuai kemampuan. Jangan korbankan kedamaian hanya demi gengsi. Karena ketenangan bukan datang dari banyaknya uang, tapi dari dekatnya hati kepada Allah.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Peran BAPPEBTI Jamin Keamanan Broker Forex di Indonesia