Yudhoyono-memberikan-sambutan-pada-pertemuan-GGGI-300x179.jpg" alt="Yudhoyono memberikan sambutan pada pertemuan GGGI" width="300" height="179" class="size-medium wp-image-90298" /> Yudhoyono memberikan sambutan pada pertemuan GGGI
Seoul, 8 Shafar 1437/20 November 2015 (MINA) – Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka pertemuan Dewan 8 dan Majelis 4 dari Lembaga Pertumbuhan Hijau Global (GGGI) pekan ini, di Seoul, ibukota Korea Selatan.
Sesi pertemuan dihadiri para menteri dan pejabat senior dari negara-negara anggota GGGI. Selama pertemuan, peserta membahas cara-cara untuk meningkatkan kemitraan internasional untuk mendukung pengembangan dan pelaksanaan konsep pertumbuhan hijau global dan bagaimana meningkatkan kesadaran tentang mengapa pembangunan berkelanjutan penting.
Sebuah rezim iklim baru, yang akan mulai efektif setelah 2020, akan berlaku untuk semua negara anggota dan berusaha untuk membatasi peningkatan pemanasan global sampai 2 derajat Celcius pada tingkat pra-industri, Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan, mengutip WAM dan Yonhap.
Sejumlah besar dari 196 anggota ke Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim telah menetapkan target mereka atas pengurangan emisi sukarela. AS bersikeras agar kesepatan tersebut tidak menjadi perjanjian resmi, sebaliknya Uni Eropa menyerukan kesepakatan yang mengikat secara legal.
Baca Juga: Meta Hapus 90.000 Unggahan Pro-Palestina atas Permintaan Israel
Yudhoyono menyampaikan harapan agar kesepakatan yang mengikat secara hukum bisa dicapai dalam konferensi, mengingat “komitmen kuat” yang ditunjukkan negara-negara anggota untuk mengatasi perubahan iklim sejauh ini.
“Ini tidak mudah, namun ada kemungkinan untuk memiliki perjanjian iklim internasional yang mengikat secara hukum,” kata mantan presiden Indonesia tersebut.
Yudhoyono mengatakan itu adalah “adil” bahwa negara-negara maju mendukung negara-negara berkembang sehingga mereka dapat melakukan upaya untuk memerangi perubahan iklim, mengingat kurangnya sumber daya dan teknologi yang dihadapi negara-negara kurang berkembang.
“Semua negara harus harus ikut. Negara-negara maju harus memimpin, dalam pandangan saya, tetapi semua negara-negara berkembang harus juga berbuat lebih banyak,” katanya.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Bukti Adanya Kehidupan di Planet K2-18b
“Karena kemampuan yang dimiliki negara-negara berkembang, saya harus katakan, itu tidak cukup (bagi mereka) untuk mengatasi tantangan mereka. (Itu sebabnya) kerjasama global diperlukan. Dukungan dari negara-negara kaya tentu saja diperlukan,” tambahnya.
Yudhoyono menghargai usaha Korea Selatan untuk memerangi perubahan iklim, dengan menyebut sasaran Seoul mengurangi emisi gas rumah kaca “membesarkan hati.”
“Strategi pertumbuhan hijau menarik investasi dan mengurangi risiko lingkungan, bermanfaat baik bagi ekonomi maupun lingkungan kita,” kata Dr Ahmed Al Thani Zeyoudi, Wakil Tetap Uni Emirat Arab (UEA) untuk Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dan Direktur Energi dan Perubahan Iklim Kementerian Luar Negeri UEA Luar Negeri. “Berkat visi yang jelas dari kepemimpinan kami, UEA sudah menjadi pemimpin dalam mengembangkan dan melaksanakan secara efektif inisiatif pertumbuhan hijau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”
Diskusi juga difokuskan pada bagaimana mengurangi hambatan bagi negara berkembang untuk mengadopsi strategi pertumbuhan hijau, seperti menopang pembiayaan global untuk mendukung pelaksanaan dan memastikan bahwa mekanisme pembiayaan domestik diikat menjadi Kontribusi yang ditentukan secara nasional, garis besar apa tindakan yang akan diambil berbagai negara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga: AS Cabut Visa Hampir 1.500 Mahasiswa Pro-Palestina
Pertemuan berlangsung menjelang sesi ke-21 dari Konferensi Para Pihak, COP21, oleh Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim yang diadakan di Paris bulan depan, di mana para pemimpin dunia akan berkumpul ntuk menetapkan kesepakatan global baru guna mengekang pemanasan global dan menjamin masa depan yang berkelanjutan. (T/R07/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Erdogan Pertanyakan Tidak Adanya Sanksi terhadap Israel