Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun ini akan lebih kering, terasa panas terik dan waktu lebih lama dari pada tahun sebelumnya.
Ia mengatakan salah satu faktor penyebab kekeringan itu adalah akibat fenomena El Nino, fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Dampaknya adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.
Pengurangan ketersediaan air tanah pun tak terelakkan, dan potensi kemudahan terjadinya kebakaran pun sangat memungkinkan. Sementara ketersediaan air di waduk-waduk, danau-danau buatan, kanal-kanal utama, sudah tidak mencukupi.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Apalagi di kawasan yang sudah tidak ada lagi pepohonan yang luas menghijau, hanya terlihat kering, kuning dan tandus. Maka air akan menjadi semakin sulit. Dibor sedalam apapun sudah tidak ada lagi sumber air.
Sementara persawahan yang hijau membentang telah disulap menjadi perindustrian dan perumahan, bukit-bukit dan pegunungan sudah mulai gundul bahkan botak. Menjadikan resapan sumber mata air tak tersedia cukup banyak.
Ulah manusia yang tak memperhatikan keseimbangan lingkungan karena cara pandang yang tidak holistik dan tidak ekologis, yang hanya akan mempercepat kerusakan di alam ini. Akibat keserakahan tak melihat dampak buat masyarakat sekitar dan anak cucu.
Soal kerusakan lingkungan alam ini, telah lama disinyalir dalam Al-Quran. Pada sebuah ayat Allah berfirman:
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Artinya: ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum [30]: 41).
Pada ayat lain dikatakan:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura [42]: 30).
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Berasarkan ayat-ayat tersebut, pelajaran (tadabbur) yang bisa diambil adalah bahwa merusak alam dan lingkungan merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran karena mengakibatkan gangguan keseimbangan di bumi.
Ketiadaan keseimbangan itu, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia, termasuk akan berdampak kepada manusia yang tidak berdosa di sekitarnya. Baik pada musim penghujan dengan timbulnya banjir dan longsor. Maupun pada musim kemarau dengan adanya kelangkaan sumber air dan kekeringan tanah.
Padahal, bumi, alam, dan lingkungan itu diciptakan Allah bukan tanpa arti. Penciptaan alam, lingkungan, bumi merupakan tanda keberadaan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Ini seperti Allah sebutkan di dalam Al-Quran:
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
وَفِى ٱلۡأَرۡضِ ءَايَـٰتٌ۬ لِّلۡمُوقِنِينَ
Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS Adz-Dzariyat [51]:20).
Ujian Kemarau Panjang
Menangapi musim kemarau panjang dan perubahan iklmi global yang pernah terjadi juga tahun 2015,
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
dibahas dalam Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim di Istanbul. Isinya antara lain menyerukan agar negara-negara kaya meningkatkan bantuan keuangan pada masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim.
Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim tersebut menyikapi dampak akumulatif perubahan iklim yang berlipat ganda yang ternyata menghinggai di banyak negara Muslim.
Berbagai dampak akumulatif itu bukan hanya adanya bencana alam. Namun juga sampai ke kegagalan pertanian dan peternakan dan kian memburuknya kualitas lingkungan hidup.
Ditambah dengan konflik politik perebutan kekuasaan berkepanjangan yang terjadi di negara-negara tersebut, membuat pembangunan dan perbaikan ekonomi umat tidak bisa terlaksana untuk memperbaiki keadaan.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Hasilnya, kaum miskin tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan memadai, berbondong-bondong migrasi ke wilayah urban, untuk melakukan apa saja untuk bertahan hidup.
Menduduki lahan di mana saja, di bantaran sungai, di bawah kolong jembatan dan tempat lain yang tidak layak dan kumuh, dan mereka melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi.
Keadaan ini menimbulkan banyak dampak negatif lebih lanjut. Selain berlanjutnya kemiskinan, yang terjadi juga adalah perusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup di banyak negara Muslim termasuk paling kotor di dunia, sejak dari lingkungan pemukiman sampai sungai.
Bahkan dapat menyebabkan tindak kriminalitas, pergaulan bebas, jual diri hingga kesenjangan sosial yang semakin menganga.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Tentang menjaga lingkungan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya pernah mengeluarkan Fatwa MUI No 22 tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, Fatwa MUI No 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Fatwa MUI No 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem.
MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Namun, demikianlah ulah tangan manusia. Sehingga manusia juga yang menanggung akibatnya.
Adapun dari sisi aqidah, tentu saja pada hakikatnya Allah jualah yang menurunkan hujan dari langit untuk menyirami planet bumi yang didiami oleh manusia karena salah satu keperluan dasar manusia adalah air. Namun, kekuasaan Allah jugalah yang mampu menahannya tidak turun hujan berhari-hari, hingga berbulan-bulan sekalipun.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Menunjukkan kekuasaan Allah. Silakan bisakah manusia membuat hujan buatan yang bisa membahasi bumi berhari-hari atau berbulan-bulan. Berapa milyar atau triliun harus dikeluarkan untuk itu?
Sebaliknya, panas atau kemarau, pun Allah ciptakan juga untuk keperluan manusia yang selanjutnya mengandung beberapa pelajaran. Panas diperlukan untuk memanaskan atau menghangatkan tubuh yang sedang kedinginan serta untuk mengeringkan barang-barang yang basah dan beberapa kepentingan lainnya bagi kehidupan manusia.
Bahkan energi panas matahari dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga solar, yang bisa untuk menyalakan lampu, menggerakkan mesin, hingga menghidupkan kendaraan.
Maka, apapun yang terjadi dalam kehidupan ini, baik yang muncul dari diri sendiri maupun karena orang lain serta alam, hendaknyalah kita hadapi secara wajar saja.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Jika keadaan itu berbentuk kebaikan, maka kita patut bersyukur, alhamdulillah. Sebaliknya, jika yang tidak baik menurut pandangan kita, ya kita perbanyak istighfar.
Jika ada sesuatu yang di luar batas kemampuan kita, maka sebaiknya kita perbanyaklah ungkapan kalimat tasbih kepada Allah, karena pasti semua adalah kehendak Allah semata.
Dengan memperbanyak istighfar, kaitannya dengan musaim kemarau, insya-Allah akan dapat mengundang awan untuk segera menurunkan hujan, dengan kuasa Allah.
Pada ayat-Nya, Allah menekankan:
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
Artinya: “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12).
Adapun secara amal jama’i (bersama-sama), maka dianjurkan untuk melakukan Shalat Istisqa’, yaitu shalat khusus meminta hujan, sesuai tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ini seperti disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu . Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah keluar menuju tanah lapang, kemudian shalat istisqa, beliau menghadap kiblat dan membalik kain pakaian atasan beliau.
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu menambahkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika keluar untuk melaksanakan shalat istisqa, beliau berjalan dengan tunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri kepada Allah.
Akhirnya, semua apapun yang terjadi pada diri kita dan alam semesta, banyak mengandung hikmah, pembelajaran hingga peringatan. Mengingatkan kita manusia yang banyak tersilap dan tersalah, agar segera menuju istighfar dan taubat. Astaghfirullaahal ‘adzim. (A/RS2/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)