Banda Aceh, 9 Safar 1437/21 November 2015 (MINA) – Pelaksanaan hukum-hukum syariat Islam saat ini di Provinsi Aceh berdasarkan Qanun Jinayat dan aturan lainnya, diharapkan bisa menciptakan suatu keharmonisan hidup di tengah masyarakat, bukan hanya mencapai keadilan dalam bentuk fisik.
Sehingga jika hal tersebut bisa diwujudkan, akan terlihat aspek tasawuf dalam implementasi hukum syariat, yang melindungi dan membela hak-hak masyarakat, bahkan para pelaku pelanggar syariat sekali pun setelah menjalani hukuman bisa diterima dengan baik di masyarakatnya.
”Selama ini, aspek tasawuf belum terlihat dalam penegakan hukum syariat Islam di Aceh, tapi baru dalam keadilan sekunder. Capaian tertinggi seharusnya menciptakaan keharmonisan sebagai tujuan primer,” kata Ustaz Dr. Jabbar Sabil MA., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh.
Sebagaimana keterangan pers KWPSI yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Sabtu (21/11), pengajian ITU membahas tema “Aspek Tasawuf dalam Hujjah Balighah”, sebuah kitab hukum yang pernah dipakai pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Juga hadir Kolektor Manuskrip Aceh, Tgk. Tarmizi A. Hamid, kalangan wartawan KWPSI, akademisi, ormas Islam, santri, pengusaha dan mahasiswa.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Ustaz Jabbar mencontohkan, belum adanya keharmonisan dalam penerapan hukum syariat adalah, ketika ada pelaku yang dihukum cambuk atas satu pelanggaran, sesudahnya pelaku malah mendapat ejekan dan hinaan, sebagai bentuk hukuman sosial dari masyarakat atas kesalahannya.
“Belum ada kesadaran dari masyarakat kita, ketika melihat seseorang dihukum cambuk, itu bagian dari bentuk pengampunan, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menerima hukuman itu bagian pertobatan. Jangan sampai kita merasa diri yang paling benar karena tidak dihukum cambuk, dan menganggap hina orang yang telah dicambuk. Ini adalah contoh belum ada keharmonisan dalam hukum syariat,” jelasnya.
Jabbar Sabil mencontohkan, pada zaman Kesultanan Aceh, Iskandar Muda, keharmonisan dari pelaksanaan hukum syariat Islam benar-benar diwujudkam. Misalnya ada terhadap orang yang telah dihukum potong tangan atau cambuk, lalu jika ada orang lain yang menghina dan melecehkannya, bisa dihukum.
“Orang yang telah dihukum dengan hukum Islam itu tanda sudah bersih dan diampuni oleh Allah. Bahkan jika ada yang menghina terpidana yang dipotong tangan karena mencuri atau terpidana cambuk, bisa dihukum. Ini tingkat pemahaman hukum yang menciptakan keharmonisan. Beda dengan sekarang setelah dicambuk, lalu di masyarakat dikucilkan, tanpa ada penyadaran. Ini sesuatu yang tidak Islami. Orang yang sudah dihukum, jangan dihukum lagi dengan hukuman sosial masyarakat. Hukum syariat bisa membela hak-hak terpidana, dan terhindar dari ejekan masyarakat,” terangnya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Dia menambahkan, aspek punishment atau hukuman terhadap satu pelanggaran syariat Islam adalah bagian yang tidak bisa dihindari dalam penegakan hukum. Namun aspek itu bukan satu-satunya solusi, tapi itu jadi salah satu bagian untuk pelajaran kepada orang lain agar tidak melakukan pelanggaran yang sama, serta bentuk keampunan dalam syariat, yang itu tujuan (maqasid) syariat, sehingga tercipta kemaslahatan jika semua orang menyadarinya.
“Jangan hanya fisik, selesai hukuman selesai urusan. Tapi harus ada sosialisasi orang yang sudah menerima cambuk, tidak bisa diperlakukan dengan baik hak-haknya, tanpa mendapat lagi hukuman sosial tambahan dari masyarakat,” kata Jabbar Sabil.
Ia berharap Aceh bisa menjadi pionir dalam pelaksanaan hukum Islam yang menciptakan keharmonisan, hukum tidak hanya tingkat keadilan, tapi harus pada tingkat harmonis di masyarakat pada masa post modern sekarang ini.
Ustaz Jabbar mengupas tentang pentingnya sikap saling menghargai sesama umat Islam, serta harmonisasi penegakan hukum syariat.
“Satu hal yang mencerminkan moderatisme, ternyata di Kerajaan Aceh Darussalam juga telah ditulis sebuah kitab hukum acara perdata yaitu Hujjah Balighah,” kata Jabbar Sabil.
Sebagai pegangan para qādī, kata, kitab itu ditulis dalam bahasa Jawi, sungguh mencerminkan keseriusan penerapan hukum.
“Kita merekomendasikan agar dilakukan penelitian komprehensif atas kitab Hujjah Bālighah. Sebab kitab ini merupakan bukti keseriusan usaha penerapan syariat Islam di Aceh, dan dapat memberi inspirasi bagi usaha yang sama di era kontemporer Aceh sekarang,” terangnya.(T/R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa