Banda Aceh, 23 Rabi’ul Akhir 1438/22 Januari 2017 (MINA) – Ulama Aceh asal Bireuen, Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab atau biasa disapa Tu Sop Jeunieb menyampaikan bahwa kekuasaan tanpa agama akan hancur dan kacau balau, dan agama tanpa kekuasaan akan lemah tanpa penyelamat.
“Karenanya, masyarakat harus terus melakukan kajian serius realita dan fenomena konstelasi politik selama ini. Atas semangat atau ideologi apa kekuasaan hendak diraih. Jangan sampai hanya untuk kepentingan materialisme,“ ujar Tu Sop yang juga Pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb Kabupaten Bireuen, sebagaimana keterangan pers KWPSI yang diterima MINA, Ahad.
Di sisi lain, kata Tu Sop, semua kita tahu banyak agamawan yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, tetapi sampai di mana pengaruh mereka dalam memengaruhi dan mengawal kebijakan kekuasaan berdasarkan pandangan Islam? Sampai di mana nilai-nilai Al-Quran terintegrasi dalam kebijakan lewat pengaruhnya ulama?
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru
“Faktanya di lapangan sangat ironis dan menyedihkan. Apalagi kalau ulama, agamawan dan tokoh masyarakat cenderung hanya dijadikan sebagai modalitas meraih kekuasaan, sementara itu tidak ada konsep dan agenda perbaikan dalam menjalankan kekuasaan dan mengawasinya berdasarkan nilai-nilai Islam yang disampaikan oleh para ulama,“ kata Tu Sop.
Ia mengatakan, pola pikir dan prilaku politik di Aceh semestinya wajib beda dengan daerah-daerah lain agar kita bisa menyukseskan syariat Islam. Maka, kata Tu Sop, selain seruan kebaikan di atas mimbar khutbah, majlis taklim atau lembaga pendidikan, para pencinta kebaikan juga harus bangkit melakukan suatu perubahan supaya nilai-nilai Islam akan menjadi rumusan-rumusan konstitusi pemerintahan yang akan lebih berpengaruh kepada publik menuju kebahagiaan hidupnya dunia dan akhirat.
Maka pemikiran umat Nabi Muhammad SAW yang salah dalam memahami politik, hari ini harus kita bangun arus perbaikan kembali cara berpikir tentang politik.
“Apalagi kalau ditinjau dengan kekhususan Aceh dengan syariat Islamnya. Disinilah kita semua harus berpikir bagaimana merubah paradigma politik kita agar mampu menjadi kekuatan yang mampu merumuskan nilai-nilai Islam sehingga betul-betul masuk dan mengakar dalam ranah struktural pemerintahan, sehingga syariat Islam betul-betul hadir dalam kebijakan eksekutif pemerintahan,“ ungkap Ketua I Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini.
Hal ini kata Tu Sop adalah penting supaya nilai-nilai Islam masuk ke segala aspek kehidupan sehingga seluruh dimensi kehidupan betul-betul menjadi penggerak bagi nilai-nilai Islam, sekaligus sebagai upaya untuk menjauhkan umat Islam dari pola materialisme hedonisme yang menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan politik.
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan
Menurut Tu Sop, di saat haus kekuasaan ada pihak yang melarang ulama berpolitik. Tetapi di saat kepentingan untuk menggapai jabatan, ulama juga yang dijadikan modal, yaitu dimana mereka mengesankan seolah-olah dekat dengan ulama.
“Mereka percaya bahwa untuk menggapai kekuasaan butuh ulama, tapi dalam menjalankan kekuasaan tidak butuh ulama. “Ulama lagee moto gileng, bak peuget jalan urusan moto gileng tapi watee kalheuh jalan ka hana le izin untuk jak moto gileng ateuh jalan nyan, harus peu ‘ek moto laen, ” ujar Tu Sop memberi contoh.
Efeknya, katanya, nilai-nilai agama hari ini tidak terintegrasi dalam kekuasaan. Cara-cara Islam tidak masuk dalam sistem pemerintahan karena tidak ada kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi, baik atau buruknya dunia politik ditentukan oleh masyarakat sendiri. Maka mari tawarkan perbaikan dan kebaikan, karena politik yang baik akan membuat masa depan yang baik untuk bidang kehidupan dan kehidupan setelah kematian.
Tu Sop menjelaskan, harus kita sadari bahwa dunia pemerintahan hari ini sangat berbeda dengan gaya pemerintahan masa kesultanan Aceh dahulu dimana Sultan berfungsi untuk menjalankan arahan yang telah dikonsepkan oleh para Ulama.
Menurut Tu Sop, dulu ulama merancang konsep untuk dijalankan oleh Sultan, sehingga semangat sultan dalam menjalankan pemerintahan adalah semangat agama yang didasari menjalankan konsepsi yang disusun oleh para ulama.
“Lalu kita lihat hari ini, atas semangat apa pemimpin kita menjalankan pemerintahan ? Apakah semangat agama atau semangat cari lahan kerja dan rezeki lewat pepolitikan. Karena itu tujuannya maka keluarlah ucapan ulama tidak boleh berpolitik, kerena politik itu kotor, sungguh ini merupakan bahasa pembodohan umat, “ terang ulama muda yang melahirkan buku, “Memperbaiki Orang Kuat, Menguatkan Orang Baik” ini.
Baca Juga: Pakar Timteng: Mayoritas Rakyat Suriah Menginginkan Perubahan
Tugas kita sekarang adalah bagaimana menjauhkan suprastruktur politik dari anasir-anasir jahat yg mengotorinya.
Idealnya, politik itu bukan arena bebas nilai yg menghalalkan segala cara. Karenanya, masyarakat harus betul-betul dijauhkan dari pasar (lahan) politik yang bebas nilai.
Disinilah perlunya kehadiran Islam dalam politik, yaitu untuk menyelamatkan rakyat dari potensi dirambahnya rakyat oleh “politisi jahat”.
Setelah itu, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana menggiring umat untuk melihat berbagai problematika bangsa dengan pandangan Islam, berikut juga jalan keluar atau solusi yang ditawarkan Islam. Itulah konsekuensi kita menjadi muslim.
Tu Sop juga mempertanyakan, jika pemikiran atau Undang-undang dari peninggalan Belanda mampu dijadikan aturan hukum untuk negeri ini, tapi kenapa isi Al-Quran tidak berlaku? Jawabannya adalah karena kekuasaan politik untuk memperjuangkan itu tidak ada. (L/R01/RS3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Festival Harmoni Istiqlal, Menag: Masjid Bisa Jadi Tempat Perkawinan Budaya dan Agama