Kairo, MINA – Ulama perempuan Indonesia, Iffatul Umniati Ismail, berhasil mempertahankan disertasi doktoral dengan predikat tertinggi Summa Cumlaude bidang Ilmu Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar (Putri) Kairo Mesir, Ahad, 25 Februari 2024 bertepatan dengan 15 Sya’ban 1445 Hijriyah.
Dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Selasa (27/2), disertasnya yang berjudul “Ijtihad dan Fatwa dalam Merespons Isu-Isu Hukum Kontemporer: Kajian terhadap Fatwa MUI dalam Perspektif Ilmu Ushul Fikih“ setebal 690 halaman memperoleh banyak pujian.
Dalam kajiannya terhadap fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), promovendus memaparkan, MUI mempunyai dua kecenderungan yang terlihat bertolak belakang dalam pendekatannya terhadap sebuah permasalahan baru.
Kadang-kadang MUI, katanya, terlihat sangat hati-hati dan memberatkan dengan mengeluarkan fatwa haramnya beberapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Di sisi lain, MUI kadang terlihat memudahkan atau menggampangkan ketika mengeluarkan fatwa dalam bidang medis dan pengobatan.
Harus Dibedakan Antara “Kebutuhan” dan “Kedaruratan”
Dalil yang menjadi dasar hukum dalam fatwa MUI juga tidak lepas dari analisis kritis sang promovendus.
Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Ketua IV PCINU Mesir ini menegaskan, harus dibedakan antara “kebutuhan” dan “keadaan darurat” dengan merujuk kepada pandangan para ulama klasik.
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan
Ketika sebuah tindakan medis dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diposisikan sebagai sebuah keadaan darurat, maka sebuah fatwa hanya berlaku sampai aspek kedaruratannya bisa diselesaikan.
Menurut Iffatul Umniati, jangan gampang-gampang pula menyatakan sebuah kebutuhan bisa mengabsahkan perubahan hukum dari haram menjadi boleh, tanpa pertimbangan yang lebih matang dan komprehensif.
Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Suheir Rashad Mahna, Guru Besar Ushul Fikih, Fakultas Studi Islam dan Arab, dan Co-Promotor, Prof. Dr. Turkiyah Mostafa El Sherbini, Guru Besar Ushul Fikih Studi Islam dan Arab.
Sedangkan para penguji, Prof. Dr. Mostafa Farag Fayyadh, Guru Besar Ushul Fikih, Fakultas Studi Islam dan Arab, Universitas Al Azhar Prov. Kafr El Sheikh dan Prof. Dr. Mahmoud Hamed Utsman, Guru Besar Ushul Fikih, Syariah Qanun, Universitas Al Azhar, Provinsi Thanta.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
Mereka menyatakan kekagumannya dan menyampaikan apresiasi serta kebanggaannya atas disertasi yang telah ditulis oleh Iffatul Umniati.
“Promovendus telah menulis sebuah disertasi berkualitas tinggi yang menerapkan ilmu-ilmu klasik Al-Azhar dalam konteks kemodernan; terkait bagaimana seharusnya kita menyikapi isu-isu kontemporer. Dan ini adalah disertasi yang harus dibaca secara luas,” ungkap Dr. Mahmoud.
Untuk itu, dia menyarankan agar disertasi ini dibuatkan versi lain yang “lebih ringan” agar dapat dinikmati oleh masyarakat awam.
Sementara itu, Prof. Mostafa Farag Fayyadh merekomendasikan agar disertasi ini diberi catatan penting yang menjelaskan pengertian setiap terma klasik dan modern yang ada di dalamnya. Karena ada pembaca dari kalangan yang awam, ada juga pembaca yang menguasai istilah-istilah klasik tetapi tidak terbiasa dengan idiom-idiom kemodernan.
Dalam paparan disertasi promovendus yang pernah menjadi pengurus PP Fatayat NU dan LKK PBNU selama dua periode ini menyatakan bahwa sangatlah urgen pada masa kini untuk mengarusutamakan ijtihad kolektif, dengan catatan setiap anggota lembaga ijtihad kolektif tersebut seharusnya mempunyai kualifikasi-kualifikasi yang memadai untuk melakukan kajian hukum Islam langsung dari sumbernya.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
Hal ini agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan kekinian. Anggota lembaga ijtihad kolektif ini tidak cukup dengan kapasitas representatifnya saja; misalnya karena mewakili satu segmen masyarakat atau organisasi tertentu.
Tiga Kecendrungan Besar
Salah seorang pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBMI) PBNU dan dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta ini, lembaga-lembaga fatwa dan ijtihad kolektif sekarang ini mempunyai tiga kecenderungan besar.
Pertama adalah lembaga fatwa yang konsisten berpegang kepada salah satu madzhab yang mu’tabarah (absah), seperti Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama dan Dar al-Ifta’ Yordania.
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
Dilihat dari tahun berdirinya, LBMNU bisa dikatakan sebagai lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang berdiri pertama di dunia.
Kedua, lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang tidak berpegang kepada salah satu madzhab, bahkan mengklaim langsung mengambil hukum Islam dari sumbernya: Al-Qur’an, Hadits dan Ulama Salaf. Di antara model kedua ini adalah Al-Lajnah al-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Saudi Arabia dan Majlis Tarjih Muhammadiyah di Indonesia.
Ada juga model ketiga yang menggabungkan antara keduanya, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah di Mesir, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketiga lembaga ini tetap menjadikan pandangan para ulama madzhab sebagai referensi pokok dan kemudian mengelaborasikannya dengan pendalaman kajian Al-Qur’an, Hadits, Kaidah-Kaidah Fiqhiyah dan Ushuliyah, juga diskursus-diskursus pemikiran baru yang cukup supaya fatwa hukum yang dikeluarkan bisa lebih kontekstual.
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”
Fatwa Harus Disertai Penjelasan
Menurut pengalaman pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Tahfizh & Sains (PPUTS) Darus Salam Torjun Sampang Madura ini, pada masa sekarang tidak cukup lagi bagi seorang mufti untuk memberikan fatwa hukum tanpa menyertakan dalil-dalilnya.
Bahkan, sudah menjadi tuntutan yang lazim bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan harus disertai dengan ulasan singkat yang menjelaskan kenapa atau bagaimana sebuah dalil bisa membawa kita kepada sebuah kesimpulan fatwa hukum.
Ulama perempuan yang aktif di beberapa jaringan aktivis advokasi perempuan termasuk sebagai narasumber perempuan yang duduk sejajar dengan para ulama besar dunia dalam seminar internasional memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama Tahun 2023 lalu melihat bahwasanya realitas kebutuhan di masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih mendetail dalam beberapa aspek yang terkait dengan hukum yang difatwakan.
Baca Juga: Puluhan WNI dari Suriah Tiba di Tanah Air
Dengan demikian, lanjut dia, sebuah fatwa hukum sebaiknya tidak sekedar berbicara tentang halal, haram, atau boleh dan tidak boleh saja.
Sekedar menyebutkan contoh: hukum tidak bolehnya salat menggunakan bahasa lokal seharusnya disertai juga penjelasan apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim atau muslimah ketika menyadari bahwa salat imamnya batal, atau bahwa salatnya selama ini ternyata tidak sah.
Sidang Disertasi ini dihadiri Plt. Atase Pendidikan/Koord. Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Kairo, Dr. Rahmat Aming Lasim, Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, M. Arif Ramadhan, dan para aktifis, peneliti serta mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Universitas Al Azhar Kairo. (R/R1/RS2)
Baca Juga: Menag Sayangkan Banyak yang Ngaku Ulama tapi Minim Pengetahuan
Mi’raj News Agency (MINA)