Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Al-Qadhi Abu Abdillah Syarik Ibnu Abdillah an-Nakha’i al-Kufi adalah salah seorang ulama besar pada zamannya (Tarikh Baghdad 9/288, al-Khatib al-Baghdadi).
Suatu hari, sahabatnya, Umar Ibnu Hayyaj Ibnu Sa’id al-Hamdani, berkunjung ke rumahnya di pagi hari. Ia disambut oleh al-Qadhi Syarik dalam keadaan tidak memakai pakaian, sembari membawa bubur. Kemudian sahabatnya itu berkomentar, “Engkau telah banyak menyelesaikan masalah hukum, namun keadaanmu masih seperti ini.”
Mendengar hal itu, Al-Qadhi menjawab, “Bajuku dicuci kemarin, hingga sekarang belum juga kering. Aku masih menunggunya sampai kering. Silahkan duduk, duduklah!” Keadaannya yang seperti itu tidak membuatnya mengurungkan diri melayani sahabatnya. Mereka tetap mengobrol dengan asyiknya membicarakan satu permasalahan dari satu bab fikih nikah.
Baca Juga: Sutradara Palestina Vin Arfuso Melawan Narasi Bias Hollywood
Apa yang dialami Al-Qadhi, dialami juga oleh seorang ulama besar, tsiqah, petualang dari negeri timur (Khurasan) hingga Mesir untuk mencari hadis, seorang yang sangat zuhud. Dialah Zaid Ibnul Hubbab al-Khurasani. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang lebih bersabar darinya dalam menjalani kefakiran. Aku banyak mengambil hadis darinya. Bahkan muridnya sering datang berguru dengannya, namun ia tidak mau menemui mereka di hadapannya karena ia tidak mempunyai baju yang mampu menutupi auratnya. Sehingga ia hanya menyampaikan ilmu dari balik pintu dan dengan suatu penghalang.” (Siyar A’lamin Nubala’ : 9/393, al-Hafidz adz-Dzahabi).
Imam Ahmad sendiri ketika berada di Yaman, selama dua tahun tidak mempunyai uang sepeserpun. Ia pernah ditawari sejumlah uang oleh Abdurrazzaq ash-Shan’ani (gurunya), namun ia menolaknya dengan halus. Untuk menjaga wara’nya, maka ia menggadaikan sandalnya kepada tukang roti sebagai jaminan atas roti yang ia butuhkan. Bahkan, pakaian-pakaian yang biasa digunakannya untuk belajar semuanya habis karena dicuri orang, sehingga saat itu ia tidak bisa menghadiri majelis ilmu. Mendengar kejadian itu, gurunya menangis sedih jika disebut nama Ahmad bin Hanbal. (Thabaqatul Hanabilah: 1/209, al-Qadhi Ibnu Abi Ya’la).
Kefakiran juga pernah dialami oleh Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari ilmu. Umar Ibnu Hafsh al-Asyqar menceritakan, suatu saat semua orang di Basrah kehilangan Imam Bukhari dari majelis ilmu mereka. Lalu mereka mencarinya dan mendapatkannya ada di sebuah rumah dalam keadaan tidak berpakaian. Ia telah kehabisan bekalnya dan tidak ada satupun yang tersisa darinya. Kemudian mereka mengumpulkan sejumlah dirham guna membeli pakaian untuknya. Hingga ia kembali mengajarkan ilmu kepada mereka. (Tarikh Baghdad: 2/13, al-Khatib al-Baghdadi).
Suatu saat ia pernah juga dengan terpaksa memakan rumput-rumputan selama tiga hari karena kiriman uang dari keluarganya terlambat datang. Ia tidak menceritakan kepada seorangpun apa yang dialaminya. Hingga hari ketiga datanglah seseorang yang memberikan satu bungkus kain yang berisi beberapa dinar. (Hadyus Sari: 2/195, al-Hafidz Ibnu Hajar).
Baca Juga: Izzuddin bin Abdissalam, Sultan Para Ulama yang Menginspirasi Perjuangan Melawan Penjajahan
Lalu bagaimana dengan kondisi kita hari ini? Apakah kita pernah mengalami kondisi seperti para ulama panutan umat di atas? Pernahkah kita sehari saja lapar? Bisa jadi, sebagian kita hari ini selalu kenyang sementara masih banyak disekitar kita yang kelaparan.
Jika mayoritas ulama fakir, bukan berarti mereka dalam keadaan terpaksa dan merasa tersiksa dengan kefakirannya. Akan tetapi, apa yang dialami oleh ulama-ulama besar kita merupakan pilihan mereka untuk mengabdi kepada umat. Berbeda dengan keadaan sebagian kita yang mengalami kefakiran, namun kefakiran kita bukan kehendak dan keinginan kita. Sehingga banyak di antara kita yang menghadapi kefakiran dengan jiwa yang remuk redam, penuh dengan kesedihan dan kegelisahan bertumpuk.
Al-faqir al-Ikhtiyari (kefakiran yang dikehendaki dan atas pilihannya sendiri) yang dimiliki oleh para ulama inilah yang dipuji oleh Imam Syafi’i. Berbeda dengan kefakiran yang dialami oleh orang-orang awam, kefakiran mereka adalah kefakiran yang terpaksa (faqrun idhthirariyyun).
Bahkan di antara ulama ada yang tetap bertahan dalam kefakiran mereka, sampaipun seringkali mereka tidak memiliki apapun walau hanya sekedar sayur untuk pelengkap makan roti yang telah keras. Sehingga ada ungkapan yang terkenal dalam sejarah di antara mereka:
Baca Juga: Sheikh Raed Salah, Penjaga Al-Aqsa dan Ikon Perlawanan Palestina di Zaman Kontemporer
“Innama nahfadzul hadits lianna ajwafana qad aqrahahul bunnu“; Sesungguhnya kita mampu menghafal hadits dikarenakan mulut-mulut kita terluka karena memakan roti yang keras (Shafahat min Shabril ‘Ulama: 152).
Ini juga yang pernah dialami oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu semasa mengumpulkan hadits Nabi shallahu ‘alaihi wasallam dengan tidur di masjid Nabi agar selalu bisa hadir di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru kefakiran itulah yang menjadikan Abu Hurairah bisa tetap bertahan dan komitmen dalam menghadiri majelis beliau, sehingga menempatkan beliau menjadi salah satu sahabat pengumpul hadist Nabi terbanyak. Alangkah besarnya pahala beliau yang tak ada hentinya mengalir, apabila kaum muslimin diseluruh dunia selalu membaca dan mengajarkan hadits yang beliau kumpulkan dengan jerih payah.
Pernah suatu saat Abu Hurairah hadir di majelis Rasulullah, kemudian setelah berlangsung beberapa saat, tiba-tiba Abu Hurairah jatuh tersungkur dan jamaah yang ada di sekitarnya bergegas menolongnya. Setelah sadar, kemudian Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, mengapa engkau sampai jatuh tersungkur?“. Beliau menjawab, “Wahai Rasulullah, saya sudah tiga hari tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa dimakan. Saya menahan lapar dengan menyelipkan kerikil di perutku“.
Hal serupa juga pernah dialami oleh Sufyan ats-Tsauri al-Kufi, seorang ahli hadits yang sangat terkenal sejaman dengan Abu Hanifah. Sufyan Ibnu ‘Uyainah menceritakan bahwa Sufyan ats-Tsauri pernah mengalami rasa lapar yang menyengat selama tiga hari. Suatu saat beliau melewati suatu rumah yang sedang dilangsungkan pesta pernikahan. Nafsunya mengajaknya untuk masuk ke dalamnya, namun atas ijin Allah beliau mengurungkan niatnya.
Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina
Beliau akhirnya tetap berjalan menuju rumah putrinya. Sesampainya di rumah tersebut, putrinya datang menyuguhkan sepotong roti dan air. Beliau langsung memakan roti dan meminum airnya hingga terdengar bunyi yang khas dari mulutnya. Sehingga putrinya putrinya bertanya mengapa sampai mulutnya berbunyi, kemudian beliau menjawab, “Saya sudah tiga hari tidak makan makanan apapun” (Hilyatul Auliya’: 6/373, Abu Na’im al-Ashfahani).
Imam Malik yang sering dikenal dengan Imam Darul Hijrah (Madinah) juga pernah mengalami hal yang demikian. Karena kefakirannya hingga beliau rela menjual kayu yang menopang atap rumahnya untuk menyambung hidup. Padahal semua orang tahu bahwa beliau adalah sumbernya ilmu tentang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah berpesan kepada kita,
“Tidak akan ada yang mampu meraih satu hal ini, – yaitu ilmu -, kecuali mereka yang pernah merasakan kefakiran“.
Begitulah kehidupan para ulama. Mereka tidak pernah merasakan diri sedih sedikitpun walau hidup dalam kefakiran. Mereka bukan tidak perlu kepada dunia, tapi bagi mereka dunia adalah ujian dan alat untuk meraih kemuliaan akhirat. Kalaupun mereka hidup dalam kefakiran, bukan karena mereka bermalas-malasan untuk mencari keperluan hidup. Namun, bagi mereka kefakiran adalah pilihan hidup demi meraih kemuliaan dan kekayaan di akhirat kelak, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad