Umat dan Kepemimpinan Global (Oleh: Shamsi Ali)

Oleh: , Presiden Nusantara Foundation, New York

Umat ini memang ditakdirkan untuk hadir dengan misi kepemimpinan. Dengan kata lain kepemimpinan adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab keumatan. Sehingga dengan sendirinya umat harus mampu menampilkan diri sebagai pemimpin.

Ada beberapa dasar keagamaan (religious basis) kenapa Umat ini hadir dengan tanggung jawab kepemimpinan itu.

Pertama, karena Umat ini adalah “ummatan wasathan” atau Umat pertengahan. Kata wasathiyah tidak sekedar “imbang” di posisi pertengahan. Tapi minimal mencakup tiga karakter dasar:

a. bahwa Umat ini adalah Ummah with excellence. Umat yang memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tentu dalam arti positif. Bukan keangkuhan seperti keangkuhan rasial sebagian orang putih.

b. bahwa Umat ini memiliki tunas yang kuat. “wisthus syajarah” juga bermakna tunas dari sebuah pohon. Umat ini tunasnya adalah iman yang tumbuh bagaikan pohon yang sehat dan kokoh.

c. bahwa Umat ini adalah Umat dengan ketauladanan. Dan ketauladanan merupakan esensi kepemimpinan. Sebagimana Rasulullah sebagai “uswah” (juga dimaknai pemimpin) bagi Umat ini.

Kedua, karena Umat ini adalah “Khaer Ummah” atau Umat terbaik. Kata “KhaerIyah” atau terbaik pada ayat ini sama dengan kata excellent pada ayat di atas. Bahwa Umat ini punya keistimewaan, kapasitas, potensi dan integritas untuk kepemimpinan itu.

Keadaan Umat di masa kini

Melihat keadaan Umat masa kini tentu kita harus jujur bahwa posisi kepemimpinan itu telah lama hilang dari mereka. Realitanya Umat menjadi terpimpin (makmum) bagi orang lain, hampir dalam segala aspek kehidupan.

Umat Muslim di negara-negara mayoritas Muslim pada umumnya bermental minoritas dan diperlakukan bagaikan minoritas. Seringkali justeru mereka yang di posisi minoritas mengontrol hampir semua lini kekuasaan.

Umat Muslim di negara-negara minoritas Muslim masih menjadi bulan-bulanan mis-persepsi bahkan phobia dari banyak pihak. Seringkali kesalahpahaman dan phobia itu menjadikan mereka menjadi target kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikis.

Belum lagi tentang Umat yang memang jadi korban berbagai kezhaliman di berbagai belahan dunia. Dari Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, hingga ke Myanmar dan Xingjian (Uighur) China, Kashmir dan India. Bahkan yang klasik dan semakin suram adalah Saudara-Saudara kita Palestina yang hingga detik ini masih menjadi target kezhaliman penjajah Israel.

Secara umum Umat tidak saja menjadi makmum bagi Umat lain. Tapi menjadi korban dan mangsa bagi orang lain yang punya kepentingan.

Faktor hilangnya kepemimpinan

Tentu tidak mudah merincikan penyebab kenapa Umat ini kehilangan posisi kepemimpinan itu. Salah satunya karena Umat ini tidak monolith (bersifat tunggal). Umat ini sangat ragam dan memiliki kapasitas yang berbeda dan ragam pula.

Namun secara ringkas dapat disebutkan beberapa faktor itu.

Pertama, melemahnya akidah dan iman Umat ini. Sebuah pernyataan klasik dan umum. Tapi sesungguhnya memilki makna yang dalam. Dengan lemahnya akidah dan iman Umat, terporosot pula “izzah dzatiyah” atau self confidence (rasa bangga dan percaya diri) Umat. Akibatnya Umat merasa lemah dan terkalahkan sebelum dilemahkan dan dikalahkan oleh siapapun.

Tragisnya hal itu terjadi dengan segala potensi Umat yang dahsyat. Baik itu potensi SDM (Umat beragama terbesar dunia), potensi SDA (potensi kekayaan alam dunia Islam) yang luar biasa, dan lain-lainnya.

Kedua, kebekuan pemikiran Umat. Umat ini harusnya Umat yang berkarakter IQRA’. Yaitu Umat yang memiliki wawasan atau mindset yang luas (broaden). Sayangnya ciri keumatan yang mendasar ini melemah. Akibatnya Umat seringkali didominasi oleh tendensi sentimen atau emosi yang tidak terkontrol. Hal ini kerap melahirkan keadaan pahit Umat yang gampang menjadi mainan kepentingan orang lain.

Ketiga, melemahnya karakter Umat yang bercirikan akhlakul karimah. Hal ini membawa kepada, tidak saja bahwa ketauladanan Umat melemah. Lebih buruk lagi Umat seringkali justeru menjadi hijab keindahan Islam di mata dunia.

Keempat, gagalnya Umat membangun shaf dalam kehidupan sosialnya. Membangun shaf bagi Umat ini mendasar, baik pada sisi ritualnya maupun pada sisi kehidupan sosialnya. Secara ritual Umat hebat dalam membangun shaf. Masjid-masjid pun ramai. Haji antrian. Tapi secara sosial Umat ini tercabik-cabik bahkan saling merobek.

Kelima, melemahnya semangat Dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, menjadi salah satu “non official” pilar Islam. Sehingga kalau saja ada rukun Islam keenam, hal inilah yang menempatinya. Sekuat apapun Umat ini jika dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkin diabaikan pada akhirnya akan bertekuk lutut pada musuh-musuhnya.

Tentu banyak faktor lainnya. Sebagai misal saja wawasan keagamaan yang terpenjara oleh aspek ritual. Saya menyebutnya dengan “ritual centric” dalam beragama. Juga ada kecenderungan “jalan pintas” masuk surga. Banyak yang ingin mati di jalan Allah. Tapi tidak ingin hidup di jalanNya.

Dua sisi kepemimpinan

Dan karenanya untuk Umat ini dapat meraih kembali kepemimpinan itu, baik kepemimpinan internal (imaman lil-muttaqin) maupun (imaaman linnas) Umat perlu mengembalikan semua Karakter utama Umat di atas.

Jika tidak maka Umat ini hanya akan mampu bahkan pintar bernostalgia dengan kegemilangan masa lalu. Sejarah pun menjadi kebanggaan. Tapi gagal mengembalikan kegemilangan sejarah itu. Wallahu Al-Musta’an wa ilahi at-tuklaan! (AK/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)