Ummahatul Mukminin, ‘Aisyah Binti Abu Bakar

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan ‘Aisyah  yang telah banyak dikenal. ‘Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa.

Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya, Ash-Shiddiq adalah sahabat dekat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menemani beliau . Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua ‘Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.

Ketika datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Jibril membawa kabar bahwa ‘Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah, ‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”

Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.

Nasab dan masa kecii aisyab

Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.

Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Namun, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk , sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”

Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum.

Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain-main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.

Pernikahan yang penuh berkah

Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menikahi Aisyah. Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.”

Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam hijrah ke bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah.

Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah. Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin.

Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dari penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dari penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.”

Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. ‘Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.

Dengan izin Allah menikahlah ‘Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah, “Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)

Istri Kecintaan Rasulullah 

‘Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan ‘Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah.”

Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”

Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada ‘Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada ‘Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya.

Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan ‘Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.

Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Aisyah.

“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada ‘Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah.

Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah ‘Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”

Wafatnya ‘Aisyah

Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah ‘Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di ’. Kehidupan ‘Aisyah penuh kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin.

Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.”

‘Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.”

‘Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”

Selain itu, ‘Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”

Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan ‘Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada ‘Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, ‘Aisyah sudah membagi-bagikan semuanya.

Pembantunya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham. ’Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.” Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah ‘Aisyah  dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. (A/RS3/RS2)

[Dirangkum dari: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.