UMMU HARAM binti Milhan adalah seorang sahabat Muslimah (sahabiyah) yang mulia, istri dari sahabat Ubadah bin Ṣhamit.
Ubadah bin Shamit dikenal sebagai seorang sahabat Nabi, seorang guru Al-Qur’an, seorang pejuang, yang masuk Islam di barisan awal kenabian, saat masa gelap sebelum cahaya menyebar ke penjuru alam.
Ubadah bukan hanya penjaga kebenaran, yang mengukir ayat-ayat Allah dalam jiwa, mengajarkan Al-Quran bukan hanya dengan lisan, tapi dengan hidupnya sendiri, yang ia pertaruhkan di medan jihad.
Dia senantiasa hadir di lembah-lembah perang yang mengukir jejak di Perang Badar, Perang Uhud, dan setiap panggilan jihad. Hingga tiba pada masa Umar bin Khattab, saat ia diutus ke jantung sejarah, Palestina, tanah para Nabi, setelah pembebasan wilayah Baitul Maqdis.
Baca Juga: Dr Joserizal Jurnalis: Pendiri MER-C, Pejuang Kemanusiaan dari Indonesia untuk Dunia
Di Kota Al-Quds (Yerusalem), Ubadah bin Shamit, tak hanya menjadi saksi, tapi juga menjadi hakim pertama (Qadhi), yang menegakkan keadilan atas nama Islam.
Ubadah bin Shamit wafat pada tahun 34 Hijriah (dalam usia 72 tahun) dan jenazahnya yang mulia dimakamkan di pemakaman Bab al-Rahma, di sebelah timur Masjidil Aqsa.
Perempuan yang Merindukan Syahid
Isterinya Ubadah bin Shamit, bernama Ummu Haram binti Milhan, termasuk seorang wanita Anshar yang berasal dari suku Najjar. Ummu Haram termasuk tokoh wanita terkemuka karena peran-perannya yang sangat besar.
Baca Juga: Abu Chiek Oemar Di Yan; Ayah Para Teungku Chiek di Aceh
Ummu Haram juga adalah bibi seorang sahabat terkemuka, Anas bin Malik, pelayan Nabi, yang telah memenuhi seluruh ruang di dunia ini dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ummu Haram memiliki keistimewaan-keistimewaan yang mengalirkan berkah dan menunjukkan kemuliaannya. Di antaranya adalah ia juga hafal dan menguasai beberapa hadis Rasulullah dengan baik.
Kedermawanan dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah sifat paling menonjol Ummu Haram, dan sahabat-sahabat lainnya dari kalangan Anshar.
Ia disebut dengan “syahiidatul bahr” (wanita yang syahid di laut) yang selalu merindukan surga Allah. Sehingga semasa hidupnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberinya kabar gembira bahwa dia akan mati syahid di jalan Allah.
Baca Juga: Abuya Bahauddin Tanah Merah, Ulama Besar Karismatik dari Aceh Singkil
Sudah lama sekali, Ummu Haram memendam hasrat yang sangat besar di lubuk hatinya yang paling dalam agar dapat berjuang dan membela agama Islam. Ingin meraih syahid seperti disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ia tidak peduli dengan berapapun harga yang harus dibayarnya, termasuk kalaupun harus mengorbankan nyawanya sendiri, demi mendapatkan syahid di jalan Allah.
Hingga suatu ketika, Anas bin Malik ra. menuturkan, Ummu Haram binti Milhan berkata kepadaku bahwa pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidur siang di rumahnya. Ketika terbangun, beliau tersenyum. Lalu Ummu Haram bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tersenyum?” Rasulullah menjawab, “Aku diperlihatkan dalam mimpi ada sekelompok orang dari umatku yang mengarungi laut. Mereka seperti raja-raja yang duduk di atas singgasana.” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah agar aku termasuk salah seorang dari mereka.” Rasulullah berkata, “Engkau adalah rombongan pertama dari mereka.”
Ekspedisi ke Pulau Siprus
Baca Juga: Dakwah Tanpa Mimbar: Jejak Tuslim Abdul Saeri Mendidik Jalan Menuju Surga
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu terbukti pada masa masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu, Muawiyah bin Abu Sufyan, sebagai gubernur Syam, menyiapkan penyerangan ke Pulau Siprus yang digunakan pasukan Bizantium sebagai basis serangan.
Setelah mendapat izin dari Khalifah Utsman, Muawiyah memimpin ekspedisi laut pertama dalam sejarah Islam, dengan Ubadah bin Ṣhamit sebagai salah satu komandannya. Ummu Haram turut serta dalam ekspedisi tersebut bersama suaminya.
Akhirnya pasukan kaum Muslimin berhasil mendarat di Siprus dan mengalahkan pasukan Bizantium.
Setelah tinggal beberapa hari di Siprus, suatu hari Ummu Haram mengalami kecelakaan saat menunggangi hewan tunggangannya yang mengamuk. Hal itu menyebabkan ia terjatuh dan meninggal dunia.
Baca Juga: Teungku Chik Lamjabat, Ulama Besar Aceh Penandatangan Seruan Jihad
Ia dimasukkan ke syahid karena meninggal dalam perjalanan jihad. Dia sudah sampai ke medan jihad Pulau Siprus dalam kemenangan ekspedisi laut.
Ia pun dimakamkan di tempat ia wafat, yang kini dikenal sebagai Hala Sultan Tekke di Larnaca, Siprus.
Hingga kini, makam Ummu Haram menjadi tempat ziarah penting bagi umat Islam di Siprus.
Sedangkan suaminya, Ubadah bin Shamit, kemudian kembali ke Syam, dan wafat di Kota Al-Quds (Yersalem). Jenazahnya dimakamkan di pemakaman para sahabat ar-Rahmah, di sebelah selatan-barat daya Masjid Al-Aqsa.
Baca Juga: Abuya Nasir Waly, Ulama Kharismatik dari Labuhan Haji
Pada masa Kesultanan Turki Utsmaniyah, dibangun sebuah masjid Pulau Siprus, di sebelah makam Ummu Haram, sebagai bentuk penghormatan. Kompleks dan masjid itu dikenal sebagai Hala Sultan Tekke dan menjadi simbol keberanian serta pengabdian sahabiyah dalam sejarah Islam.
Dalam kajian geopolitik internasional, Prof Dr. Abd Al-Fattah El-Awaisi dalambukunya “Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa” (Penerbit: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Cetakan Kedua Februari 2025) mengatakan, Siprus yang terletak di Laut Tengah (Mediterania) termasuk ke lingkaran kedua Ardhul Mubarakah (tanah yang diberkahi), bersama dengan Syam dan Mesir.
Siprus adalah pulau terbesar ketiga yang strategis di Laut Tengah setelah Sisilia dan Sardinia (pulau-pulau Italia).
Pentingya posisi strategis Pulau Siprus, karena letak geografisnya yang strategis di Laut Tengah, yang berbatasan dengan Syam, Mesir dan Turkiye.
Baca Juga: Allamah Muhammad Iqbal, Penyair Muslim di Balik Kemerdekaan Pakistan
Oleh karena itu, Siprus menjadi pusat penting untuk mengamankan jalur menuju Mesir dan Syam, serta berfungsi sebagai pangkalan peringatan dini untuk mengamankan perbatasan Mesir dan Syam.
Penutup
Begitulah Kisah Ummu Haram binti Milhan yang telah menunjukkan peran aktif dan keberanian sahabiyah dalam perjuangan Islam, sampai usia tuanya, hingga meraih gelar syahidah.
Partisipasinya dalam ekspedisi laut pertama Islam dan kesyahidan di medan jihad menjadi teladan bagi umat Islam, khususnya kaum perempuan Muslimah, dalam mengabdi dan berjuang di jalan Allah. Allahu Akbar ! []
Baca Juga: Abdullah Syafi’ie, Ulama Betawi Pendiri Pesantren Assyafiiyah
Mi’raj News Agency (MINA)