RAPAT Pleno Komisi Fatwa MUI pada tanggal 24 Rabiul Akhir 1445 H bertepatan dengan tanggal 8 November 2023 M. menetapkan fatwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.
Dalam rekomendasinya, MUI juga mengimbau kepada umat Islam untuk memaksimalkan menghindari konsumsi dan penggunaan produk-produk Israel dan pihak- pihak yang mendukung agresi Israel atas Palestina.
Senada dengan itu, sebelumnya Persatuan Ulama Muslim Internasional (Internasional Union of Muslim Scholars/IUMS), yang didirkan oleh Prof. Dr. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi (1926-2022), sudah memuat fatwa tentang Boikot Pendudukan Israel.
IUMS sebagai lembaga ilmiah independen yang didirikan tahun 2004, dan berkantor pusat di Qatar juga pernah mengeluarkan “Fatwa perlunya boikot menyeluruh terhadap penjajah dan agresor”. (1 Januari 2021).
Baca Juga: Zionis Israel Bukan Bangsa, Tapi Virus Peradaban!
Fatwa Persatuan Ulama Muslim Internasional itu mewajibkan boikot menyeluruh, terutama boikot ekonomi, terhadap penjajah dan agresor, Israel, sampai mereka meninggalkan semua tanah yang diduduki.
Organisasi yang dalam programnya berupaya membuka kerjasama untuk kebaikan Islam dan umat Islam itu menjelaskan, sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina, para ulama telah memainkan peran utama dalam meningkatkan kesadaran dan mendesak pemulihan hak-hak yang dirampas. Termasuk seruan boikot ekonomi yang telah dijadikan slogan oleh negara-negara Arab.
Sikap para ulama itu didasarkan pada Resolusi Khartoum 1 September 1967, Pertemuan Liga Arab di Khartoum, Sudan, yang digelar sejak 29 Agustus 1967 hingga 1 September 1967.
Pertemuan darurat itu diselenggarakan setelah Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) antara koalisi negara-negara Arab (utamanya Yordania, Mesir, Irak, Suriah, Lebanon) melawan Israel.
Baca Juga: Palestina Adalah Negeri Para Nabi, Bukan Tempat Para Penjajah
Negara-negara yang hadir yaitu Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan. Resolusi ini terkenal dengan tiga “No” (tidak) yang ditujukan untuk Israel, yaitu “No peace with Israel, No recognition of Israel, No negotiations with it”.
Isi Resolusi Khartoum itu antara lain, “Konferensi menyepakati perlunya mengkonsolidasikan semua upaya untuk menghilangkan efek agresi, atas dasar bahwa tanah yang diduduki adalah tanah Arab, dan bahwa beban untuk mendapatkan kembali tanah ini menjadi tanggungan semua negara Arab.”
Isi lainnya, “Para Kepala Negara Arab sepakat untuk menyatukan upaya politik mereka di internasional dan level diplomatik, untuk menghilangkan efek agresi dan memastikan penarikan agresif pasukan Israel dari tanah Arab yang telah diduduki sejak agresi 5 Juni. Ini akan dilakukan dalam kerangka prinsip-prinsip utama yang dipatuhi oleh negara-negara Arab, yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada negosiasi dengannya (Israel), dan desakan hak-hak rakyat Palestina di negara mereka sendiri.”
Namun dalam beberapa dekade selanjutnya, prinsip-prinsip dan slogan-slogan Negara-negara Arab tersebut banyak dilanggar oleh langkah-langkah diplomasi seperti Perjanjian Camp David (1978), Perjanjian Oslo (1993), dan Perjanjian Jordan (1994).
Baca Juga: Jama’ah sebagai Benteng Keimanan dan Ukhuwah
Apalagi kemudian muncul Abraham Accords, serangkaian pernyataan normalisasi bersama antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain, sejak 15 September 2020, yang ditengahi Amerika Serikat. Kemudian diikuti Sudan dan Maroko pada tahun yang sama.
Jauh sebelumnya, dua negara sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Yordania (tahun 1994), dan Mesir (tahun 1978).
Fatwa ulama tentunya mengingatkan kembali, bahwa aturan Islam secara umum adalah untuk menjalin hubungan antara Muslim dan non-Muslim berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran, kebajikan, kasih sayang, dan rasa hormat untuk semua orang. Kecuali bagi mereka yang memusuhi Islam dan Muslimin, menduduki tanah dan Muslimin, dan bahkan menyerang kaum Muslimin.
Fatwa Ulama itu menegaskan, “pernyataan kami ini khusus untuk negara pendudukan Israel dan barang-barang dan produknya, karena mereka menduduki tanah dan rumah kami dan setiap hari menyerang dan merebut saudara-saudara kami, tanah dan rumah kami di Palestina dan di Golan Suriah, dan masih menduduki Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam, dan tempat Isra Mi’raj Rasulullah”.
Baca Juga: Al Aqsa Tak Pernah Sendiri, Umat Sedang Bergerak
“Karena itu mengusir agresi dari wilayah pendudukan dan melawan mereka dengan segala cara yang sah adalah kewajiban hukum dan kebutuhan kemanusiaan.”
Menolak mereka dengan segala cara yang sah disetujui oleh akal sehat, dan diatur dalam hukum internasional, resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, perjanjian internasional, dan konstitusi negara”, lanjut fatwa.
Landasan Fatwa sebenarnya merujuk juga konsiderannya pada beberapa teks hukum, termasuk Pasal 42 Peraturan Den Haag tahun 1907 M, yang menyatakan bahwa “tanah negara dianggap diduduki ketika berada di bawah otoritas efektif tentara musuh”.
Pasal Umum Kedua dari Konvensi Jenewa IV tahun 1949 M. menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian berlaku untuk setiap tanah yang diduduki selama permusuhan internasional, dan hukum internasional menetapkan bahwa pendudukan adalah negara sementara, dan tidak diperbolehkan untuk menyita atau menghancurkan harta milik warga negara yang diduduki.
Baca Juga: Pentingnya Regenerasi dan Kaderisasi
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menegaskan hak perlawanan, sebagaimana Pasal (21) yang menetapkan bahwa “tidak ada dalam Piagam ini melemahkan atau mengurangi hak alami negara dan masyarakat, individu atau kelompok, untuk membela diri, jika angkatan bersenjata menyerang mereka.”
Ada puluhan Resolusi PBB yang mengindikasikan hak untuk melawan, menolak agresi, dan membebaskan wilayah pendudukan.
Karena itu, Fatwa Ulama menyebutkan, “jihad ekonomi dengan cara memboikot Israel, sudah pasti termasuk dalam jihad di jalan Allah.”
Organisasi BDS Movement menjelaskan perlunya membangun boikot ekonomi terhadap Israel dan mengembangkan kampanye yang efektif terhadap perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam penindasan Israel terhadap warga Palestina.
Baca Juga: Dinamika Hidup Berjama’ah di Era Modern
Dalam penjelasnnya, Lembaga Swadaya Masyarakat itu mengatakan, bahwa urgensi boikot untuk perusahaan-perusahaan internasional yang membantu dan mendukung pelanggaran hukum internasional oleh Israel, termasuk dengan beroperasi di pemukiman ilegal Israel dan bertindak sebagai kontraktor bagi militer dan pemerintah Israel.
Kampanye Boikot terbukti telah menyebabkan banyak perusahaan besar yang menjual dan meninggalkan Israel sepenuhnya dan sejumlah investor menarik diri dari perusahaan-perusahaan Israel dan internasional.
PBB, Bank Dunia, dan pakar lainnya mengatakan bahwa BDS memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap Israel dan hal ini dapat berkembang seiring dengan perkembangan gerakan tersebut.
Dukungan ekonomi dan perusahaan untuk apartheid Israel Boikot ekonomi terhadap Israel bertujuan untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan membujuk perusahaan-perusahaan swasta untuk mengakhiri partisipasi mereka dalam kejahatan Israel.
Baca Juga: Zionis Israel, Bangsa Tanpa Akar, Hidup dari Rampasan
Perekonomian Israel sangat bergantung pada perdagangan dan investasi internasional, sehingga sangat rentan terhadap boikot ekonomi global. Banyak perusahaan internasional, yang mendapat keuntungan dari membantu Israel mempertahankan sistem apartheid dan kolonialisme pemukimnya. Kampanye menentang dan divestasi dari perusahaan-perusahaan internasional meningkatkan tekanan pada mereka untuk mengakhiri keterlibatan mereka dengan penindasan Israel terhadap Palestina.
Jadi, boikot terhadap produk-produk atau yang mendukung Zionis Israel harus terus dilakukan, sekecil apapun. Sebab, boikot menjadi salah satu cara efektif dalam melawan Zionis Israel. Boikot Zionis Israel! []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Zionis Israel, Laknat Abadi dalam Sejarah Kemanusiaan