Urgensi Halalan Thayyiban dalam Kehidupan

halalOleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

Setelah Allah menjelaskan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, maka Dia menjelaskan bahwa Dia Maha Pemberi Rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. Dia menganugerahkan kepada manusia memakan makanan yang halal lagi baik (halalan thayyiban).

Isi senada pada ayat lain disebutkan:

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬ا‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS Al-Maidah [5]: 88).

Juga firman-Nya pada ayat lain:

فَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَڪُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬ا وَٱشۡڪُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

Artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS An-Nahl [16]: 114).

Pengertian Halalan Thayyiban

Secara etimologi kata halal berasal dari halla-yahullu-hallan wa halalan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan, memecahkan, membebaskan dan membolehkan.

Sedangkan secara terminologi, kata halal mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. (Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani).

Di dalam Al-Qur’an, kata halal disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti masalah muamalah, kekeluargaan, perkawinan dan terkait dengan masalah makanan ataupun rezeki. Namun lebih banyak digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki.

Adapun kata an atau thayyib  menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibaat yang diambil dari thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa arti, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak, lezat), dan halal (halal). (Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani).

Pada dasarnya, kata thayyib berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indera dan jiwa, atau segala sesuatu yang tidak menyakitkan dan tidak menjijikkan.

Sedangkan Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Lawan dari kata thayyib ini adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang. (Majmu’ Fatawa).

Makanan Halal dan Thayyib

Allah Yang Maha Menciptakan segala-galanya dengan kasih sayang-Nya menganugerahkan bumi beserta isinya untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Namun, bukan berarti manusia dapat memanfaatkan bumi beserta isinya itu dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan batasan aturan (syariat) Allah.

Termasuk dalam hal makanan dan minuman, tidak semua yang ada di bumi ini, baik binatang, tumbuhan maupun benda-benda lainnya itu halal dan baik (halalan thayyiban) bagi manusia. Ada yang memang dibolehkan (halal) dan ada yang dilarang (haram). Ada yang baik (thayyib), ada pula yang tidak baik (khabits).

Al-Qur’an telah jelaskan bahwa halal merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar oleh manusia dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Ketetapan tentang halal dan haram atas segala sesuatu, termasuk urusan makanan, adalah hak mutlak Allah dan Rasul-Nya.

Adapun thayyib berkenaan dengan standar kelayakan, kebersihan dan efek fungsional bagi manusia. Maka, bisa jadi suatu makanan itu halal tapi tidak thayyib bagi manusia atau sebaliknya. Maka bila dua syarat ini tidak terpenuhi dalam suatu makanan atau minuman, semestinya ia tidak boleh dikonsumsi.

Sebagai contoh, sate atau gule kambing itu enak dan lezat. Namun, jika kambing itu tidak disembelih secara islami, tidak menggunakan nama Allah (bismilaah), ataupun kambingnya hasil curian. Maka sate atau gule kambing tersebut menjadi tidak halal dan kita tidak boleh menyantapnya

Atau sebaliknya, kambing itu bukan curian, tapi hasil membeli atau ternak sendiri, dan disembelih dengan bismillaah. Namun orang yang akan menyantapnya sedang dalam darah tinggi memuncak atau menurut medis menjadi pantangan. Maka, walaupun itu halal tapi tidak thayyib baginya.

Begitulah, bukan sekedar makan dan minum di dunia, tetapi ada dampak di akhirat kelak.

Jadi, aktivitas makan dan minum bukan semata urusan duniawi. Namun terkait dengan urusan agama atau ukhrawi

Penutup

Begitulah, pentingnya kita menjaga diri kita, badan kita hingga dampak akhirat kita dari makanan dan minuman yang kita . Di sinilah syaitan terus mencoba menggelincirkan manusia agar tersesat dari jalan-Nya, dengan mengonsumsi barang yang haram dan khobaits.

Di dalam hadits Qudsi Allah Ta’ala menyatakan, “Sesungguhnya semua harta yang Aku anugerahkan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku itu cenderung kepada kebenaran (kebaikan). Kemudian datanglah kepada mereka syaitan-syaitan, lalu mereka menyesatkan mereka dari agama mereka dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka.” (HR Muslim).

Bahkan dari makanan haram inilah akan berakibat pada tidak terkabulnya doa-doa yang dipanjatkan manusia kepada Tuhannya.

Seperti disebutkan oleh Abu Bakar bin Mardawih yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Saya membaca ayat, ‘Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi’ di dekat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu Sa’ad bin Abi Waqash berdiri seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar kiranya doaku dikabulkan.’ Maka Nabi bersabda, ‘Hai Sa’ad, perbaikilah makananmu niscaya doamu akan dikabulkan. Demi Dzat yang diri Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perut-nya, maka ibadahnya tidak akan diterima Allah selama empat puluh hari. Hamba mana saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka api neraka lebih layak untuk melahapnya.”

Senantiasalah kita berdoa kepada Allah dengan doa yang Nabi ajarkan, di antaranya:

الَّلهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَاغْنِنِي بِفَضلِكَ عَن سِواكَ

Artinya: “Ya Allah. Cukupkanlah aku dengan suatu yang halal daripada yang haram yang telah Engkau tetapkan. Dan berilah aku kekayaan dengan keutamaan dari-Mu daripada selain-Mu.” (HR At-Tirmidzi).

اَللَّهُمَّ إنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Artinya: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, dan amal yang diterima.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Aamiin.  (P4/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)