PADA ERA derasnya arus informasi digital, kemampuan berpikir kritis dan menulis dengan bertanggung jawab menjadi keterampilan penting bagi generasi muda. Dalam konteks ini, kegiatan jurnalistik di kalangan pelajar, meskipun sering dianggap sekadar kegiatan ekstrakurikuler, sejatinya memiliki peran strategis dalam membentuk karakter, nalar kritis, dan budaya literasi bangsa.
Selama ini, kegiatan jurnalistik di sekolah sering dipandang sebagai pelengkap kegiatan belajar. Padahal, di balik aktivitasnya yang sederhana, seperti menulis berita sekolah, membuat bulletin, majalah dinding, atau mengelola media daring, terdapat latihan berpikir kritis, beretika, dan bertanggung jawab.
Melalui jurnalistik, pelajar belajar menggali fakta, bertanya dengan cerdas, dan menyampaikan informasi dengan benar. Nilai-nilai seperti kejujuran, ketelitian, dan keberanian menyuarakan kebenaran tumbuh dalam proses itu.
Mereka belajar bahwa berita bukan sekadar tulisan, melainkan tanggung jawab moral terhadap publik.
Jurnalistik melatih pelajar untuk tidak menerima informasi mentah-mentah. Mereka harus memeriksa sumber, membandingkan data, dan mengonfirmasi kebenaran. Inilah yang disebut dengan kemampuan menimbang fakta dan berpikir logis.
Baca Juga: Pendidikan Prenatal dalam Al-Qur’an, Refleksi dari Kisah Keluarga Imran
Kegiatan jurnalistik juga menumbuhkan rasa ingin tahu yang merupakan motor utama dalam belajar.
Saat menyusun berita atau menulis artikel, pelajar belajar bertanya lebih dalam: mengapa hal ini terjadi? apa dampaknya? siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melatih nalar analitis sekaligus empati sosial.
Membangun Semangat Literasi
Keterampilan jurnalistik tidak bisa dipisahkan dari budaya membaca dan menulis.
Seorang jurnalis harus membaca sebelum menulis; memahami konteks sebelum berpendapat.
Kebiasaan ini menumbuhkan budaya literasi yang amat dibutuhkan di era banjir informasi, ketika berita palsu dan opini dangkal mudah menyebar tanpa saringan nalar.
Baca Juga: Wamenag Ajak Pengusaha Bersinergi dengan Pesantren
Menulis berita, opini, atau artikel adalah bentuk latihan berpikir tertinggi.
Melalui tulisan, pelajar belajar menyusun logika, membangun argumen, dan menyampaikan gagasan dengan tertib.
Inilah bentuk nyata pendidikan karakter intelektual, menjadikan pelajar tidak sekadar konsumen informasi, tetapi produsen pengetahuan.
Terlebih dalam perspektif Islam, perintah pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah “Iqra,” bacalah. Perintah ini bukan hanya membaca teks, tetapi juga membaca realitas kehidupan dan tanda-tanda zaman. Budaya Iqra adalah pondasi dari lahirnya peradaban ilmu pengetahuan dan kemajuan umat.
Dengan kegiatan jurnalistik pelajar sesungguhnya merupakan implementasi modern dari semangat Iqra itu. Melalui kegiatan ini, pelajar belajar memahami, menafsirkan, dan menyampaikan kembali pengetahuan dengan kesadaran moral.
Mereka belajar menggunakan pena atau sekarang laptop, komputer, handphone, untuk kebaikan, bukan sekadar menulis, tetapi mencerdaskan umat dan menginspirasi masyarakat.
Baca Juga: Ketika Ilmu Tak Lagi Mendidik: Potret Gelap Pendidikan di Akhir Zaman
Sejarah menunjukkan, setiap perubahan besar dalam peradaban manusia selalu diawali dengan gerakan literasi dan komunikasi. Karenanya, bangsa yang gemar membaca, menulis, dan berpikir kritis adalah bangsa yang kuat dan tahan terhadap manipulasi.
Karena itu, sekolah dan guru perlu memberi ruang lebih luas bagi kegiatan jurnalistik pelajar, yang menjadi wadah pembentukan generasi yang mencintai kebenaran, menghargai ilmu, dan berani berpikir mandiri.
Bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan bagian dari strategi pendidikan karakter dan kecerdasan literasi.
Jadi, kegiatan jurnalistik di kalangan pelajar bukan hanya wadah kreativitas, tetapi pijakan awal perubahan peradaban. Melalui media penulisan, para pelajar belajar berpikir kritis, beretika, dan bertanggung jawab terhadap kebenaran.
Baca Juga: Meneguhkan Peran Santri di Era Digital
Jika semangat Iqra benar-benar hidup di sekolah-sekolah kita, di pesantren-pesantren kita, di kuttab-kuttab kita, maka generasi muda mendatang kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tetapi juga penulis masa depan bangsanya. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Teknologi Bisa Mengajar, Tapi tak Mampu Membentuk Karakter















Mina Indonesia
Mina Arabic