Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Urgensi Kemerdekaan dan Pembelaan Terhadap Palestina – Bagian I – (Oleh: M.Waliyulloh)

Nur Hadis - Sabtu, 27 Agustus 2022 - 22:22 WIB

Sabtu, 27 Agustus 2022 - 22:22 WIB

7 Views

Oleh: M. Waliyulloh, Ketua Lembaga Peduli Palestina, Aqsa Working Group (AWG) Biro Lampung,

Pada momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2022 lalu, sebuah kanal YouTube menampilkan antusiasme penduduk Gaza Palestina memeriahkan hari merdeka Indonesia. Bahkan mereka bersibuk diri membuat tulisan pasir dengan ucapan ‘Dirgahayu Indonesia 77 th’.

Tidak cukup dengan itu mereka berkeliling mengitarinya dengan kuda sembari membawa bendera Indonesia dan Palestina. Bahkan beberapa diantaranya ikut berteriak ‘Merdeka’ dengan campuran aksen Arab. Teriakan itu begitu tulus karena diucapkan dengan kegembiraan diantara reruntuhan rumah yang hancur.

Kata merdeka itu begitu menyayat hati karena faktanya mereka masih berada dalam pusaran pembantaian dan terkungkung dalam penjajahan Zionis, sekaligus juga menggetarkan karena mereka sendiri memimpikan kemerdekaan yang belum bisa diraih.

Baca Juga: Oposisi Israel Kritik Pemerintahan Netanyahu, Sebut Perpanjang Perang di Gaza Tanpa Alasan

Pertanyaan besar muncul dari kita sebagai instrospeksi dan empati. Mengapa mereka bersusah-susah dalam kegembiraan meneriakkan itu? Sementara diantara kita masih kesulitan mensyukuri dan memaknai kemerdekaan ini. Anugerah mahabesar yang Allah berikan kepada bangsa Indonesia.

Untuk memahaminya mari kita seksama memperhatikan kembali ajakan Presiden Soekarno pada pidato peringatan 17 Agustus 1966 yang tegas dan lugas dalam semboyan ‘jasmerah’ yaitu jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan banyak orang, salah mengutip singkatan Jasmerah dari pidato Bung Karno bahwa Jasmerah adalah singkatan dari ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’.

Padahal yang benar adalah ‘Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’. Ada makna yang berbeda antara ‘melupakan’ dengan ‘meninggalkan’. Rushdy mencontohkan jika kita memiliki kunci rumah. Setiap kita pergi meninggalkan rumah, kita tidak akan pernah meninggalkan kunci rumah, meskipun mungkin adakalanya kita lupa membawanya (Republika, 15/05/2019). Tidak meninggalkan artinya kunci itu tetap bersama kita untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan hasil perjuangan dan pengorbanan sebagai bagian dari proses perjalanan sejarah.

Lalu, apa kaitannya gegap gempita perayaan kemerdekaan ini dengan antusiasme rakyat Gaza Palestina? Adakah penduduk negara lain di belahan dunia ini yang punya antusiasme yang sama dengan mereka? Adakah negara lain selain Indonesia yang begitu istimewa ditempatkan di hati rakyat Palestina? Sehingga mereka setiap tahun selalu konsisten menebar semangat merdeka untuk kita Rakyat Indonesia.

Baca Juga: Hamas Ungkap Borok Israel, Gemar Serang Rumah Sakit di Gaza

Rasanya sulit menjawab karena faktanya merekalah satu-satunya yang begitu ‘concern’ dengan peringatan kemerdekaan ini. Pertanyaan-pertanyaan itu akan kita coba analisis dari sudut pandang humanisme, sebuah perspektif universal dengan sedikit membuka lembaran sejarah.

Penjajahan atau kolonialisme adalah bentuk arogansi yang mengangkangi hak hak dasar manusia. Dampaknya hanya bermuara pada penderitaan. Rakyat Indonesia mengalami masa masa sulit, menderita dan terhimpit oleh kolonial yang zalim dan lalim.  Penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan tidak hanya akibat perang dan kekerasan. Kemiskinan, kelaparan, hingga perbudakan dilakukan demi kepentingan penjajah semata mata.

Misalnya, rakyat Indonesia menjadi bulan bulanan kebijakan Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang memeras tenaga rakyat Indonesia serta mengeruk kekayaan alam, kerja rodi di bawah todongan senjata. Kemiskinan dan kelaparan menjalar di mana mana, rakyat Indonesia diperbudak mereka dan siapa membangkang, hukumannya sangat kejam.

Belum lagi kerja rodi pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan pada 1809 memakan korban jiwa hingga 12.000 jiwa. Kerja rodi ini dilaksanakan di bawah todongan senjata dan lecutan cambuk. Banyak pekerja yang kelaparan hingga menemui ajal. Itulah sekelumit penderitaan rakyat Indonesia di mana harkat dan martabat serta hak haknya dirudapaksa oleh penjajah.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Situasi seperti itu mengikis identitas individu sebagai sebuah bangsa. Setiap orang ingin menyemai harapan dan mimpi untuk merdeka. Awalnya terdengar lirih berbisik, kemudian menggumpal menjadi teriakan amarah dan perlawanan. Rakyat Indonesia berhimpun mengangkat senjata meskipun dengan bambu runcing.

Nama-nama bermunculan menjadi tokoh-tokoh perlawanan dengan memimpin perang seperti Pangeran Diponegoro (1785-1855), Cut Nyak Dhien (1848-1908), Soedirman (1916-1950), Bung Tomo (1920-1981) dan masih banyak lagi. Tokoh pergerakan juga menjamur bangkit melawan. Sebut saja R. A. Kartini (1879-1904), KH Hasyim Asyari (1871-1947), Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) KH Agus Salim (1884-1954), Mohammad Natsir (1908-1993), Soekarno (1901-1970),  Mohammad Hatta (1902-1980) dan lain lain.

Buah perjuangan dan pengorbanan dari keringat dan darah, harta dan nyawa membuahkan hasil proklamasi. Hari itu bertepatan dengan hari Jumat 9 Ramadhan 1364 H, Bung Karno memproklamirkan Indonesia sebagai negara merdeka.

Namun perjuangan tidak berhenti sampai di situ. Proklamasi sebagai negara merdeka memerlukan pengakuan dan dukungan dari negara lain. Di antara kebahagiaan dan kelegaan yang dirasa pada  17 Agustus itu terselip harapan dan pertanyaan kiranya negara mana yang dapat memberikan dukungan.

Baca Juga: Semua Rumah Sakit di Gaza Terpaksa Hentikan Layanan dalam 48 Jam

Sungguh saat itu pengakuan negara lain terhadap kemerdekaan Indonesia sangat dinanti dan diharapkan. Tak dinyana ternyata Palestina lah yang memberikan dukungan kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1944 satu tahun sebelum kemerdekaan diproklamirkan.

Sebuah buku yang ditulis M. Zain Hassan berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri menjelaskan bahwa Palestina mengakui kedaulatan Indonesia pada 1944. Saat itu, Mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dan seorang saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher menyiarkan dukungan rakyat Palestina untuk kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio dan media berbahasa Arab pada 6 September 1945.

Berita tersebut dua hari berturut-turut disebarluaskan di berbagai media termasuk harian terkenal ‘Al-Ahram’. Kedua tokoh ini juga aktif melobi negara-negara di kawasan Timur Tengah yang berdaulat di Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Muhammad Ali Taher yang dikenal sebagai konglomerat rela menyerahkan kekayaannya untuk kemerdekaan. Ia berkata “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”.

Sejarah memang mencatat bahwa Mesir adalah negara  pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946. Namun pengakuan ini tak lepas dari peran dua tokoh Palestina tersebut. Lalu bagaimanakah dengan dukungan Indonesia terhadap Palestina?. (Bersambung ke bagian II…) (L/wly/B03).

Baca Juga: Hamas Kecam Penyerbuan Ben-Gvir ke Masjid Ibrahimi

Mi’raj News Agency (MINA).

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Kolom
Kolom
Kolom