Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Urgensi Kemerdekaan dan Pembelaan Terhadap Palestina – Bagian II – (Oleh: M.Waliyulloh)

Nur Hadis - Senin, 29 Agustus 2022 - 14:42 WIB

Senin, 29 Agustus 2022 - 14:42 WIB

9 Views

Oleh: M. Waliyulloh, Ketua Lembaga Peduli Palestina, Aqsa Working Group (AWG) Biro Lampung

Pada tahun 1988 Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya dan Indonesia telah memberikan dukungan penuh, namun, perjuangan  masih berliku dan panjang. Zionis Israel tetap mencengkeram kukunya di tanah Palestina. Rakyat di sana masih mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Merdeka adalah suara yang seolah semakin sayup terdengar bagi mereka. Mereka menjadi objek pengusiran, ketidakadilan, genosida dan kekejaman yang melawan kemanusiaan.

Peristiwa-peristiwa mereka alami seolah seperti deretan angka kalender yang datang bergilir. Sejak deklarasi sepihak 14 Mei 1948, Zionis Israel membentangkan karpet penderitaan bagi rakyat Palestina. Peristiwa Nakba adalah gambaran tindakan tidak berperikemanusiaan karena mereka mengusir sekitar 750 ribu warga Arab Palestina dari rumah dan tanahnya.

Zionis mencaplok wilayah Palestina dengan semena mena. Sejak itu pula Zionis Israel melakukan 34 pembantaian. Salah satunya pembantaian Der Yasin yaitu pembantaian oleh teroris Yahudi Irgun pimpinan Menachem Begin yang terjadi pada malam dan pagi tanggal 9-10 April 1948. Mereka datang membunuh dan membantai semua termasuk anak-anak dengan santai dan kejam. Anehnya manusia laknat sejenis Menachem Begin justru mendapat hadiah Nobel Perdamaian.

Baca Juga: Rudal Balistik, Roket, dan Drone Hezbollah Hujani Tel Aviv

Pembantaian serupa terjadi lagi di desa Thantura, Nashiruddin, Bet Daras dan yang lainnya. Mereka melakukan penghancuran rumah dan lagi lagi membunuh banyak sekali wanita, anak-anak dan orang tua. Pada malam tanggal 14–15 Oktober 1953 kembali terjadi pembantaian Qibya, sebuah desa Arab di Tepi Barat. Sebanyak 600 serdadu Zionis Israel di bawah komando Ariel Sharon menyerbu desa tersebut mengakibatkan 67 penduduk sipil desa gugur syahid dan sejumlah besar lainnya mengalami luka-luka. Aksi ini juga menghancurkan 56 rumah, masjid desa, sekolah dan pusat penampungan air di desa tersebut.

Pada 10 Oktober 1956 terjadi pembantaian Qalqilia sebanyak 70 penduduk sipil syahid dan menimbulkan kehancuran wilayah itu dalam skala besar. Berikutnya, 29 Oktober 1956 terjadi pembantaian desa Kafer Qasim, mereka melakukan pelarangan aktivitas total (blackout). Lebih dari  49 orang syahid di antaranya 15 anak-anak dan ditambah puluhan lainnya luka-luka.

Pembantaian di kamp pengungsi Khan Yunis pada 3 November 1956 mengakibatkan 250 penduduk sipil Palestina tewas. Delapan hari berikutnya di lokasi yang sama mereka melakukan tindakan serupa dan membantai 275 orang.

Secara lebih singkat pembantaian demi pembantaian itu terus menerus terjadi, tanggal 13 November 1966  aksi pembantaian al Samu’ mengakibatkan sekitar 18 warga dan 134 lainnya luka-luka. Mengusir 330 ribu orang Palestina pada tahun 1967.

Baca Juga: Kurang Ajar! Tentara Zionis Israel Kencingi Al-Quran

Pada saat aksi pendudukan Zionis Israel atas Lebanon tahun 1982, tepatnya tanggal 5–30 Juni mereka membunuh sekitar 15 ribu warga sipil dan 50% korban yang gugur adalah anak-anak di bawah usia 13 tahun. Pembantaian Shabra dan Shatila 1982  adalah pembantaian yang mengerikan dan mengguncang nurani kemanusiaan.

Rakyat Palestina tidak diam begitu saja, mereka melakukan perlawanan sebagai upaya mereka meraih harkat manusia dan kemerdekaannya maka meletus intifadhah Palestina tahun 1987. Seperti halnya bambu runcing di Indonesia, rakyat Palestina menggunakan ketapel dan batu untuk melawan.  Perlawanan ini justru membuat zionis Israel semakin membabi-buta dalam melakukan tindakan represif. Bahkan kemudian dunia merespon perlawanan ini sebagai tindakan terorisme.

Wilayah Palestina telah remuk redam dirampok dan dikuasai hingga menyisakan sedikit saja yang masih dianggap sebagai wilayah Palestina. Batas negara Israel dan Palestina menjadi centang perenang karena aneksasi terus berlanjut entah sampai kapan. Wilayah Gaza yang dipagari para militan Palestina tidak tersentuh zionis namun blokade menjadi ultimatum untuk membuat wilayah Gaza menjadi penjara. Semua akses kebutuhan dasar di boikot.

Situasi Gaza semakin tidak kondusif apalagi Zionis Israel melakukan kejahatan dengan memberlakukan blokade total sejak 2006, dan memaksakan perang di wilayah itu setiap waktu. Peristiwa memilukan tentang rumah yang hancur, kematian, luka luka adalah berita yang jamak terdengar.

Baca Juga: Brigade Al-Qassam dan Al-Aqsa Hancurkan Tank dan Markas Israel

Zionis Israel melakukan semua istilah perang terhadap Gaza, agresi, aneksasi, kolonialisasi, blokade, genosida bahkan mungkin mereka sedang menyiapkan kosa kata untuk mewakili kebrutalan baru. Sungguh, blokade ini adalah kejahatan yang lebih kejam dari perang karena berlangsung lama dan berakibat pada kondisi ekonomi Gaza yang terpuruk.

Aktivitas usaha dibatasi begitu juga kesempatan kerja yang minim. Sektor kesehatan tidak dapat melayani kebutuhan masyarakat Gaza karena kekurangan obat-obatan yang parah. Sarana kesehatan yang tidak memadai berisiko terhadap kematian ribuan pasien. Kita belum membahas sektor lain seperti akses air dan listrik menjadi masalah yang memperburuk kondisi masyarakat Gaza. Blokade Gaza secara praktis mengubah wilayah tersebut sebagai tempat yang tidak dapat dihuni.

Situasi seperti itulah yang dijalani rakyat Palestina. Mereka sudah kesulitan untuk hidup, himpitan ekonomi dan kemiskinan ditambah rasa khawatir yang mencekam. Namun, mereka orang-orang Palestina adalah makhluk pilihan. Dalam situasi seperti itu masih bisa membagikan kebahagiaan, menebarkan suasana khidmat ucapan ‘merdeka’ dan dirgahayu Indonesia dengan penuh semangat. Mereka tersenyum di balik kepedihan karena negerinya hancur oleh perilaku binatang zionis israel.

Melihat antusiasme yang sebegitu menyala maka tidak ada alasan untuk tidak membela mereka, baik sebagai manusia, sebagai bangsa apalagi sebagai sesama muslim. Kita patut bersyukur dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada bangsa ini yang tetap konsisten membela Al-Aqsha dan Palestina.

Baca Juga: Tolak Wajib Militer, Yahudi Ultra-Ortodoks Bentrok dengan Polisi Israel

Idealisme bangsa Indonesia melawan penjajahan telah menjadi nyawa dari azas negara hingga kini. Kita pernah memimpikan dan menyusun harapan untuk kemerdekaan dengan keringat dan darah sampai Allah memberikan karunia di 17 Agustus 1945. Sayangnya mereka, rakyat Palestina masih berkutat dengan upaya perjuangan dan pengorbanan serta meyakinkan diri agar kebebasan dan kemerdekaan tidak hanya mimpi. Kita harus membantu dan membela dengan apapun yang kita punya. Tenaga, harta, nyawa dan doa.

Kemerdekaan yang kita rasakan dengan gegap gempita tidak cukup direfleksikan dengan syukur dan kecintaan untuk NKRI tercinta, tetapi juga melawan segala bentuk penjajahan, kezaliman dan ketidakadilan. Pembelaan terhadap Palestina adalah wujud dari sikap NKRI harga mati yang sudah berada pada level tertinggi karena itu adalah kristalisasi dari penghayatan terhadap kemerdekaan itu sendiri.

Urusan Palestina dan Al-Aqsha tidak bisa dikatakan sebagai urusan negara orang lain. Tapi, itu adalah urusan kita bangsa Indonesia yang memiliki identitas sebagai negara berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Bung Karno menyemai ketokohannya di dunia karena prinsipnya yang agung melawan ketidakadilan dan penjajahan.

Secara khusus untuk Palestina kita mengetahui prinsip Bung Karno yang begitu terkenal “Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel”. Sikap Bung Karno lestari dalam perkataan, sikap dan tindakan kepemimpinannya.

Baca Juga: Menolak Wajib Militer Yahudi Ultra-Ortodok Blokir Jalan di Israel Tengah

Oleh karenanya ketika kita berupaya mengisi kemerdekaan ini maka prinsip Bung Karno itu seyogyanya tetap terpatri pada setiap generasi Indonesia dan terus ditularkan pada generasi berikutnya dalam tindakan dan sikap yang konsisten membela rakyat Palestina. Negasinya, jika ada yang memiliki sikap sinis, skeptis terhadap kondisi Palestina patut dipertanyakan kesejatian Indonesianya.

Meminjam ungkapan budayawan Goenawan Muhammad tentang Palestina; “Kenapa kita sedih? Mungkin karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah merasakan bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam didunia”.

Air mata mereka telah mengering bersama darah yang menetes hilang terserap pasir. Tetapi, semangat perjuangan mereka seperti mata air berubah menjadi bah tak terbendung. Bangsa Palestina yang malang ini harus menyaksikan zaman berganti zaman, yang tiap kali mengandung kekejaman. Selama itu, dialah unsur yang terus menerus hadir bersama doa dan harapan yang pasti akan dijawab Sang Penentu Keadilan.

Akhirnya, penulis mengucapkan, Dirgahayu Indonesia yang ke-77, Merdeka untuk Palestina.(A/wly/B03/P1)

Baca Juga: Israel Lancarkan Operasi Penculikan Warga Palestina di Bethlehem

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda