Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Urwah bin Zubair, Ahli Fiqih Kaum Muslimin

Bahron Ansori - Kamis, 7 Mei 2020 - 15:44 WIB

Kamis, 7 Mei 2020 - 15:44 WIB

16 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram, menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sekelompok  sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan do’a-do’a yang shalih.

Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekliling Ka’bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.

Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka bagian dari perhiasan masjid, bersih pakainnya dan menyatu hatinya.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Keempat remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mus’ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi adalah Abdul Malik bin Marwan.

Pembicaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan-khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar-putar mengitari taman hasrat mereka yang subur.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara, “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Saudaranya Mush’ab menyusulnya, “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu, Urwah terdiam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?”

Ia berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi seorang alim (orang berilmu yang beramal), sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang Rabb-nya, sunnah nabinya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Saat Mimpi-mimpi Itu Terwujud

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Hari-hari berganti begitu cepat. Kini Abdullah bin Zubair di bai’at menjadi khalifah menggantikan khalifah Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu.

Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan bersatulah suara kaum muslimin pasca terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, ia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.

Bagaimana dengan Urwah bin Zubair?

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Ia lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khalifah al-Faruq Umar bin Khathtab. Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur martabatnya.

Ayahnya bernama Zubair bin Awwam, “Hawariy” (pembela) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Sedangkan ibunya bernama Asma’ binti Abu Bakar ash-Shidiq yang dijuluki Dzatun nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).

Kakeknya dari jalur ibu adalah Abu Bakar Shidiq, khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menemani beliau di sebuah goa. Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Bibinya adalah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah Ummul Mukminin.

Maka siapa lagi yang kiranya lebih unggul nasabnya dari Urwah? Adakah kemuliaan di atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?

Semangatnya dalam Mencari Ilmu

Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di Ka’bah yang agung tersebut, ia amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka ia mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup.

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Urwah mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Ia juga meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya Aisyah Ummul Mukminin. Pada gilirannya nanti, ia berhasil menjadi satu di antara fuqaha sa’bah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepadanya baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepadanya. Sebagai contoh adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia diangkat menjadi gubernur di Madinah pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan selamat kepadanya.

Usai shalat Dzuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh fuqaha itu telah berada di sisinya, maka Umar melapangkan majelis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji ia berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran. Saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendo’akan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar senantiasa menjadikan beliau tetap lurus dan tidak menyimpang.

Ahli Ilmu dan Amal

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Sungguh telah terkumpul pada diri Urwah bin Zubair antara ilmu dan amal. Beliau membiasakan shoum di musim panas dan shalat di waktu malam yang sangat dingin. Lidahnya senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya.

Urwah menghatamkan seperempat Al-Qur’an setiap siang dengan membuka mushaf, lalu shalat malam membacaya ayat-ayat Al-Qur’an dengan hafalan. Tak pernah ia meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yaitu ketika peristiwa mengharukan terjadi.

Dengan menunaikan shalat, Urwah memperoleh ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Ia tunaikan sebagus mungkin, ia tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan panjangkan shalatnya sedapat mungkin.

Telah diriwayatkan bawha ia pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Seorang dermawan

Urwah bin Zubair r.a adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Ia pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukanlah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.

Begitulah orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai keinginannya. Setiap kali memasuki kebun, ia mengulang-ulangi firman Allah yang artinya, “Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, laa quwwata illa billah” (sesunggunnya atas kehendak Allah semua itu terwujud. Tiada kekuatan kecuali degan pertolongan Allah)…” (Qs. Al-Kahfi: 39).

Ujian berat itu pun datang

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

­­­

Suatu masa di masa khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seoarang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur keimanan dan penuh dengan kayakinan.

Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Ia mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah amirul mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apa pun.

Namun, para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalan ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah, “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.”

Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapatkan afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalu begitu kami akan membius Anda!” beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu ia bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.”

Urwah berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”

Mulailah Tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illa Allah Allahu Akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga tetap bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan dibetis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana ia tidak bisa melakukan kebiasaan yang ia jaga sejak remajanya.

Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, ia meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Allah Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang haram

Tidak juga kakiku membawaku kepada yang haram

Telinga dan pandangan mataku pun demikian

Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran

Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan

Melainkan telah menimpa orang sebelumku.

Kejadian tersebut membuat amirul mukminin, Al-Walid bin Abdul Malid sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebuataannya. Di menjawab, “Wahai amirul mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di lembah di tengah kaum saya. Mendakak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seokor unta dan seorang bayi yang baru lahir. Maka saya taruh bayi itu di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa jauh, saya mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh, ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala yang telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu telah habis dilalapnya. Lalu serigala itu lari dengan kencangnya. Akhirnya aku kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendekat di menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.”

Kemudian Al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar ia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”

Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lama darinya.”

Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.

Yang paling baik di antara teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, “Bergemberilalah wahai Abi Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjamin kebagusan hisab untukmu.”

Mendidik anak dengan cinta

Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatiannya yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Urwah tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya ia memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Katanya, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan, “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”

Ia anjurkan mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah. Katanya, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiakan kepada Allah dengan apa yang kalian merasa malu menghadiakannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”

Urwah senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakekatnya. Katanya, “Wahai putra-putriku, jika kalian melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan itu ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menimbulkan kejahatan berikutnya.”

Ia juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah. Katanya, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, ‘Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian’.”

Jika ia melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiasakan diri untuk hidup sederhana.

Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin Al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku dan berkata, ‘Wahai Abu Abdillah.’ Aku jawab, ‘Labbaik’.”

Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah radhiyallahu ‘anha lalu beliau berkata, “Wahai anakku, demi Allah, adakalanya selama 40 hari tak ada api di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk api ataupun masak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada masa itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”

Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian dan diliputi ketakwaan. Ketika dirasa ajalnya telah dekat dan dia dalam keadaan shaum, keluarganya mendesak agar ia mau makan, tetapi ia menolak keras karena ingin berbuka di sisi Allah dengan minuman dari telaga Al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh bidadari-bidadari cantik dari surga.(A/RS3/)

(Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Sosok