USAHA PENDIRIAN NEGARA ‘ILEGAL’ ISRAEL DAN KERUNTUHAN TURKI UTSMANI

Ilustrasi. (Gambar: google)
Ilustrasi. (Gambar: google)

Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَہُودُ وَلَا ٱلنَّصَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَہُمۡ‌ۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰ‌ۗ وَلَٮِٕنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِى جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ‌ۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّ۬ وَلَا نَصِيرٍ (١٢٠)

Artinya: “Orang-orang dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 120).

Ayat ini menjadi landasan yang amat kuat bagi kaum Muslimin di manapun, betapa musuh-musuh Islam, utamanya Yahudi dan Nashrani sangat membenci terhadap kejayaan Islam dan perkembangannya.

Salah satu tokoh penting dalam sejarah modern Yahudi, Theodore Hertzl membuktikan kebenaran ayat ini. Pada tahun 1896, dia menulis sebuah buku yang secara detail mengajukan konsep tentang upaya pendirian ‘Negara Israel Raya’ di tanah Palestina yang saat itu dikuasai oleh Kekhilafahan .

Buku itu berjudul ‘Der Judenstaat’ atau Negara Yahudi. Bukunya  mendapat respon yang sangat luar biasa. Dan sebab itu, Hertzl dinobatkan sebagai ‘Bapak Zionisme Modern’.

Untuk bisa mendirikan negara Yahudi di atas tanah milik bangsa Palestina, maka kaum Yahudi harus melaluinya dengan jalan di luar demokratis. Beberapa hal yang harus dilakukan antara lain memenuhi tanah Palestina dengan orang-orang, Yahudi sehingga Yahudi menjadi mayoritas. Seiring dengan itu, menjadikan warga Palestina sebagai warga minoritas dengan berbagai cara yang bisa dilakukan. Seperti pembersihan etnis, perang, penyebaran penyakit, pembukaan lahan kerja di negara tetangga, dan sebagainya.

Meskipun mereka telah berhasil mendirikan negara “illegal” Israel, rekayasa itu terus berlangsung hingga hari ini. Garda terdepan bangsa Yahudi juga terus memaksakan dunia internasional untuk membuatkan undang-undang yang melegitimasi keberadaan Yahudi di Palestina. Inilah pokok-pokok strategi pendudukan Palestina.

Usaha Yahudi Pengaruhi Sultan Utsmani

Sembari mempropagandakan hak sejarah orang-orang Yahudi atas tanah Palestina, Hertzl kemudian berangkat menemui Sultan yang tengah berada di tampuk kekuasaan Turki Utsmani. Saat itu, Palestina merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Turki.

Hertzl datang menghadap sultan dengan satu maksud, untuk mempengaruhinya agar bersedia bekerjasama dengan kaum Yahudi dalam hal penyerahan tanah Palestina. Ini dilakukan Hertzl di tahun 1896, setahun sebelum dirinya menggelar Kongres Zionis Internasional I di Bassel, Swiss.

Sebenarnya, Hertzl sudah mengerti apa sikap Sultan menghadapi permintaannya ini. Namun Hertzl tidak mau mengira-ngira dan ingin mendengar langsung dari bibir Sultan tentang sikapnya itu. Apalagi Hertzl membawa satu janji menggiurkan dari para pemilik modal Yahudi internasional yang berkenan memulihkan kas keuangan Turki Utsmani yang sedang kosong jika permintaannya dituruti.

Namun di luar perkiraan Hertzl, Sultan Mahmud II ternyata memang seorang pemimpin yang sangat tegas, seorang pemimpin yang begitu kuat memegang prinsip, bahkan dengan berani menolak tawaran yang sangat menggiurkan sekali pun.

Mendengar permintaan Hertzl yang menginginkan Sultan menghibahkan Palestina kepada kaum Yahudi dengan imbalan bantuan keuangan dalam jumlah sangat besar, Sultan Abdul Hamid II dengan tegas berkata,

“Jangan lagi engkau membicarakan soal ini. Saya tidak akan menyisihkan sejengkal pun tanah Palestina karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka… Biarkanlah orang Yahudi menyimpan uang mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka.”

Kongres Zionis Internasional I

Dari peristiwa gagalnya usaha untuk mempengaruhi Sultan Utsmani, Hertzl kemudian teringat rencana yang pernah dilontarkan oleh Albert Pike, seorang Yahudi, sebelum kematiannya di tahun 1893. Albert Pike menyarankan agar Hertzl menggelar sebuah pertemuan besar, yang dihadiri semua tokoh berpengaruh Yahudi dari berbagai negara, untuk menyusun rencana aksi guna mendirikan sebuah negara bagi kaum Yahudi.

Hertzl merasa yakin, inilah momentum yang tepat untuk menabuh genderang persatuan kaum Zionis Internasional bagi sebuah rencana aksi yang besar. Inilah latar belakang diselenggarakannya Kongres Zionis Internasional I.

Menurut Sejawaran Muslim, Muhammad Namer Al-Khatib, ketika Hertzl tengah menggodok rencana penyelenggaraan Kongres Zionisme Internasional I, Konspirasi Yahudi Internasional mengirim kembali delegasinya berjumlah tiga orang untuk menghadap Sultan Abdul Hamid II. Namun, sultan yang mengetahui hal ini menolak menemui mereka dan hanya mengutus salah seorang pejabat istana.

Ketiga utusan Yahudi itu dihadapan Takhsin Pasha tidak lagi meminta hibah tanah Palestian seperti halnya yang dilakukan Theodore Hertzl, namun hanya meminta izin agar orang Yahudi diperkenankan memasuki Palestina untuk keperluan ziarah ke tempat-tempat suci mereka dan mendirikan sebuah perkampungan kecil mereka di dekat Al-Quds.

Jika permintaan ini disetujui sultan, maka delegasi itu akan menyerahkan imbalan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan berupa janji akan melunasi seluruh hutang pemerintah, akan membiayai berdirinya armada laut yang lengkap dengan kapal-kapal perangnya demi menjaga kedaulatan Turki Utsmani, dan akan memberikan kredit sebesar 35 juta lire uang emas tanpa bunga guna memperkuat keuangan negara dan menghidupkan perekonomiannya.

Kemudian pejabat Turki Utsmani itu menyampaikannya kepada sultan Abdul Hamid II. Namun sultan tak bergeming. Juatru Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan beberapa pernyataan yang amat terkenal,

“Katakan kepada orang-orang Yahudi itu sebagai berikut: Pertama, hutang pemerintah bukanlah suatu kejahatan. Negara lain seperti Perancis juga tersangkut hutang, dan semua itu tidak mempengaruhinya.

Kedua, Baitul Maqdis telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin atas pimpinan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Aku tidak bersedia menanggung nama buruk dalam sejarah, bahwa aku telah menjual tanah suci itu kepada Yahudi. Aku tidak mau mengkhianati amanah kaum Muslimin yang telah dipikulkan di atas pundakku.

Ketiga, katakan kepada orang-orang Yahudi itu untuk menyimpan saja hartanya sendiri. Pemerintah negara tidak dibenarkan membina aparatur negaranya dengan uang musuh Islam. Dan keempat, ini yang paling penting, suruh mereka segera angkat kaki dari sini, dan jangan boleh lagi mencoba menemui aku atau memasuki tempat ini!”

Kegagalan Yahudi dalam dua kali usahanya merayu Sultan Abdul Hamid II, membuat mereka berkolaborasi dengan Nagara-negara Eropa. Di saat Dinasti Turki Utsmani dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Negara Eropa seperti Inggris dan Perancis seolah mendapat angin segar untuk menghancurkan Kekhilafahan Dunia Islam. Niat Inggris dan Perancis tentu langsung mendapat sambutan dari Theodore Hertzl yang memang sejak awal menginginkan tanah Palestina dari kekuasaan Turki Utsmani untuk kaum Yahudi.

Kala itu, Inggris memutuskan ide penggunakan kebijakan ‘pecah belah’. Ini dilakukkan Inggris dengan mulai memberi dukungan kelompok-kelompok baru seperti “Turki Muda” yang dimotori oleh Mustafa Kemal Pasha. Kebodohan itu membuat umat tidak tahu lagi mana kawan dan mana lawan. Alih-alih membela Sultan, ia malah terkecoh dan bersekutu dengan penjajah, termasuk Zionis Yahudi yang telah ngebet ingin mencaplok Palestina.

Rekayasa Perang Dunia I

Salah satu usaha besar kaum Yahudi dan negara-negara Eropa dalam menghancurkan Dinasti Utsmani yang selama ini belum disadari mayoritas umat Islam adalah Perang Dunia Pertama (PD I). Se-abad lebih satu tahun yang lalu PD I terjadi, tepatnya antara tahun 1914-1918. Tapi sisa-sisa sejarah dan memori tentang pertempuran yang melibatkan hampir seluruh negara Eropa itu menjadi sebuah titik balik perjalanan panjang Dinasti Utsmani yang telah berdiri kokoh sejak 1299 silam. Di akhir perjalanannya, Dinasti Utsmani memiliki peranan penting dalam menjaga wilayah-wilayah Islam dari percobaan penjajahan negara-negara Eropa, termasuk Palestina.

PD I juga menandai konflik internasional skala besar pertama pada permulaan abad keduapuluh. Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand, pewaris mahkota Austria-Hungaria, dan istrinya, Archduchess Sophie, di Sarajevo pada 28 Juni 1914, menjadi pencetus permusuhan, yang dimulai pada Agustus 1914, dan berlanjut di beberapa front selama empat tahun berikutnya.

PD I telah melengkapi kepingan “puzzle” terakhir dari usaha untuk meruntuhkan Dinasti Turki Usmani yang telah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni (w. 1566 M). Semenjak itu, Turki Utsmani seolah kehilangan sosok pemimpin yang bisa membawa bahtera Turki Utsmani menuju kedigdayaannya kembali.

Kepingan yang dimaksud tentu keterlibatan Turki Usmani dalam PD I. Turki Utsmani memilih berada di pihak Jerman dan Austria. Turki meminta bantuan militer dan ekonomi dari Jerman, menyerang pos-pos kekuatan Rusia dan keinginan-keinginan untuk meraih kejayaan Turki Usmani yang telah lalu menjadi alasan keterlibatan Turki dalam pertempuran tersebut.

Pertempuran dua kekuatan besar itu berakhir pada tahun 1918, di mana ketika itu, aliansi bangsa-bangsa Eropa mengalahkan aliansi militer Jerman, Turki Utsmani dan Austria.

Menurut Sejarawan Muslim Muhammad Ash-Shallabi, akibat kekalahan ini, Dinasti Turki Utsmani menandatangani Perjanian Serves tahun 1920, di mana Dinasti Turki Usmani harus kehilangan keseluruhan provinsi yang ada di Semenanjung Balkan.

Dari hasil perjanjian ini pula kemudian Mesir menjadi negara protektorat Inggris dan secara total bebas dari kekuasaan Dinasti Turki Usmani. Akhirnya pada 23 Maret 1924, Musthofa Kemal At-Taturk memaksa Sultan Abdul Hamid II untuk menyerahkan kekuasaan Turki Usmani setelah Musthofa Kemal melakukan gerakan pembaharuan melalui Turki Muda-nya yang disokong Barat, dan penyerahan kekuasaan ini menjadi akhir riwayat dari sejarah panjang nan mengagumkan Turki Utsmani dan kemudian digantikan oleh Republik Turki yang sekuler.

Akhir Usaha Pendirian Israel Raya

Kehancuran Kerajaan Turki Usmani membuat bangsa-bangsa Eropa semakin mudah menguasai dan menjajah wilayah-wilayah yang dulu diduduki oleh Ustmani. Maka sejak itulah umat Islam berada dalam situasi dijajah oleh bangsa non-Muslim.

Selain pecahnya negara-negara Islam yang mulanya satu pemimpin, kaum Yahudi juga pada akhirnya memperoleh impian besar mereka selama berabad-abad lamanya menunggu untuk memiliki negara sendiri. Tahun 1948, kaum Yahudi memperoleh tanah di Palestina pemberian dari Inggris yang kemudian pada tahun yang sama, David Ben Gurion secara sepihak mendeklarasikan negara “illegal” Israel di atas tanah Palestina yang sejatinya bukan tanah mereka.

Tidak cukup sampai disitu, seolah tengah meluapkan kebenciannya yang dalam sejak lama, Ben Gurion mengusir warga Palestina dari rumahnya, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Nakbah 1948. Ratusan ribu warga Palestina diusir dari tempat tinggal mereka, tanah mereka dirampok. Perampokan Yahudi secara terang-terangan di hadapan dunia internasional didiamkan begitu saja, padahal 1948, negara-negara seperti Inggris, Rusia dan Amerika Serikat (AS) adalah negara adidaya setelah memenangi pertempuran Perang Dunia II (PD II). Semakin pula terlihat keterlibatan Eropa dalam membantu terbentuknya “negara illegal” Israel di atas tanah Palestina.

Demikianlah usaha panjang kaum Yahudi yang tanpa kenal lelah terus berusaha untuk mendapatkan “negara illegal” di atas tanah Palestina. Ini juga menjadi pelajaran bagi pemimpin-pemimpin dunia Islam untuk tidak terjebak dalam permainan dan konspirasi Yahudi yang begitu kental di sekitar mujahid Islam.

Akhirnya, ingatlah kembali kita kepada pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada shahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu, ketika semua orang bertanya tentang kebaikan kepada Rasulullah, Hudzaifah bertanya tentang keburukan yang kemudian bertanya tentang bagaimana cara menyikapi makar-makar musuh Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpesan untuk tetap berpegang teguh pada Jamaah Muslimin dan Imaam mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di akhir pesannya kepada Hudzaifah: “Jika tidak engkau temui yang demikian, maka jauhilah perpecahan umat, meskipun engkau sampai menggigit kayu hingga ajalmu tiba, engkau tetap demikian.”

Itulah pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Hudzaifah 14 abad yang lalu, seolah mengacu kepada kondisi kaum Muslimin saat ini, agar bersatu kembali dalam satu Jama’ah Muslimin sebagai perwujudan Khilafah menghadapi konspirasi yang dimotori Zionis Yahudi. Wallahul Musta’an. (P011/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.