Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usamah Bin Zaid, Panglima Perang Termuda

Bahron Ansori - Ahad, 2 Juni 2024 - 04:25 WIB

Ahad, 2 Juni 2024 - 04:25 WIB

180 Views

Oleh Bahron Ansori , wartawan Kantor Berita MINA

Kala itu masuk tahun ketujuh sebelum hijrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sedang mengalami kesulitan yang luar biasa akibat tindakan buruk kaum kafir Qurasy. Itulah tantangan dakwah yang dihadapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di awal munculnya Islam.

Dalam suasana sulit seperti itu, tiba-tiba seberkas cahaya pemacar memberikan hiburan yang menggembirakan. Seorang pembawa berita mengabarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ummu Aiman ​​melahirkan seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berseri-seri karena gembira menyambut berita tersebut.

Siapakah bayi yang membuat orang termulia itu tersenyum? Sehingga, kelahirannya dapat mengobati hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang duka, berubah menjadi gembira? Dialah Usamah bin Zaid.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersuka-cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena mereka mengetahui kedudukan kedua orang tua di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibu bayi tersebut adalah seorang wanita Habsyi yang tertarik, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”. Ummu Aiman ​​adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Aminah binti Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam waktu kecil, selagi ibundanya masih hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Oleh karena itu, dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia, kecuali Ummu Aiman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seorang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman ​​adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda ku yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.”  Itulah ibu bayi yang beruntung ini.

Kesayangan Anak Kesayangan

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Adapun ayahnya adalah kesayangan (Hibb) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Zaid bin Haritsah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tempat mempercayakan segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.

Kaum muslimin pun ikut bergembira atas kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi gembira meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang sangat beruntung itu mereka memanggil “ Al-Hibb wa Ibnil Hibb ” (kesayangan anak kesayangan).

Kaum muslimin tidak berlebihan-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang sangat menyayangi Usamah. Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih tampan bagaikan bunga yang menakjubkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Usamah berkulit hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan ibu wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkannya di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan dibaringkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dada, seraya berkata, “Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Begitu sayangnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Usamah, pada suatu kali Usamah mendasari pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, namun tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau menyedot darah yang keluar dari lukanya dan diludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hati merasa tenteram kembali.

seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari Yazan, seorang pembesar Yaman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam enggan menerima hadiah dari Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli olehnya dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah selalu memakainya pagi dan petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.

Keberanian dan Kepemimpinan

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Bukan hanya seperti anak sendiri, tapi Usamah bin Zaid juga adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikenal karena keberaniannya, kebijaksanaannya, dan dedikasinya kepada Islam meskipun usianya masih muda.

Salah satu kisah paling fenomenal tentang Usamah bin Zaid ini adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuknya sebagai komandan pasukan Muslim untuk memimpin ekspedisi militer melawan pasukan Romawi di daerah Syam (Suriah) pada tahun 632 M. Wilayah yang berbatasan dengan Baitul Maqdis, Palestina, yang menunjukkan bagian dari tekad Rasulullah untuk membebaskan wilayah Baitul Maqdis dari belenggu kekuasaan Romawi. 

Kala itu, Usamah baru berusia 18 atau 19 tahun, tapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk memimpin pasukan yang terdiri dari banyak sahabat senior dan berpengalaman.

Penunjukan Usamah sebagai perintah ini menunjukkan keyakinan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kemampuan dan integritas Usamah. Meskipun beberapa sahabat awalnya meragukan keputusan ini karena usia Usamah yang masih muda, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas mendukungnya dan meminta para sahabat untuk mengikuti kepemimpinan Usamah.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Meskipun ekspedisi yang dipimpin Usamah bin Zaid akhirnya ditunda karena wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khalifah pertama, Abu Bakar As-Siddiq tetap melanjutkan misi itu sebagai penghormatan terhadap perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pasukan Usamah berhasil menjalankan misi mereka dengan sukses, yang memperkuat Muslim di wilayah tersebut dan memberikan pesan kuat kepada kekuatan-kekuatan posisi lain tentang tekad dan kemampuan militer Muslim.

Ibrah dari Kepemimpinan Usamah

Kisah Usamah bin Zaid adalah inspirasi bagi banyak orang, terutama bagi generasi muda, tentang pentingnya keberanian, kepercayaan diri, dan ketaatan kepada pemimpin yang bijaksana. Meski usianya masih muda, Usamah membuktikan bahwa dengan iman yang kuat, dedikasi, dan integritas, seseorang dapat mencapai hal-hal besar dan memperoleh kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya.

Kisah Usamah juga mengajarkan bahwa pemimpin yang baik tidak diukur dari usia atau pengalaman semata, tetapi dari kualitas pribadi dan kemampuan untuk memimpin dengan adil dan bijaksana.

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Selain itu, kisah Usamah bin Zaid mengajarkan kepada kita tentang betapa pentingnya melihat potensi dan keshalihan seseorang, tidak hanya dipahami pada usia. Kepemimpinannya yang dipercaya langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menunjukkan pentingnya keteguhan dalam menjalankan keputusan yang dianggap baik.

Bila disimpulkan dengan sederhana setidaknya ada tiga pelajaran utama yang bisa dipetik dari kisah sahabat mulia Usamah bin Zaid ini, antara lain sebagai berikut.

Pertama , keberanian menghadapi tantangan. Meski masih muda tapi Usamah menunjukkan keberanian yang luar biasa dengan menerima tanggung jawab besar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ragu sedikitpun.

Kedua , kepatuhan dan kepercayaannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Usamah bin Zaid menunjukkan ketaatan yang tinggi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencerminkan sikap seorang muslim yang baik dalam mengikuti pemimpin yang adil lagi bijaksana.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Ketiga , keadilan dan kebijaksanaan. Dalam kepemimpinannya, Usamah dikenal adil dan bijaksana, memperlakukan pasukan dengan hormat dan memberikan contoh yang baik bagi mereka yang dipimpin.

Masih banyak pelajaran berharga lainnya yang bisa dipetik dari kisah seorang sahabat mulia Usamah bin Zaid. Semoga Allah Ta’ala merahmati Usamah dan memberikan taufik kepada setiap Muslim untuk bisa mengikuti jejaknya.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Kantor Berita Mi’raj (MINA)

 

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Palestina
Kolom
Internasional
Internasional