Kabul, 6 Jumadil Akhir 1436/26 Maret 2015 (MINA) – Para uskup Katholik menyatakan kemarahannya atas kematian Farkhunda, ulama wanita Kabul 27 tahun yang difitnah telah membakar Al-Quran, kemudian dibunuh secara biadab oleh massa di ibukota Afghanistan, Kamis (19/3) pekan lalu.
Para tokoh Katholik menyerukan “dedikasi ulang” untuk kebebasan beragama dan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Seorang perwakilan dari Amerika Serikat (AS) pada Konferensi Uskup mengatakan kepada Catholic News Agency (CNA), Selasa (24/3) yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), para uskup memiliki kekhawatiran tentang “hukum penghujatan” yang berperan besar dalam insiden dunia itu.
Kamis 19 Maret, Farkhunda yang baru meraih gelar ilmu agamanya, dipukuli oleh massa yang marah di pusat Kabul, digantung, diseret, dilindas dengan mobil dan dibakar di tepi sungai Kabul.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Seorang polisi mengatakan kepada pers, kejadian bermula saat Farkhunda berdebat dengan seorang mullah pedagang jimat di kuil terkenal Shah-Do Shamshera yang bersebelahan dengan masjid.
Menurut keluarga dan teman-temannya, Farkhuda menghimbau para perempuan untuk tidak membuang-buang uangnya untuk membeli jimat.
Dan ayahnya, Mohammed Nadir, mengatakan, orang-orang meresponnya dengan membuat tuduhan palsu yang menyatakan anaknya membakar Al-Quran, memicu terjadinya serangan brutal.
Dilaporkan, tuduhan itu tidak pernah diverifikasi dan Kepala Badan Investigasi Kriminal menyatakan Farkhunda tidak bersalah pada Ahad (22/3).
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Dalam laporan terbaru, Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS menyorot Afghanistan sebagai negara “Tingkat 2” untuk pemantauan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Negara “Tingkat 2” berada di bawah negara “Tingkat 1 dengan Perhatian Khusus” yang merupakan pelanggar HAM dan kebebasan beragama terburuk.
Penelitian versi PBB menunjukkan, Afghanistan mengalami peningkatan 20% dalam kekerasan terhadap perempuan selama 2012.
Dalam laporan tersebut, PBB juga memberi perhatian kepada penegakan hukum atas penghujatan, khususnya di negara tetangga Pakistan.
Undang-undang penghujatan ada hukuman matinya atau penjara seumur hidup, dan tuduhan yang disajikan tidak memerlukan bukti setelah fakta. (T/P001/P2)
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)