DI balik derasnya arus dakwah Islam di wilayah terpencil Indonesia, terdapat sosok-sosok tangguh yang telah mengorbankan banyak hal demi menyebarkan risalah tauhid. Salah satu nama yang patut dikenang adalah Ustaz Anshorullah, seorang dai yang telah melalui berbagai ujian dan pengalaman dalam perjalanannya menapaki medan dakwah, mulai dari daerah pelosok Sumatera hingga pedalaman Kalimantan Barat. Sosoknya merupakan gambaran nyata dari seorang dai yang “sudah banyak makan asam garam perjuangan”.
Awal Perjalanan Spiritual
Perjalanan dakwah Ustaz Anshorullah dimulai pada tahun 1974, ketika dirinya masih berusia sekitar 21 tahun. Di sebuah daerah terpencil bernama Umbul Kates, Lampung Selatan. Momen itu terjadi di bulan Ramadhan, saat Ia bertemu dengan Ustaz Saefuddin, seorang tokoh ulama, aktivis dakwah, yang kemudian menjadi pembimbing utama dalam hidupnya termasuk dalam kegiatan berdakwah.
Anshorullah melanjutkan perjalanan intelektual dan spiritualnya di Pringsewu, Lampung, di bawah bimbingan Ustaz Saefuddin. Selama tahun-tahun awal ini, ia mulai memahami prinsip ketaatan, ukhuwah, dan tanggung jawab dakwah secara lebih dalam.
Baca Juga: Buya Saleh Hafiz, Tinggalkan Bisnis Fokus Berdakwah
Dikutip dari Buku “Bukan Orang Biasa, Kisah Para Pejuang di Jalan Dakwah” yang diterbitkan MINA Publishing House, Tahun 1976 menjadi titik penting bagi Ansorullah, saat ia berhijrah ke permukiman Jama’ah Muslimin (Hizbullah) di Muhajirun. Di sanalah ia merasakan kehidupan berjama’ah yang ketat, penuh kedisiplinan, dan kebersamaan. Ia pernah menjadi Amir Tarbiyah dan juga katib, menjalani peran ganda dalam struktur keumatan yang berkembang.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Pada 1977, Muhajirun digerebek aparat militer karena difitnah terlibat dalam gerakan Komando Jihad (Komji). Padahal, aktivitas mereka hanyalah taklim rutin keagamaan. Dalam peristiwa tersebut, Anshorullah ikut serta memberikan klarifikasi kepada pihak kepolisian, menunjukkan sikap tenang dan penuh keyakinan atas kebenaran yang mereka perjuangkan.
Pernikahan Penuh Makna
Di tengah situasi sulit di Muhajirun, Anshorullah tetap menjalani kehidupan rumah tangga. Ia menikahi Mukhrojah dari Pringsewu dalam suasana yang sangat sederhana. Mahar yang ia berikan bukanlah emas atau harta benda, melainkan hafalan Surat As-Shaff. Ini mencerminkan keikhlasan dan komitmen ruhaniah yang tinggi, sesuatu yang kini mungkin jarang ditemui.
Baca Juga: Keteladanan Sejati Fatimah Az-Zahra bagi Muslimah Sepanjang Zaman
Ustaz Saefuddin bahkan memberikan kemeja untuk dipakai di hari pernikahan, sebagai wujud kasih sayang seorang guru terhadap muridnya. Momen ini berlangsung bertepatan dengan taklim pusat, mempertemukan banyak tokoh-tokoh Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dari luar daerah, dan menjadi kenangan spiritual yang mendalam bagi Anshorullah.
Dakwah Menuju Kalimantan
Langkah besar dalam sejarah dakwah Anshorullah dimulai pada tahun 1984, ketika ia mengikuti pelatihan intensif selama satu bulan di Shuffah Hizbullah Pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Bogor. Pelatihan ini dipimpin langsung oleh Allahuyarham Imaam Muhyidin Hamidy, yang kemudian memberikan amanah besar: berdakwah ke Kalimantan Barat.
Setelah membaca surat tugasnya bersama sang istri, Anshorullah terkejut karena belum memiliki pengalaman atau gambaran tentang Kalimantan Barat. Namun, tanpa ragu, ia tetap menjalankan amanat tersebut bersama dua rekan lainnya: Ustaz Azra’i dan Abu Nida.
Baca Juga: Pesona Fisik Nabi Muhammad SAW: Dalam Kilau Hadits Syamail Muhammadiyah
Kepergian mereka tidak diiringi kemewahan. Hanya dibekali uang pas-pasan dan semangat jihad fi sabilillah, mereka menumpang Kapal Bintang Mekar 2 dan secara kebetulan bertemu dengan nakhoda Zainal Abidin, yang kemudian turut mendukung misi dakwah mereka. Allah benar-benar membukakan jalan.
Di kapal, Anshorullah, Azra’i, dan Abu Nida berkesempatan berbincang dengan Pak Zainal Abidin, di antaranya yang menceritakan kepadanya tentang nakhoda bernama Abdullah yang semula mereka ingin berlayar bersamanya. Dari obrolan itu, Anshorullah menyadari bahwa nama seseorang tidak selalu mencerminkan akhlak dan perilakunya.
Saat berada di tengah lautan, Pak Zainal Abidin berpesan agar setelah turun dari kapal, mereka bisa langsung menuju rumahnya, karena butuh waktu tiga hingga empat hari untuk menghilangkan mabuk laut katanya. Pak Zainal juga meminta Anshorullah untuk mengajari anak-anaknya mengaji selama kami tinggal di rumahnya.
Ketika melanjutkan pelayaran, Pak Zainal mulai penasaran dengan mereka karena melihat kebiasaan menjalankan shalat berjamaah di atas kapal. Hal ini membuatnya tertarik dan semakin simpati hingga akhirnya mengajak Anshorullah, Azra’i, dan Abu Nida untuk tinggal sementara di rumahnya setelah tiba di tujuan.
Baca Juga: Bintu Al-Syathi’ Mufassirah Hebat dari Mesir
Ansorullah diberi waktu tiga bulan untuk berada di Kalimantan Barat oleh Imaam Hamidy. Namun, setelah satu bulan berlalu, Anshorullah merasa belum menghasilkan sesuatu yang berarti. Mereka sempat mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Tayan agar diizinkan mengisi ceramah, tetapi ditolak.
Ketika ditanya alasannya, kepala KUA menjelaskan bahwa pimpinan mereka di Kabupaten Sanggau beragama Nasrani, sehingga mereka tidak bisa memberi izin. Anshorullah pun menerima keputusan itu dengan lapang dada.
Menembus Birokrasi dan Tantangan Awal
Setibanya di Kalimantan Barat, tepatnya di wilayah Tayan, mereka mencoba menjalin komunikasi dengan KUA setempat, namun ditolak karena faktor birokrasi dan dominasi non-Muslim dalam struktur pemerintahan saat itu. Ini menjadi tantangan tersendiri. Tapi Anshorullah tidak patah arang.
Baca Juga: Mahathir Mohamad Genap Berusia 100 Tahun
Dengan sisa dana, mereka mengutus Ustaz Azra’i ke Sambas, yang akhirnya berhasil membuka akses dakwah melalui seorang tokoh masyarakat bernama Basuni dan Rahimdiyar dari Kandepag Sambas. Dari sinilah pintu dakwah mulai terbuka.
Mereka mendapat izin resmi untuk memberikan ceramah di berbagai kecamatan dan masjid, menjadikan waktu yang tersisa dari misi tiga bulan mereka benar-benar bermanfaat. Bahkan setelah pulang ke Jakarta, mereka kembali diundang untuk berdakwah di wilayah yang sama pada bulan Maulud berikutnya.
Konsistensi dan Kesederhanaan
Apa yang membedakan Ustaz Anshorullah dari kebanyakan dai adalah sikapnya yang tidak pernah mencari panggung. Dakwah baginya bukan tentang popularitas, tetapi tentang amanah dan ketaatan. Ia tidak mengeluh meski harus tidur di masjid, membagi singkong dengan jatah terbatas, atau berdakwah tanpa bayaran.
Baca Juga: Zohran Mamdani, New York dan Suara Dukungan untuk Palestina
Keteguhannya tampak dalam prinsip “sami’na wa atha’na” (kami mendengar dan kami taat). Bahkan ketika ia belum tahu rute perjalanan ke Kalimantan atau bagaimana akan hidup di sana, ia tetap berangkat karena percaya bahwa Allah akan mencukupkan segala kebutuhan orang yang berjuang di jalan-Nya.
Keluarga: Pilar Kuat Perjuangan
Dari pernikahannya, Anshorullah dikaruniai 10 anak. Salah satu dari mereka, Tami, bahkan mengikuti jejak ayahnya menempuh pendidikan di STAI Al-Fatah Bogor. Ia meyakini bahwa lingkungan Jama’ah seperti Muhajirun sangat berperan penting dalam membentuk karakter anak-anaknya.
Meski berasal dari keluarga besar di Garut dengan 12 saudara (termasuk anak dari pernikahan sebelumnya sang ayah), Anshorullah tumbuh dalam tradisi kekeluargaan yang kuat. Pesan ibunya agar tidak membedakan saudara tiri pun ia pegang teguh sebagai prinsip hidup, sebuah nilai yang sejalan dengan semangat ukhuwah dalam Islam.
Baca Juga: Muazzuhrani dan Kisah ”Tol Cileungsi 1980”
Warisan Dakwah dan Keteladanan
Kini, sosok Ustaz Anshorullah dikenang sebagai salah satu pionir dakwah di Kalimantan Barat. Ia telah membuka jalan bagi berkembangnya pengajian, pendirian pesantren, serta kesadaran beragama yang lebih kuat di berbagai wilayah yang pernah ia kunjungi.
Keberaniannya dalam menghadapi fitnah, kesabarannya dalam mendidik umat, serta keikhlasannya dalam menerima takdir hidup menjadikan beliau sosok yang pantas dijadikan teladan, terutama bagi generasi muda yang ingin terjun ke medan dakwah.
Lebih dari sekadar dai, Anshorullah adalah representasi dari mujahid dakwah sejati, yang tak gentar meski diterpa badai, tak mundur meski jalanan sunyi, dan tak goyah meski godaan dunia datang bertubi-tubi. [bahron ansori]
Baca Juga: Rima Hassan, Suara Perlawanan dari Kapal Madleen Menuju Gaza