Amandemen UU Kewarganegaraan India Diskriminatif

DISKRIMINATIF: Demonstran di luar Universitas Jamia Millia Islamia, New Delhi, Kamis (18/12). Mereka memprotes aturan kewarganegaraan (Money SHARMA / AFP)

telah mengeluarkan undang-undang yang akan memberikan kewarganegaraan kepada minoritas agama – kecuali Muslim – dari negara-negara tetangga, dengan para pakar hukum mengatakan itu melanggar konstitusi sekuler negara itu.

Undang-undang kewarganegaraan baru, yang merupakan amandemen undang-undang tahun 1955, memungkinkan memberikan kewarganegaraan India kepada minoritas yang “dianiaya” – Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsis dan Kristen – dari Bangladesh, Afghanistan dan Pakistan – tanpa mere mereferensikan minoritas Muslim.

Undang-undang itu diloloskan melalui Parlemen India oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa dan diratifikasi oleh Presiden Ram Nath Kovind pada 12 Desember.

Partai-partai oposisi mengatakan, hukum itu diskriminatif karena memilih Muslim di negara sekuler resmi yang berpenduduk 1,3 miliar orang. Muslim sebanyak hampir 15 persen dari populasi.

Para kritikus menunjukkan bahwa langkah itu adalah bagian dari agenda supremasi Hindu yang didorong oleh pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi sejak berkuasa hampir enam tahun lalu.

Berbagai permohonan telah diajukan melawan UU itu di Mahkamah Agung India.

 

“Strategi untuk Mempolarisasi India”

Sanjay Jha, juru bicara partai oposisi utama di Kongres, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa hukum itu adalah “bagian dari strategi politik BJP yang memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India.”

“Model bisnis politik BJP adalah untuk menjaga India agar tetap stabil, meningkatkan suhu komunal yang tinggi selama pemilihan umum,” tambahnya.

Bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Amit Shah, orang kepercayaan dekat Modi, mengumumkan bahwa negara itu akan memulai mendata semua warga negaranya untuk menyingkirkan imigran dari negara-negara tetangga yang tanpa dokumen.

Langkah serupa yang dikenal dengan nama Daftar Warga Nasional (NRC) dilakukan di negara bagian timur laut Assam, tempat hampir dua juta orang tidak dimasukkan dalam daftar warga pada Agustus.

Shah di masa lalu menyebut imigran Bangladesh sebagai “rayap” dan “penyusup” serta ancaman bagi keamanan nasional.

Partainya dengan keras menentang kedatangan pengungsi Rohingya dan mengancam akan mendeportasi mereka ke Myanmar, meskipun minoritas Muslim itu menghadapi pembersihan etnis di Tanah Air.

UU itu juga mengecualikan warga Sri Lanka, tempat minoritas Tamil menghadapi kekejaman.

 

Apa itu UU Amendemen Kewarganegaraan?

Hukum tersebut pertama kali diperkenalkan di Parlemen pada Juli 2016, mengubah UU Kewarganegaraan 1955 dengan menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan. Undang-undang sebelumnya tidak menjadikan agama sebagai kriteria kelayakan untuk menjadi warga negara.

RUU itu disahkan di Lok Sabha (Parlemen India) pada Januari 2019, tetapi tidak dapat diambil di Majelis Tinggi, menyusul terjadi protes di negara-negara timur laut dan perlawanan dari oposisi.

Hukum baru itu membuat beberapa pengecualian bagi negara-negara bagian timur laut yang telah memprotes tindakan itu karena dinilai akan mendorong puluhan ribu umat Hindu dari Bangladesh untuk bermigrasi ke India.

Menurut undang-undang baru itu, syarat untuk menjadi warga negara India bagi imigran, setidaknya sudah tinggal selama enam tahun. Sementara undang-undang tahun 1955 menetapkan residensi 12 tahun sebagai kualifikasi.

 

UU Diskriminatif

Kritik utama terhadap undang-undang ini adalah bahwa hal itu mencegah Muslim mendapatkan kewarganegaraan, sesuatu yang mirip dengan larangan Presiden AS Donald Trump kepada Muslim dari beberapa negara dilarang mendapat suaka.

Ahli hukum berpendapat bahwa itu melanggar Pasal 14 konstitusi, yang menjamin hak atas kesetaraan.

Faizan Mustafa, seorang ahli hukum konstitusi, telah menyebut undang-undang itu “sangat regresif” dan pelanggaran terhadap konstitusi.

“Kami tidak memiliki kewarganegaraan berdasarkan agama,” kata Mustafa, Wakil Rektor Universitas Hukum NALSAR di Hyderabad.

“Konstitusi kami melarang diskriminasi berdasarkan agama. Dengan membedakan imigran ilegal berdasarkan agama, undang-undang yang diusulkan melanggar struktur dasar konstitusi India,” katanya kepada Al Jazeera.

“Jika pemerintah India, melalui RUU ini, ingin memberikan kewarganegaraan kepada minoritas teraniaya di negara-negara tetangga, bagaimana bisa mengecualikan orang Rohingya Myanmar yang jauh lebih teraniaya daripada kelompok lain di lingkungan itu,” katanya.

“Demikian pula, bagaimana kita bisa mengecualikan Ahmadiyah dan Syiah dari Pakistan dan Bangladesh dan Hazara dari Afghanistan.”

 

Penentangan di Timur Laut

Sebagian besar orang dan organisasi di timur laut menentang UU tersebut, dengan mengatakan UU itu akan membatalkan ketentuan Perjanjian Assam tahun 1985, yang menetapkan pada 24 Maret 1971 sebagai batas waktu untuk deportasi semua imigran tidak berdokumen terlepas dari agama.

Sementara UU saat ini menetapkan batas tanggal 31 Desember 2014.

Menteri Dalam Negeri Shah telah meyakinkan bahwa orang-orang di timur laut, rumah bagi sejumlah besar populasi suku, akan dibebaskan dari urusan undang-undang baru itu, tetapi langkah itu gagal meredakan ketakutan mereka.

“Orang-orang di timur laut khawatir dengan UU itu karena mereka merasa itu akan mengubah komposisi demografis negara bagian mereka,” kata Sanjoy Hazarika, Direktur Commonwealth Human Rights Initiative, kepada Al Jazeera.

 

NRC

Pada tanggal 31 Agustus, daftar terakhir NRC mengecualikan hampir dua juta orang dari daftar kewarganegaraan terakhir di Assam.

Sensus itu dimaksudkan untuk mengecualikan imigran gelap dari Bangladesh, tetapi banyak pula warga India asli yang tidak masuk daftar.

BJP kemudian menolak hasil proses di Assam karena sebagian besar dari mereka yang tidak memenuhi syarat adalah orang Hindu.

“Motif di balik CAB (RUU Amendemen Kewarganegaraan) adalah untuk benar-benar melegitimasi kewarganegaraan semua non-Muslim yang mungkin dinyatakan sebagai imigran ilegal sesuai NRC,” klaim Mustafa.

Namun, pemerintah menyatakan bahwa undang-undang itu memberikan kewarganegaraan kepada minoritas yang menghadapi penganiayaan agama di negara-negara mayoritas Muslim yang berdekatan seperti di Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. (AT/RI-1/P1)

 

Sumber: tulisan Bilal Kuchay di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.