Jakarta, MINA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (22/4).
Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli ini menghadirkan pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Dr. Qurrata Ayuni.
Dalam sidang Pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian sejumlah pasal dalam UU Pengelolaan Zakat ini, Ayuni memberikan pendapat atas sejumlah pasal yang dinilai memberikan kewenangan dominan kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam pengelolaan zakat di Indonesia.
Menurutnya, monopoli negara dalam pengelolaan zakat melalui BAZNAS berpotensi melanggar prinsip-prinsip konstitusi.
Baca Juga: Presiden Prabowo Terima Kunjungan Wakil PM Malaysia
“Ketika negara memaksa masyarakat menggunakan satu kanal yang dianggap sah dan menutup alternatif lain yang juga sah secara konstitusional, maka negara tidak berada dalam posisi netral dan independen,” ujarnya kepada wartawan usai sidang.
Ia menegaskan, dominasi negara dalam pengelolaan zakat dapat dikategorikan sebagai bentuk state overreach.
“Zakat adalah ibadah yang bersifat spiritual dan sosial. Ketika negara mengambil alih secara penuh, maka hal ini dapat membatasi hak masyarakat sipil dalam mengekspresikan ibadah mereka secara bebas,” tambahnya.
Dalam pandangannya, pendekatan uji proporsionalitas dalam hukum konstitusional menunjukkan bahwa kewenangan negara dalam UU tersebut gagal memenuhi empat tahapan uji proporsionalitas yang semestinya dipenuhi dalam pembatasan hak konstitusional.
Baca Juga: Pulau Rubiah Sabang, Jejak Karantina Haji Masa Kolonial Belanda
Sementara itu, tim kuasa hukum pemohon, Wafdah Z. Yuniarsyah, menyoroti pasal-pasal seperti Pasal 5 dan 6 yang menurutnya justru dapat menurunkan partisipasi masyarakat serta melemahkan kepercayaan umat terhadap sistem zakat nasional.
“Ini kontraproduktif terhadap tujuan negara membangun sistem zakat yang kuat dan inklusif,” katanya.
Wafdah menambahkan, negara seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai satu-satunya otoritas dalam urusan ibadah zakat. “Semangat konstitusi yang demokratis dan pluralis harus dijaga,” tegas Wafdah.
Sebelumnya, sidang uji materi UU Pengelolaan Zakat ini telah digelar pada 5 November 2024, tercatat dengan nomor perkara 97/PUU-XXII/2024. Permohonan diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat, serta Arif Rahmadi Haryono sebagai pemohon perorangan.
Baca Juga: Pimpin Gerakan Tanam Sejuta Pohon di Hari Bumi, Menag: Tokoh Agama Beri Teladan Pelestarian Alam
Pada sidang kali ini, para pihak pemohon menunjuk Wafdah Z. Yuniarsyah dan Denny Indrayana sebagai tim kuasa hukum.
Para Pemohon yang merupakan muzaki mengaku mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya dikarenakan dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam pasal dan/atau ayat dalam UU 23/2011.
Lembaga-lembaga bentukan masyarakat yang telah lebih dahulu berdiri tersebut telah dan masih melakukan edukasi, kampanye, sosialisasi tentang Zakat Infak Sedekah (ZIS) secara bertahap sampai saat ini.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga: Menag Letakkan Batu Pertama Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia
Sementara, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) sesuai dengan yang diinginkan Pemohon.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kemenag dan MOSAIC Dorong Ekosistem Hutan Wakaf Nasional