Vaksin MR Aman Tapi Halalkah?

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA)

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 mengenai , yang menyebutkan imunisasi pada dasarnya diperbolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk menjaga sistem kekebalan tubuh agar terhindar dari berbagai penyakit. Dengan catatan, vaksin yang digunakan untuk imunisasi harus dan suci.

Dalam keterangan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) ditambahkan, penggunaan vaksin imuniasi dari bahan yang haram tentu dilarang, kecuali jika digunakan dalam kondisi darurat, belum ditemukan vaksin yang sama dengan bahan halal, dan ada keterangan dari tenaga medis yang kompeten dan dipercaya tentang tidak berbahayanya vaksin tersebut.

Menurut pertimbangan para ahli, tiga hal darurat tersebut berlaku jika seseorang yang tidak diimunisasi akan membuatnya meninggal, mengalami penyakit berat, atau menyebabkan kecacatan permanen yang mengancam jiwanya.

Persoalannya adalah bagaimana kehalalalan Imunisasi (Measles Rubella) yang secara serentak dilaksanakan di Indonesia pada Agustus hingga September 2017 ini?

Vaksin MR

Vaksin MR adalah kombinasi vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated) berupa Campak atau Measles (M) dan Rubella (R) untuk perlindungan terhadap penyakit Campak dan Rubella (Campak Jerman).

Measles dan Rubella (selanujutnya disebut MR) adalah penyakit infeksi menular melaui saluran nafas yang disebabkan oleh virus. Anak dan orang dewasa yang belum pernah mendapat imunisasi MR atau yang belum pernah mengalami penyakit ini berisiko tinggi tertular.

Menurut Informasi Kementerian Kesehatan RI, MR adalah penyakit infeksi menular melalui saluran napas yang disebabkan oleh virus. Campak dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti diare, radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis), kebutaan bahkan kematian.

Rubella biasanya berupa penyakit ringan pada anak, akan tetapi bila menulari ibu hamil pada trimester pertama atau awal kehamilan, dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan.

Kecacatan tersebut dikenal sebagai Sindroma Rubella Kongenital di antaranya meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan. Tidak ada pengobatan untuk penyakit campak dan rubella, namun penyakit ini dapat dicegah.

Imunisasi dengan vaksin MR adalah pencegahan terbaik untuk kedua penyakit ini. Satu vaksin mencegah dua penyakit sekaligus.

Vaksin MR telah mendapat rekomendasi dari WHO dan izi edar dari Badan POM, termasuk aman dan telah digunakan di lebih dari 141 negara di dunia.

Imunisasi MR diberikan untuk semua anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun selama kampanye imunisasi MR. Selanjutnya, imunisasi MR masuk dalam jadwal imunisasi rutin dan diberikan pada anak usia 9 bulan, 18 bulan, dan kelas 1 SD/sederajat menggantikan imunisasi Campak.

Tahun ini,  6 provinsi, 119 kabupaten/kota dan 3.579 Puskesmas akan melaksanakan kampanye dengan total sasaran anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun yang akan diberikan imunisasi MR berjumlah 34.964.384 anak.

Kegiatan ini didukung oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Tim Penggerak PKK Pusat, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan juga lembaga serta organisasi terkait lainnya.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek memastikan pemberian vaksin MR yang diimpor dari India aman bagi anak. Vaksin untuk mencegah penyakit campak Jerman ini menjadi bagian dari program imunisasi nasional yang digalakkan pemerintah.

Nila memastikan keamanan tersebut setelah sebelumnya ada penolakan dari sebagian masyarakat, terutama orang tua murid di sejumlah daerah.

Belum Halal

Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 mengenai imunisasi, menyebutkan imunisasi pada dasarnya diperbolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk menjaga sistem kekebalan tubuh agar terhindar dari berbagai penyakit. Dengan catatan, vaksin yang digunakan untuk imunisasi harus halal dan suci.

Fatwa juga menegaskan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.

Dalam hal ini pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin, termasuk Vaksin MR.

Nyatanya, hingga ditulisnya artikel ini tanggal 23 September 2017, Vaksin MR belum mendapatkan Sertifikat halal dari MUI. Ini seperti dikatakan Wakil Direktur LPPOM MUI, Osmena Gunawan, bahwa vaksin yang sudah disertifikasi halal hanyalah vaksin hati. Sementara vaksin lainnya termasuk Vaksin MR belum mendapatkan Sertifikasi Halal, karena memang belum mengajukan untuk sertifikasi halal.

Hal ini tentu sangat dikhawatirkan, seperti dikemukakan LPPOM MUI Sumsel yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Temuan hasil penelitian mereka, adanya kandungan enzim babi pada Vaksin Meningitis Meningokokus ACYW 135.

Temuan juga menemukan Vaksin Polio untuk anak-anak terbuat dari ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi, yang notebene hukumnya haram. Kekhawatiran seperti itu tentu sangat beralasan.

Bahkan Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah meminta Menteri Kesehatan menghentikan Vaksinasi MR sampai disertifikasi halal agar terbebas dari unsur-unsur haram.

Ikhsan menekankan, Pemerintah harus menjadi contoh bagi masyarakat dalam rangka penegakan hukum atau law enforcement, tidak justru sebaliknya menabrak Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang seharusnya ditaati.

Menurutnya, dalam kasus Vaksin MR, Menteri Kesehatan telah sengaja tidak mengindahkan UU JPH dengan telah memaksakan vaksinasi MR dengan mengimpor atau memasukkan Vaksin MR dari India ke Indonesia dan digunakan untuk melakukan vaksinasi tanpa terlebih dahulu dilakukan sertifikasi halal.

“Padahal program vaksinasi diperuntukkan bagi semua anak Indonesia yang berusia 9 bulan hingga anak berusia 15 tahun, dan dilakukan dengan pemaksaan dan tanpa dilakukan edukasi yang memadai tentang pentingnya vaksinasi tersebut,” ujarnya.

Ia beralasan, bila dengan alasan darurat, maka menentukan keadaan darurat itu harus mengikutkan berbagai elemen termasuk MUI.

Jadi, tidaklah cukup keadaan darurat wabah endemik ini hanya ditentukan oleh Menkes saja. Karena jika memang keadaan darurat, maka instrumen Hukum darurat itu harus mendapat legitimasi MUI karena menyangkut kebolehan penggunaan vaksin secara syar’i.

“Lalu mengapa penyakit Gizi buruk yang sudah di atas angka yang ditetapkan WHO tidak menjadi darurat? Sebagaimana telah dilansir berbagai sumber termasuk WHO angka penyakit Gizi Buruk (Stunting) Indonesia sudah sangat tinggi di atas ketentuan yang ditetapkan oleh WHO yakni 18% rata-rata. Padahal standar WHO 10%,” tegasnya.

Untuk mendukung fakta tersebut, Ikhsan memaparkan secara keseluruhan angka penyakit gizi buruk sudah mencapai 9 juta anak atau mewakili 37,2% dari nilai ketentuan yang ditetapkan WHO.

Dia menegaskan, Menkes seharusnya memprioritaskan penanganan Gizi Buruk ini terlebih dahulu, yang lebih darurat.

Jadi, wajar jika terjadi keberatan dari masyarakat, khususnya penolakan dari kelompok masyarakat terhadap Imunisasi Vaksin MR, apalagi umat Islam, dikarenakan belum dilakukannya sertifikasi halal dari MUI atas vaksin tersebut.

Dalam hal ini, Pemerintah diwajibkan untuk memastikan produk-produk yang beredar di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Menurutunya, Vaksinasi sebagai sebuah kegiatan untuk pencegahan penyakit itu boleh saja, asal syaratnya harus dengan vaksin yang halal. Menkes seharusnya melakukan sertifikasi halal terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk vaksinasi.

Hal ini sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dalam Pasal 4 bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, agar memberikan keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk. Sehingga semua produk vaksin yang beredar wajib bersertifikat halal.

Berkaitan dengan statement Direktur SKK Kemkes yang menyatakan vaksin MR 100 persen halal, padahal faktanya belum ada sertifikasi halalnya. Ikhsan menilai itu adalah kebohongan publik. Untuk itu, Menkes agar melakukan penindakan terhadap pejabat tersebut.

IHW menilai, seruannya semata-mata sebagai wujud kepedulian terhadap penegakan hukum dan perlindungan bagi masyarakat konsumen untuk memperoleh jaminan atas kehalalan produk sesuai konstitusi.

Menyikapi Imunisasi khususnya Vaksin MR yang sedang marak, Majelis Istimbath Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dalam pembahasannya menyebutkan, dalam upaya menjaga kesehatan warga, maka imunisasi secara umum boleh (mubah).

Namun, mubahnya itu bersyarat, yaitu bahannya halal dan suci. Adapun bahan yang haram, hanya boleh jika kondisi darurat, yakni mati bila tidak diimunisasi, atau kondisi jamaah haji karena sangat memerlukannya dan kondisi belum ada bahan pengganti selain itu.

Selanjutnya, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Yakhsyallah Mansur dalam tausiyahnya mengatakan, imunisasi digunakan untuk memberi kekebalan tubuh untuk menghadapi suatu penyakit. Walaupun Allah Ta’ala sebenarnya sudah memberikan imun (kekebalan tubuh) kepada manusia sejak lahir.

Namun, sebab perkembangan zaman, berbagai perubahan, jenis makanan yang mengandung pengawet, adanya kunjungan para turis, berkembangnya alat transportasi, dan lainnya. Sehingga diperlukan imunisasi vaksn tertentu.

Edukasi Masyarakat

Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh menambahkan, masyarakat perlu edukasi mengenai imunisasi yang selama ini masih menjadi kontroversi bagi sebagian masyarakat.

“Setelah tahu, masyarakat punya hak untuk memilih melakukan imunisasi atau tidak,” katanya dalam sesi Seminar Imunisasi Halal dan Thayib di Jakarta Sabtu (23/2/2017).

Pandangan serupa dikemukakan dr. Tryandro Bantara, yang mengatakan bahwa selama ini penyuluhan maupun edukasi tentang imunisasi sendiri masih kurang untuk masyarakat.

Dialog tentang imunisasi selama ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat sendiri. Perdebatan itu wajar, sebab mayoritas Masyarakat Muslim Indonesia khawatir vaksin-vaksin yang selama ini diberikan kepada masyarakat mengandung bahan yang haram.

Berkaca dari salah satu pada vaksin meningitis yang sempat ramai di pemberitaan, dan ternyata mengandung unsur haram.

Tentang hal ini, herbalis Agus Rahmadi mengatakan, menyikapi kasus terkait vaksinasi dan imunisasi maka harus dengan pikiran yang ilmiah.

Menurutnya, secara umum tujuan adanya vaksin cukup baik. Namun sebagian masyarakat menanggapinya tidak baik.

Ini bisa dipaham karena menyangkut vaksin yang diharapkan masyarakat adalah aman dan halal.

Di sini perlunya edukasi kepada masyarakat seperti melalui kajian-kajian, ceramah, dan sebagainya.

Yang jelas dan terang adalah, umat Islam sebagai mayoritas penduduk bangsa Indonesia, berhak mendapatkan produk-produk halal, termasuk Vaksin MR. Ini menjadi kewajibn dan tanggung jawab pemerintah sesuai konstitusi yang diamanah oleh Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH).

Bagi umat Islam konsumsi halal dan baik adalah kewajiban dan bagian dari ibadah, bukan semata materi dan keduniaan, sebagaimana diamanahkan Allah, di antaranya di dalam Surat Al-Maidah ayat 88 yang artinya, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.”

Juga ayat lainnya pada surat Al-Baqarah ayat 168 yang artinya, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata.”

Dengan konsumsi halal dan baik, maka akan tumbuh kesehatan, keberkahan dan keselamatan dunia dan akhirat. (A/RS2/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)