Oleh Habab Syahdan*, Pemerhati Hukum dan Peradilan di Indonesia
DI NEGERI ini, ternyata niat baik pejabat harus dikemas lengkap dengan pita prosedural nan rapi. Sebab tanpa itu, vonis pidana bisa menyergap kapan saja.
Kalau Anda seorang menteri yang berani mengambil keputusan tanpa memastikan semua tanda tangan, stempel, dan surat rekomendasi hadir di atas meja, maka bersiaplah: penjara mungkin menjadi destinasi karir Anda berikutnya.
Itulah yang dialami Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI, yang divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (18/7).
Baca Juga: Kekalahan Zionis Israel atas Rakyat Palestina
Ia dinyatakan bersalah karena menerbitkan izin impor gula kristal mentah (GKM) untuk industri makanan dan minuman tanpa melengkapi prosedur rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Keputusan yang, kata Tom, dilandasi kebutuhan industri nasional dan stabilitas harga, ternyata berbuah kerugian negara sebesar Rp 194,71 miliar menurut hakim, meskipun jaksa semula menuduh kerugian hingga Rp 578 miliar.
Publik pun terbelalak. Bukan karena semua orang tiba-tiba mencintai gula, tetapi karena yang diadili bukan semata kebijakan, melainkan kecepatan dalam mengambil keputusan yang dianggap tidak sesuai tata krama birokrasi.
Seorang teknokrat pro-pasar, eks kepala BKPM, reformis, ditumbangkan bukan karena memperkaya diri, melainkan karena lupa membawa “kertas sakti” dari kementerian tetangga.
Hakim berpegang teguh pada Permendag No. 117/2015, UU Perdagangan, dan UU Pangan yang memang mengharuskan izin impor disertai rekomendasi Kemenperin. Kalau prosedur belum lengkap, bahkan meski kebutuhan nasional mendesak, maka pejabat bisa langsung dicap: koruptor. Bukan pemain cepat, tapi pesakitan.
Baca Juga: Aneksasi Zionis terhadap Masjid Ibrahimi Harus Dihentikan
Pertanyaan yang ramai digaungkan: Apakah semua kesalahan administratif kini berpotensi menjadi tindak pidana korupsi? Jika ya, sebaiknya para pejabat mulai berlatih jurus ‘wait and see’. Jangan gegabah, walau rakyat butuh pangan, tunggu saja semua meja birokrasi penuh tanda tangan, meski negara keburu kelaparan.
Dalam pledoinya, Tom Lembong bersikeras bahwa keputusannya diambil berdasarkan proyeksi kebutuhan industri nasional. Sayangnya, di mata hakim, logika kebutuhan kalah pamor dibanding berkas administrasi. Hukum memang bukan sekadar akal sehat, melainkan soal berkas lengkap, atau Anda siap masuk bui.
Dan ini berbahaya. Jika vonis Tom menjadi preseden, maka pejabat publik harus memilih: menjadi lamban tapi aman atau cepat tapi dipenjara. Birokrasi yang selama ini dikritik lambat, kini justru mendapatkan pembenaran: bergerak cepat itu berisiko pidana.
Tak kalah menarik adalah aroma politik yang tercium dari kasus ini. Tom Lembong dikenal sebagai figur yang belakangan berada di kubu oposisi pemerintah. Maka tak sedikit yang bertanya, apakah vonis ini murni demi supremasi hukum, ataukah sinyal bahwa oposisi yang terlalu nyaring akan dipetik satu per satu lewat jalur hukum? Bukankah pejabat lain yang membuat kebijakan serupa tak pernah disentuh aparat?
Baca Juga: Ilmu Dunia Dikejar, Ilmu Akhirat Dicampakkan: Ironi Pendidikan Zaman Ini
Dampak lain yang tak kalah serius adalah pada dunia usaha dan investasi. Tom Lembong, sebagai mantan pelaku pasar dan tokoh reformasi ekonomi, selama ini menjadi simbol keterbukaan investasi.
Kini, jika pejabat saja bisa dipidana karena proyeksi kebutuhan industri, bagaimana dengan pengusaha yang bermitra dengan pemerintah? Mereka tentu berpikir dua kali sebelum berani berbisnis dengan birokrasi yang bisa berubah jadi jebakan hukum.
Ini semua menunjukkan bahwa batas antara kebijakan publik dan pelanggaran hukum semakin kabur. Dalam ruang sempit formalitas, niat baik, kepentingan publik, dan proyeksi nasional bisa kalah oleh absennya satu lembar surat rekomendasi. Ironis, negara yang konon butuh percepatan malah mengganjar langkah cepat dengan hukuman berat.
Yang lebih menyedihkan, jika standar hukum diterapkan tanpa konsistensi, maka yang tumbuh bukan kepastian hukum, melainkan ketakutan pejabat untuk berpikir dan bertindak. Akhirnya, pejabat akan menjadi pemuja prosedur, bukan pelayan rakyat.
Baca Juga: Pelajaran Dari Demak, Potret Pendidikan di Indonesia
Pada titik ini, kita dihadapkan pada paradoks: pejabat yang berhati-hati jadi lamban, yang berani ambil risiko malah diseret ke pengadilan. Apakah birokrasi kita sedang belajar dari kura-kura yang lambat namun aman? Atau sebenarnya hukum hanya tajam ke mereka yang kebetulan tidak berada di sisi kekuasaan?
Akhirnya, Tom Lembong mungkin memang bersalah, setidaknya di mata hukum prosedural. Tapi sejarah selalu menilai lebih dari sekadar berkas perkara. Sejarah tentu akan mencatat satu ironi: di negeri ini, lebih berbahaya melanggar prosedur daripada mencuri uang rakyat dengan niat jahat yang nyata. [[email protected]]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mengukir Solidaritas Palestina Sejak Dini, Tantangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia