Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Pernikahan adalah kenikmatan yang besar yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya baik laki-laki maupun perempuan. Allah telah menghalalkan pernikahan, memerintahkannya, dan mencintai amalan ini. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa: 3)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah membantah sekelompok orang yang mengatakan: Orang pertama mengatakan, “aku akan shalat dan tidak tidur”. Yang kedua mengatakan, “Aku akan terus berpuasa dan tidak berbuka”. Orang ketiga mengatakan, “Aku akan meninggalkan perempuan dan tidak akan menikah”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Adapun aku demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku menikahi wanita. Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Selain sunnah dari penutup para nabi dan rasul, menikah juga merupakan sunnah dari rasul-rasul lainnya sebelum Nabi Muhammad. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Terdapat manfaat yang besar dan kebaikan bagi jasmani dalam menikah. Menikah berarti merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya akan didapat rahmat, kesuksesan di dunia dan akhirat. Menikah adalah bukti mengikuti sunnahnya para nabi dan barangsiapa yang ketika di dunia meneladani para rasul, kelak akan dikumpulkan bersama mereka di akhirat.
Menikah itu menunaikan kebutuhan, mewujudkan kebahagiaan jiwa, dan menyenangankan hati. Menikah bisa membentengi kemaluan, menjaga kehormatan, menundukkan pandangan, dan menjauhkan diri dari fitnah.
Menikah akan memperbanyak umat Islam, keunggulan kuantitas akan memperkuat umat dan menimbulkan kewibawaan di hadapan umat lainnya. Menikah akan mewujudkan kebanggaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat kelak dengan banyaknya umatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena sungguh aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad, Annasa-i, dan Abu Dawud).
Menikah akan menjalin hubungan kekerabatan dan mempererat hubungan antar sesama, karena sesuatu yang sangat mempengaruhi kedekatan hubungan antar sesama adalah dekatnya nasab. Allah ‘Azza wa Jallaberfirman,
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al-Furqon: 54).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Yakni Allah menjadikan nasab sebagai pendekatan dan pelebur hubungan. Hal itu terjadi dengan sebab ikatan pernikahan. Menikah juga akan mendatangkan pahala karena memberikan hak kepada suami atau istri, dan kepada anak dengan cara memberikan nafkah kepada mereka (atau istri melayani suami).
Menikah juga akan melapangkan rezeki dan menjadikan seseorang kaya, tidak seperti apa yang ditakutkan oleh orang-orang matrealis yang lemah keyakinan dan tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32).
Di dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثلاثة حق على الله عونهم وذكر منهم الناكح يريد العفاف
“Tiga golongan yang pasti Allah menolong mereka (salah satunya): orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad, An-Nasa-I, Ibnu Majal, dan yang lainnya).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Allah Ta’ala mencintai pernikahan dan Dia menjajikan kehidupan yang cukup bagi pelakunya dengan firman-Nya,
إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. An-Nur: 32).
Sesungguhnya pernikahan itu adalah maslahat bagi individu dan masyarakat, dari sisi agama dan akhlak, dari tinjauan waktu sekarang maupun yang akan datang. Karena menikah mampu mencegah terjadinya mafsadat.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Kita juga harus mengetahui hal-hal yang melatar-belakangi seseorang yang enggan menikah. Saat ini setidaknya ada dua faktor yang menonjol yang menyebabkan para pemuda meninggalkan pernikahan:
Pertama, para pemuda merasa pesimis dengan ikatan hubungan pernikahan.
Yakni, banyak anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan tidak suka dengan hubungan pernikahan dengan alasan menikah akan menghambat studi mereka.
Alasan ini adalah alasan yang keliru dan terbantahkan karena menikah tidak menghalangi seseorang untuk menempuh pendidikan atau menjadi seorang yang berprestasi dalam pendidikannya. Bahkan, terkadang menikah malah membantu kelancaran dan prestasi akademik seseorang.
Apabila seseorang mendapatkan pasangan yang shalehah, keduanya saling menghormati dan mencintai, maka setiap mereka akan menolong yang lainnya dalam belajar dan menghadapi beban kehidupan. Banyak sekali orang yang menjadikan pernikahannya sebagai motivasi.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Betapa banyak pemuda, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapatkan ketenangan pikiran dan jiwa dalam proses studi lantaran menikah. Bagi mereka yang tertipu dengan alasan buruk di atas hendaknya kembali berpikir ulang dan memperbaiki pandangan mereka. Sehingga pemahaman mereka yang keliru itu menjadi lurus kembali. Hendaknya mereka berkonsultasi dengan teman-teman atau orang-orang dekatnya, memintai pendapat mereka, dan bertanya tentang kebaikan dan ketenangan yang terdapat dalam pernikahan. Dengan perantara ini niscaya hilanglah penghalang ini.
Bagi para wanita hendaknya merenungi kembali apa yang ia peroleh dari sekolahnya yang tinggi? Lalu membandingkan dengan kebahagiaan yang ia korbankan karena menunda pernikahan. Apabila –wal ‘iyadzubillah– umurnya telah lewat batas lalu ia kehilangan kesempatan untuk menimang anak dan jadilah ia perempuan menua yang hidup sendiri.
Bayangkan jika ia tidak berkesempatan berbahagia dengan kehidupannya (karena tidak menikah) dan tidak memiliki anak yang akan mendoakannya setelah ia wafat.
Kedua, hal yang juga menyebabkan para pemuda meninggalkan pernikahan adalah karena wali-wali yang zalim terhadap anak-anak perempuannya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Mereka ini adalah para wali yang tidak takut kepada Allah, tidak menjalankan amanah yang Allah berikan kepada mereka, dan tidak memiliki rasa kasih sayang kepada sesama hamba Allah. Ketika ada seorang laki-laki yang sekufu agama dan penampilan fisiknya datang melamar, para wali ini berpikir berulang-ulang lalu menunda-nunda keputusannya.
Pada akhirnya mereka mengatakan, anak saya masih belum cukup usia, belum ini dan itu, nanti kami musyawarahkan lagi, dll. padahal sebenarnya ia berdusta membuat-buat alasan. Sebenarnya ia ada obsesi pribadi yang tinggi, atau ia menginginkan harta yang ia bisa peroleh dari dari sang pelamar, atau bisa juga ia memiliki sikap permusuhan dan rasa benci dengan sang pelamar.
Sesungguhnya perwalian dalam pandangan agama adalah sebuah amanah yang wajib ditunaikan dengan cara yang baik. Ketika ada seseorang yang melamar, agamanya baik dan secara fisik ia tidak bermasalah, dan sang anak perempuan menyukainya, lalu ditolak dengan alasan-alasan dusta atau dengan alasan belum mapan dengan standar yang tinggi, ini adalah bentuk maksiat kepada Allah, mengkhianati amanah, dan menyia-nyiakan umur anak perempuan tersebut. Dan Allah akan menghisab perbuatan demikian di hari kiamat kelak. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89).
Ada seseorang yang pernah menolak orang yang melamar anak perempuannya, karena hal ini anak perempuannya pun jatuh sakit. Ketika hendak meninggal, sang anak mengatakan kepada perempuan-perempuan yang menjenguknya, “Sampaikan salam kepada ayahku, tolong katakan padanya sesungguhnya antara dirinya dan Allah ada suatu hal yang ia akan dimintai pertanggung-jawaban pada hari kiamat. Dan hari kiamat itu tidaklah jauh”.
Renungkanlah! Betapa memprihatinkannya keadaan anak perempuan ini. Ia memperingatkan ayahnya di saat ia menghadapi kematiannya. Karena ayahnya menolak lamaran orang yang melamarnya dengan cara yang zalim.
Apakah yang demikian ini ada kesan-kesan kasih sayang dan bagian dari agama? Apakah para wali ini merenungkan tindakan mereka menolak orang yang dicintai oleh anak mereka?
Tidakkah orang-orang yang memiliki tanggung jawab dengan anak perempuan merenungkan ketika mereka menolak seseorang yang mampu untuk merintis rumah tangga, akhlaknya baik, dan agamanya bagus?
Apakah harta yang banyak sebanding dengan kebaikan agama dan dunia anak perempuan?
Subhanallah! Betapa kelirunya orang-orang yang berpikir demikian dan betapa murungnya nasib anak perempuan yang berada di bawah tanggungan mereka.
Seandainya orang yang melamar anaknya adalah seseorang ya kurang baik, maka wajar dan tidak ada dosa bagi walinya untuk menolak lamaran tersebut.
Jika ia menginginkan sumbangan yang mahal atau mas kawin yang mewah, maka anaknya bukanlah barang dagangan yang diukur dengan harta. Bukanlah maksud dari pernikahan itu untuk memperoleh harta.
Cukuplah harta hanyalah perantara untuk mewujudkan hal itu saja. Wanita itu tidak bisa dibandingkan dengan barang dagangan, mereka jauh lebih mulia. Mereka adalah amanah yang agung dan bagian dari keluarganya. Ia adalah bagian dari sang ayah. Jika kita berpikir demikian, maka kita akan menganggap harta tidak ada apa-apanya. Dan berlebih-lebihan dalam mahar dan biaya pernikahan tidaklah membawa kebaikan untuk mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya menyontohkan. Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata,
أَلا لا تُغَالُوا فِي صَدَقَاتِ النِّسَاءِ ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا وَتَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ لَكَانَ أَوْلاكُمْ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَا أَصْدَقَ قَطُّ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلا مِنْ بَنَاتِهِ فَوْقَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
“Janganlah kalian berlebihan dalam menetapkan mahar perempuan. Jika (mahar yang tinggi) ini adalah bentuk kemuliaan di dunia dan takwa di sisi Allah, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi orang pertama yang melakukannya. Namun beliau tidak memberikan mahar kepada istrinya dan tidak juga menetapkan untuk anak-anak perempuannya di atas 10 uqiyah.” 1 uqiyah sama dengan 40 dirham.
Ada seseorang yang diminta memberikan mas kawin dalam jumlah besar untuk pasangannya, lalu laki-laki itu pun memenuhinya namun dengan perasaan kesal. Sampai-sampai ia mengatakan, “Aku benar-benar terbebani karena dirimu. Sampai-sampai untuk menjalin hubungan kekerabatan pun harus membayar mahal”.
Kalau kita berkaca kepada salaf ash-shalih, bagaimana mereka meringankan mahar dan memudahkan pernikahan, nisacaya keberkahan semakin banyak, kedua pasangan pun bisa mendapatkan kebaikan darinya.
Sebaliknya berlebih-lebihan dalam mahar telah menyia-nyiakan banyak para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, dan menjauhkan mereka dari pernikahan.
Sesungguhnya seorang laki-laki walaupun ia mampu membayar mahar yang tinggi yang ditetapkan keluarga perempuan, hal itu tetap menyiratkan rasa tidak enak di hatinya. Oleh karena itu, saya mengajak saudara-sadaura para wali, untuk meringankan mahar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً
“Wanita yang paling banyak barokahnya adalah yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad dan An-Nasa-i).
Wahai orang-orang yang bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sesungguhnya banyak dari para wali, baik dari kalangan ayah atau selainnya, mensyaratkan agar orang yang melamar memberikan materi kepada mereka. Ini adalah bentuk memakan harta dengan cara yang batil. Seluruh mahar, diperuntukkan bagi istri (calon pengantin perempuan), bukan kepada ayahnya, saudaranya, pamannya, atau siapapun dari kalangan walinya. Mereka tidak berhak. Allah Ta’ala berfirman,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. Annisa: 4).
Dan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى صَدَاقٍ أَوْ حِبَاءٍ (أَيْ: اَلْعَطِيَّةُ وَالْهِبَةُ) أَوْ عِدَّةٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقَّ مَا أُكْرِمَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ وَأُخْتَهُ.
“Wanita manapun yang menikah dengan maskawin, pemberian, atau perbekalan sebelum akad pernikahan, maka itu adalah untuknya. Sedangkan yang diberikan sesudah akad pernikahan, maka itu untuk siapa yang diberikan kepada-nya. Dan kemuliaan yang paling berhak untuk diberikan kepada seorang laki-laki adalah berkaitan dengan puterinya dan saudara perempuannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).
Bertakwalah kepada Allah, jangan memberi syarat nominal mahar ataupun selainnya ketika hendak melangsungkan pernikahan. Tidak ada hak bagi para wali untuk melakukannya, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
(berbagai sumber)
Mi’raj News Agency (MINA)