Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wajah Kota Syariat di Balik Tirai Hotel

Redaksi Editor : Rana Setiawan - 11 menit yang lalu

11 menit yang lalu

7 Views

T Lembong Misbah

Oleh  T. Lembong Misbah, Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

BANDA Aceh, kota yang dikenal dengan wajah religiusnya yang kuat, menjadi etalase penegakan syariat Islam di Indonesia. Wajah elok itu tercoreng oleh perilaku mesum di balik tirai hotel. Seperti dikatakan oleh Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal pasca penggerebekan di sebuah hotel yang dijadikan tempat praktik prostitusi, “Suka tidak suka, inilah separuh wajah kota kita hari ini.”

Pernyataan itu menggambarkan kenyataan yang mengusik: bahwa di balik simbol-simbol religius dan hukum syariat yang tegak berdiri, ada sisi lain kota ini yang tak bisa dipungkiri—wajah gelap yang mengendap-endap di balik gemerlap.

Penggerebekan tersebut bukan peristiwa pertama, dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir. Yang mengejutkan bukan hanya karena praktik prostitusi terjadi di jantung kota yang dikenal dengan penegakan syariatnya, tetapi juga bagaimana praktik itu dijalankan secara terang-terangan. Ditemukan tumpukan kondom di kamar-kamar hotel, bahkan tersedia di meja resepsionis, seolah-olah maksiat telah menjadi bagian dari “layanan” bisnis.

Baca Juga: Perlawanan Palestina di Era Digital, Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Seorang pelaku yang diamankan bahkan mengungkapkan bahwa banyak temannya seprofesi juga beroperasi di kota ini. Maka wajar bila muncul pertanyaan tajam dari masyarakat: Mengapa para pemilik usaha seperti hotel ini begitu berani menantang arus syariat? Apakah penegakan hukum selama ini hanya menindak pelaku di hilir tanpa pernah menyentuh akar persoalan di hulu?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya pantulan dari kekecewaan moral masyarakat, tetapi juga panggilan untuk sebuah perenungan mendalam. Kota ini memang telah memancang niatnya untuk menjadi teladan penegakan syariat Islam. Pun demikian seperti halnya ibadah tidak cukup sekedar niat, begitu pula dengan syariat: ia bukan hanya soal simbol dan seragam, tetapi keadilan dan kasih sayang yang hidup dalam sistem dan jiwa masyarakatnya.

Dalam Islam, kejahatan atau maksiat bukan hanya dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum Tuhan, tetapi juga sebagai pertanda ada yang tidak beres dalam struktur sosial. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Maka penggerebekan terhadap kemaksiatan adalah bagian dari ikhtiar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, pekerjaan kita tidak selesai di sana. Karena hukum yang ditegakkan tanpa memahami akar masalah sosial akan berulang menjadi siklus penindakan tanpa penyembuhan.

Dalam konteks pelacuran dan eksploitasi tubuh, seringkali para pelaku di lapangan bukanlah aktor utama, melainkan korban dari sistem. Mereka yang terjerumus dalam dunia itu—banyak di antaranya perempuan muda—bisa jadi didorong oleh tekanan ekonomi, keterbatasan pendidikan, atau bahkan jerat mafia perdagangan manusia.

Baca Juga: Jejak Para Nabi di Tanah Palestina

Dalam Islam, kita diajarkan untuk membenci dosa, namun bukan membenci pelaku dosanya secara membabi buta. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Di sinilah pentingnya pendekatan Islam yang humanis—sebuah syariat yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan.

Secara faktual Banda Aceh tidak kekurangan aturan, akan tetapi kini yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menembus akar sistem yang melanggengkan maksiat itu. Mengapa hotel-hotel bisa bertahan menjalankan praktik kotor semacam itu? Apakah ada oknum yang tutup mata, atau justru ikut di dalamnya? Bila penegakan hukum hanya menyentuh mereka yang di permukaan, maka penindakan akan gagal menyentuh jantung masalah. Dalam fikih jinayah (hukum pidana Islam), dikenal prinsip penting bahwa penguasa harus adil, dan pelaksanaan hukum harus bebas dari konflik kepentingan. Maka, membersihkan separuh wajah kota ini harus juga dimulai dengan membersihkan sistem dari praktik korupsi, kolusi, dan pembiaran.

Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal dengan tegas menyerukan agar masyarakat terlibat dalam proses penegakan syariat. Ini adalah langkah strategis yang tepat. Pun demikian sejatinya keterlibatan masyarakat bukan hanya dalam bentuk pelaporan atau razia moral semata, tetapi juga dalam membangun budaya saling peduli dan empati. Masyarakat perlu didekati, diedukasi, diberi ruang untuk memahami bahwa menegakkan syariat bukan hanya soal menolak maksiat, tetapi juga menghadirkan rahmat. Rasulullah SAW, dalam tugas kenabiannya, tidak hanya datang sebagai hakim yang menegakkan hukum, tapi juga sebagai guru, ayah, sahabat, dan penyembuh luka-luka umatnya.

Solusi jangka panjangnya tentu tidak sederhana. Dibutuhkan sistem rehabilitasi yang baik bagi para pelaku prostitusi yang ingin bertobat, pelatihan keterampilan, penyediaan lapangan kerja, dan pendidikan yang merata hingga ke pelosok. Bahkan dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab RA dikenal tegas dalam hukum, tetapi juga sangat adil dan peduli terhadap rakyat miskin. Ketika menemukan seorang ibu yang memasak batu karena tak punya makanan untuk anak-anaknya, Umar tidak hanya memberi bantuan, tetapi juga memikul sendiri karung gandum ke rumah wanita itu. Beginilah seharusnya syariat berjalan: adil, solutif, dan menyentuh akar penderitaan.

Baca Juga: Zionis Tak Lebih dari Teroris Berseragam Militer

Akhirnya, ketika kita berbicara tentang separuh wajah kota, jangan lupa bahwa wajah lain dari kota ini adalah warga-warganya yang terus berjuang menegakkan nilai, menjaga keluarga, dan menghidupkan masjid. Mereka adalah harapan. Mereka adalah yang harus diberdayakan agar wajah kota ini utuh, tidak hanya dalam simbol tetapi juga dalam jiwa. Kita tidak bisa terus membiarkan dua wajah ini berjalan berseberangan. Sudah waktunya untuk merekatkan keduanya dalam satu wajah kota yang bercahaya: kota yang tidak hanya mengusir maksiat, tapi juga mengundang kasih sayang Allah. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kolonialisme Modern Bernama Israel

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Indonesia