Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

WAKIL REKTOR UIN ACEH: ISLAM MENGHARGAI KEARIFAN LOKAL

Rana Setiawan - Ahad, 30 Agustus 2015 - 15:58 WIB

Ahad, 30 Agustus 2015 - 15:58 WIB

509 Views

Prof. Dr. Syamsul Rijal M. Ag.(Foto: MINA)
Dr. Syamsul Rijal M. Ag.(Foto: KWPSI)

Dr. Syamsul Rijal M. Ag.(Foto: KWPSI)

Banda Aceh, 15 Dzulqa’dah 1436/30 Agustus 2015 (MINA) – Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sangat menjaga hubungan baik sesama manusia (Hablum minannas) di tengah-tengah kehidupan umatnya agar terjaganya persatuan dan persaudaraan.

Dr. Syamsul Rijal,M.Ag., Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry Banda Aceh mengatakan, dalam bidang muamalah hubungan sesamanya, umat Islam harus menghargai berbagai kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam, dan wajib meluruskannya manakala bertentangan dengan syariat Islam, sehingga kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak sebaliknya.

Local Wisdom atau kearifan lokal ini menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan dan dihargai dalam Islam untuk umatnya sebagai makhluk sosial, sepanjang sesuai dan tidak melanggar syariat menurut ketentuan Al-Qur’an dan Hadits harus dihargai,” ujar Syamsul Rijal saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke beberapa waktu lalu.

Menurutnya, dalam konstruksi umat muslim di Aceh, Islam itu sesuatu yang damai, rahmatan lil alamin, bukan Islam yang menyebarkan kebencian‎ terhadap suatu perbedaan dalam pemahaman.

Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan

‎”Tidak bisa dimaknai Islam sebagai ajaran eksklusif, yang tidak menyisahkan ruang dan waktu untuk kearifan lokal. Islam itu bukan provokatif tapi tapi inovatif seperti yang dibawakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hingga kepada kita hari ini,” ujarnya.

Syamsul Rijal menyebutkan,‎ salah satu unsur menjaga kearifan lokal, harus melihat budaya dan kebiasaan setempat. Seperti halnya perintah Islam menutup aurat itu wajib, tapi bagaimana menutup aurat itu normatif sesuai dengan kearifan lokal setempat.

Begitu juga dalam soal pelaksanaan Maulid Nabi, juga ada kearifan lokal yang dilaksanakan umat Islam di Aceh. “Ada perbedaan dalam pelaksanaannya, yang tak mungkin bisa disatukan antara satu tempat dengan lainnya,” katanya.

Kearifan lokal lainnya juga menyangkut dalam hal pemakaian peci dan kain sarung sebagai suatu kultur dalam masyarakat muslim di Aceh yang harus dipelihara.

Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia

Lebih lanjut Ustaz Syamsul Rijal menambahkan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam memiliki sumber primer dalam beragama yakni Al-Qur’an yang diyakini sebagai kalam Allah. Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup agar manusia bisa mencapai kebagiaan di dunia dan di akhirat. Hal ini senada dengan semangat Islam yakni Islam rahmatan lil ‘alamin (Islam sebagai rahmat bagi alam semesta).

Semua ulama menyepakati bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang dijadikan rujukan bagi segala bentuk perilaku umat Islam. Setelah itu adlah Hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.

Sebagai hamba yang beriman, diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah.

“Sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar, dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam pemahaman dengan tetap mepertahankan nilai-nilai Islam,” ujarnya.

Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Ia juga menyarankan, kalau mau membangun Aceh saat ini bangunlah peradaban‎, lewat institusi pendidikan‎. Karena sebenarnya, prilaku Aceh itu Islami pada awalnya. Jika sudah kasar dan tak punya peradaban, maka itu bukan lagi Aceh.

“Jika sejak kecil sudah ditanam kebencian, maka permusuhan yang akan muncul jika sedikit berbeda. Infrastruktur penting, tapi yang lebih penting lagi adalah peradaban,” jelasnya. (T/R05/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Konferensi Internasional Muslimah Angkat Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Khadijah
MINA Health