Oleh Annisa Novi Alifa, Mahasiswa STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor
Dia hidup dalam kemewahan, dikelilingi kekuasaan yang tak terhingga, dan dicintai oleh seorang raja. Namun, semua itu tak memberinya kebahagiaan, karena hatinya bukan terpaut pada dunia, tetapi pada akhirat dan keimanan yang kuat. Siapakah wanita luar biasa yang rela menukar gemerlap dunia demi keselamatan akhirat?
Asiyah binti Muzahim adalah istri dari Firaun, raja yang angkuh dan kejam, yang menyatakan dirinya sebagai Tuhan dan melakukan banyak kezalimanan. Allah akhirnya mengutus Nabi Musa a’laihissalam untuk membimbing umatnya dari kekelaman.
Wanita seringkali dianggap sebagai sosok yang lemah secara fisik maupun perasaan, sehingga Allah meringankan beban ibadah dan tidak membebaninya dengan tanggung jawab mencari nafkah. Wanita mudah merasa lelah dan rapuh ketika menghadapi kesulitan, dan karena itulah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menasihati untuk bersikap lembut kepada mereka. Allah pun mempercayakan laki-laki untuk melindungi wanita.
Baca Juga: IYCA Gelar Warung Belajar Bahas Ketahanan Pangan Lokal dan Solusi Krisis Iklim
Namun, ibu angkat Nabi Musa ini membuktikan bahwa kelembutan hati bukanlah alasan untuk melemahkan keimanan. Meskipun menjadi istri dari penguasa zalim, ia tak pernah mengkhianati keyakinannya. Dengan penuh keteguhan, Asiyah tidak gentar menghadapi ancaman suaminya, sang musuh Allah yang menyombongkan diri dengan kekuasaan yang dimilikinya. Fir’aun, yang mengaku mencintainya, justru menyiksanya karena imannya. Padahal, Asiyah telah dinobatkan sebagai salah satu dari dua wanita sempurna di dunia.
Amarah Fir’aun memuncak ketika mengetahui Asiyah beriman kepada Allah. Namun, dengan iman yang teguh, ia tak tergoyahkan, bahkan di tengah ancaman dan siksaan dari suaminya. Fir’aun kemudian menyampaikan kepada kaumnya, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahim?” Mereka pun menyanjungnya. Lalu Fir’aun berkata, “Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selain diriku.” Kaumnya merespons, “Bunuhlah dia!”
Beratnya ujian yang dihadapi Asiyah dimulai ketika algojo-algojo Fir’aun menyiapkan tiang penyiksaan. Tangan dan kakinya diikat erat pada tiang di bawah terik matahari. Tak cukup dengan itu, Fir’aun juga memerintahkan untuk memaku tangan dan kaki Asiyah serta meletakkan batu besar di punggungnya.
Manusia biasa tak akan mampu menahan siksaan keji dari Fir’aun dan algojonya. Bahkan seorang lelaki perkasa pun mungkin akan menyerah di bawah penyiksaan tersebut. Namun, bagi wanita setangguh Asiyah, dengan iman yang tak tergoyahkan kepada Allah, siksaan itu justru menjadi penguat keyakinannya. Ia tak gentar sedikit pun, tak terlintas dalam pikirannya untuk menyerah.
Baca Juga: Santri Sudah Apa, kok Diperingati?
Doanya dikabulkan Allah
Di tengah penderitaan yang dialaminya, Asiyah dengan tulus berdoa kepada Allah, memohon sebuah rumah di surga. Allah mengabulkan doa hambanya yang setia ini, dan hijab pun tersingkap. Di sanalah Asiyah dapat melihat rumahnya di surga yang sedang dibangun. Doanya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai pengingat bagi umat manusia,
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, serta selamatkan aku dari kaum yang zalim.” (QS. At-Tahrim: 11)
Saat melihat rumahnya di surga, Asiyah merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Kerinduan untuk berada di rumah itu membuatnya melupakan rasa sakit dari siksaan Fir’aun. Ia malah tersenyum, dan senyumannya membuat Fir’aun heran. Bagaimana mungkin seseorang yang diperlakukan dengan begitu kejam tetap menampakkan wajah bahagia tanpa sedikit pun terlihat kesedihan? Andai Fir’aun juga melihat apa yang dilihat Asiyah, semua kekuasaannya tak lagi berharga di matanya.
Baca Juga: Manfaat Tersembunyi Pembelajaran Digital
Akhirnya, tiba saat-saat terakhirnya di dunia. Allah, dengan kasih sayang-Nya, mencabut ruh Asiyah sebelum Fir’aun sempat menghabisinya. Siksaan dunia berakhir, dan ia naik menuju rahmat dan keridhaan-Nya.
Asiyah, seorang istri dari raja yang kaya raya, punya kekuasaan besar dan teramat zalim memilih untuk menempatkan keimanannya di atas semua yang dimilikinya. Ia lebih memilih disiksa di dunia demi menjaga keimanannya kepada Allah. Dengan semua siksaan itu, Asiyah tetap kokoh dalam keimanannya, menunjukkan ketabahan luar biasa yang menjadikannya teladan sempurna bagi umat manusia.
Dari kisah hidup Asiyah, kita belajar bahwa kondisi dan situasi bukan alasan untuk melemahkan keimanan dan aqidah kita. Mari jadikan Asiyah binti Muzahim sebagai teladan dalam mempertahankan iman, tanpa goyah oleh bujukan dunia, terlebih lagi di tengah arus budaya manusia-manusia modern akhir zaman ini. Semoga kita selalu menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama, aamiin.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Inovasi “Biscatur” Mahasiswa USK Aceh, Raih Medali Emas di Kroasia
Baca Juga: Kita Harus Berpura-Pura Agar Tetap Hidup