Warga Al-Quds di Antara Pemilu Israel dan Palestina

Warga Palestina di , jika mereka membayar pajak ke Israel pun, mereka tetap dilarang memberikan suara dalam pemilihan umum Israel pada hari Selasa, 23 Maret 2021, karena negara pendudukan Yahudi itu tidak menganggap mereka sebagai warga negara.

Israel yang melihat Al-Quds sebagai ibu kotanya yang tidak terbagi, mencaplok Yerusalem timur pada tahun 1967 dan memandang sekitar 300.000 warga Palestina yang tinggal di sana sebagai penduduk belaka.

Orang-orang Palestina ini memiliki hak sosial, akses ke perawatan kesehatan dan kartu penduduk, tetapi tidak memiliki paspor.

Mereka hanya dapat memilih anggota dewan kota tetapi tidak dalam pemilihan nasional, kecuali jika mereka melanggar tabu dan mendapatkan kewarganegaraan Israel.

Namun, dengan melakukan itu mereka akan kehilangan hak untuk memilih dalam pemilihan umum Palestina.

Pemilu 23 Maret 2021 Israel adalah yang keempat dalam waktu kurang dari dua tahun dan pertama dalam 15 tahun akan dimulai pada 22 Mei 2021, yang direncanakan puncaknya pada akhir tahun ini.

Status Yerusalem adalah salah satu masalah paling sulit dalam konflik Israel-Palestina, dengan komunitas internasional bersikeras bahwa hal itu harus dinegosiasikan oleh kedua belah pihak.

Israel memandang seluruh kota sebagai ibukotanya, sementara Palestina ingin Yerusalem timur menjadi ibu kota negara masa depan mereka sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir ribuan orang Palestina di Yerusalem Timur, berharap bisa meningkatkan kehidupan mereka dengan cara mengambil kewarganegaraan Israel.

Tren ini semakin cepat terjadi setelah mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017.

Tahun berikutnya, 1.064 warga Yerusalem Timur Palestina mengajukan kewarganegaraan Israel.

Permohonan naik menjadi 1.633 pada tahun 2020, menurut otoritas Israel, yang mengatakan bahwa lebih dari 1.800 telah diberikan kewarganegaraan Israel tahun lalu.

Memilih untuk perdamaian

Guru Palestina Nour Dwayyat, yang menerima kewarganegaraan Israel lima tahun lalu, memberikan suara dalam tiga pemilu terakhir Israel dan memberikan suaranya lagi kali ini.

“Saya tinggal di negara ini, saya bagian darinya. Ini adalah hak saya untuk memilih,” kata pria berusia 34 tahun itu. “Setiap suara dihitung dan saya memilih kandidat yang bertindak demi kebaikan komunitas Arab.”

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berharap mendapatkan masa jabatan baru setelah kampanye vaksinasi virus corona yang sukses dan membangun hubungan diplomatik dengan beberapa negara Arab.

Pengacara Yerusalem Timur bernama Amer Nasser, ia juga menjadi warga negara Israel beberapa tahun lalu, tetapi bersikeras bahwa dia tetap menjadi orang Palestina. Ia mengatakan, dia tidak terpengaruh oleh Netanyahu.

“Saya akan memilih Arab Joint List,” kata Nasser tentang aliansi yang didukung oleh banyak orang Arab Israel, yang merupakan seperlima dari populasi Israel.

“Netanyahu sangat tertarik hubungan luar negeri dengan negara-negara Arab dan tidak terlalu tertarik untuk berdamai dengan Palestina, meskipun pada kenyataannya mereka adalah orang-orang di wilayah ini dan tinggal di sana,” katanya.

Nasser mengatakan dia berharap suaranya bisa membawa “perdamaian” antara Palestina dan Israel.

Tidak berdampak

Dwayyat mengatakan bahwa memiliki paspor Israel membantunya bepergian dengan bebas ke seluruh dunia, karena orang Israel tidak memerlukan visa untuk memasuki sebagian besar negara, tidak seperti orang Palestina yang menghadapi banyak batasan.

Namun, setiap hari tidak ada yang berubah, di antara orang Israel, “Arab selalu dianggap Arab”.

Mengenai pemilihan umum Palestina tahun ini, dia tidak keberatan tidak dapat memberikan suara, karena “itu tidak akan memberi saya apa-apa.”

Palestina dijadwalkan mengadakan pemilihan legislatif pada bulan Mei dan pemilihan presiden pada bulan Juli, dan mereka telah mendesak masyarakat internasional untuk mengirimkan pengamat.

Secara khusus, mereka telah meminta pengawas Uni Eropa untuk ditempatkan di Yerusalem timur, yang pencaplokannya oleh Israel tidak pernah diakui oleh sebagian besar komunitas internasional.

Pengacara dan pengamat politik Moein Odeh yakin Israel tidak akan mengizinkan warga Palestina mengadakan pemungutan suara di Yerusalem timur, karena melarang semua aktivitas Otoritas Palestina di bagian kota itu.

“Israel tidak akan mengizinkan pemilihan umum di Yerusalem karena ingin memaksakan kedaulatannya,” katanya.

“Dan bahkan jika pemilihan diadakan di Yerusalem timur sebagai akibat dari tekanan internasional terhadap Israel, parlemen Palestina yang terpilih akan memiliki suara terbatas atau tidak ada,” tambahnya.

Faktanya, kata Odeh, “Palestina tidak peduli dengan pemilihan ini karena tidak akan berdampak pada kota.”

Warga Yerusalem Timur Wafa Qawasmi-Bukhari (54) mengaku sepaham dengan Odeh.

“Siapa yang akan saya pilih?” katanya, mengingat bagaimana dalam pemilihan terakhir tahun 2006 dia memberikan suara, penuh harapan untuk perubahan di kotanya.

“Mereka berbohong kepada kami,” katanya. “Mereka menjanjikan solusi untuk Yerusalem … tetapi Israel terus menghancurkan rumah (orang Palestina) … dan Otoritas Palestina gagal bertindak.”     (AT/RI-1/P1)

Sumber: Nahar Net

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments are closed.