Gaza, MINA – Maysaa Al-Maghrebi menghadapi kesulitan mencari pakaian yang pas untuk anak-anaknya, karena terbatasnya persediaan di pasar dan banyaknya toko yang tutup akibat blokade dan hancurnya infrastruktur ekonomi serta industri di Jalur Gaza, setelah 10 bulan berada dalam kondisi perang.
Pendudukan Israel telah menutup penyeberangan Jalur Gaza sementara sektor industri telah sepenuhnya berhenti karena hancurnya lebih dari 90% komponen infrastruktur industri, pabrik, energi, dan lainnya.
Dikutip dari Palestinian Information Center, Sabtu (27/6), Al-Maghrebi bersama keluarganya yang terdiri dari lima orang anak, mengungsi ke Deir Al-Balah, Gaza Tengah, ketika genosida meletus di Gaza, seperti ribuan orang pengungsi lainnya. Ia tidak membawa banyak barang, karena mengira perang tidak akan berlangsung lama.
Ia mengatakan, setiap anaknya memiliki pakaian terbatas yang sudah usang karena terus-menerus digunakan. Lingkungan tempat tinggal mereka di tenda semakin merusak pakaian karena anak-anak bermain pasir sepanjang hari.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Al-Maghrebi menambahkan, ia telah mencari di sebagian besar toko di Deir Al-Balah, berharap menemukan pakaian musim panas yang cocok untuk anak-anaknya, tetapi gagal karena harganya empat kali lipat dari harga normal. Sebagian besar pakaian yang tersedia terbuat dari nilon dengan persentase tinggi.
“Kami tinggal 24 jam di dalam tenda nilon, kami tidak tahan duduk di dalamnya, apalagi memakai pakaian seperti itu! Kulit mereka akan terkelupas,” ujarnya.
Pada bulan-bulan pertama perang yang menghancurkan di Gaza, toko-toko di daerah pengungsian menyaksikan banyaknya pengungsi dan warga yang berusaha mendapatkan pakaian setelah kehilangan rumah mereka karena pemboman atau barang-barang yang mereka bawa dilucuti saat mengungsi.
Bantuan dari saudara dan teman
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Kesulitan yang dihadapi Al-Maghrebi mungkin tampak sederhana dibandingkan dengan apa yang dialami Rasha Al-Haddad, yangakan melahirkan.
Ia mengatakan tidak dapat membeli pakaian untuk bayinya yang baru lahir karena kurangnya pakaian bayi dari semua ukuran di pasar.
“Bayi baru lahir membutuhkan pakaian katun yang sesuai dengan kulit sensitif mereka di bulan-bulan pertama kehidupan mereka,” katanya.
Untuk mengatasi kesulitasn ini, Al-Haddad terpaksa meminjam beberapa pakaian bayi baru lahir dan perlengkapan penting dari saudara dan teman-temannya.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
“Tidak ada yang bisa kami lakukan, saya telah menjelajahi seluruh pasar tetapi tidak dapat menemukan satu pun pakaian bayi baru lahir,” tambahnya.
Membeli Baju Bekas
Sedangkan untuk Osama Mohammed, ia menggunakan pakaian bekas yang dijual di trotoar dan membeli beberapa potong pakaian musim panas untuk anak-anaknya.
“Kami mengungsi di musim dingin dan hanya membawa pakaian musim dingin. Kami perlu membeli pakaian musim panas untuk anak-anak perempuan saya meskipun pakaian tersebut bekas,” katanya
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Ia mengatakan, beberapa pakaian yang dijual di trotoar merupakan barang-barang dari reruntuhan rumah-rumah yang hancur.
“Tetapi itu tidak berarti pakaian-pakaian tersebut dijual dengan harga murah, harga satu potong pakaian untuk orang dewasa dapat mencapai 40 shekel, dan ini bukanlah jumlah yang sedikit mengingat kondisi kehidupan yang sulit yang dialami setiap orang di Gaza, selain dari kelangkaan likuiditas uang tunai,” tambahnya.
Dampak perang yang besar
Seorang pedagang, Muhammad Abu Hilal, mengatakan perang telah menimbulkan dampak besar di semua tingkatan, yang paling menonjol adalah aspek ekonomi, yang mendorong ratusan ribu warga Palestina ke dalam lingkaran kemiskinan.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Ia menjelaskan, ratusan pedagang telah kehilangan usaha mereka dan banyak yang kehilangan pabrik di kawasan industry, yang memasok pasar lokal.
Abu Hilal mengatakan situasi tragis dialami warga karena mereka kehilangan daya beli akibat harga tinggi, yang disebabkan oleh perang, penutupan penyeberangan, penghancuran pergerakan komersial, industri, fasilitas publik dan swasta, juga kelangkaan pasokan di pasar.
“Saat ini, orang-orang hampir tidak dapat mengamankan kebutuhan hidup sehari-hari mereka, jadi bagaimana mereka mampu membayar harga pakaian baru yang dijual dengan harga berkali-kali lipat dari harga sebelum perang? Misalnya, blus musim panas anak-anak dijual seharga 60 shekel, yang berarti 4 kali lipat dari harga sebelum perang, karena kurangnya jumlah yang tersedia di pasar,” ungkapnya.
Ia mengatakan alasan yang sama mendorong orang untuk membeli pakaian bekas, yang juga dijual dengan harga 10 kali lipat dari harga sebenarnya sebelum perang.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Menurut perkiraan PBB, memulihkan kondisi sosial dan ekonomi yang berlaku sebelum perang di Gaza akan memakan waktu puluhan tahun.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menegaskan, dalam sebuah laporan yang dirilis pada awal Februari tahun ini, kebutuhan mendesak untuk memutus siklus kehancuran ekonomi yang telah membuat 80% penduduk bergantung pada bantuan internasional.
Estimasi UNCTAD menunjukkan, produk domestik bruto Gaza menyusut sebesar 4,5% dalam tiga kuartal pertama tahun 2023. Perang telah mempercepat penurunan ini dan mempercepat kontraksi PDB sepanjang tahun sebesar 24% dan penurunan PDB per kapita sebesar 26,1%.
Menurut PBB, sejak 7 Oktober 2023, tentara pendudukan Israel telah melancarkan perang pemusnahan di Gaza, yang sejauh ini telah mengakibatkan lebih dari 39.000 syahid, lebih dari 90.000 orang terluka, sebagian besar anak-anak dan wanita. Sekitar 1,9 juta orang mengungsi dan lebih dari 10.000 orang hilang, di tengah kehancuran besar-besaran infrastruktur kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kelaparan yang merenggut nyawa puluhan anak. []
Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Palestina Tolak Rencana Israel Bangun Zona Penyangga di Gaza Utara