Oleh: Rana Setiawan, Kepala Peliputan Kantor Berita MINA
Pembunuhan seorang wartawati senior Palestina dan reporter di Al Jazeera TV, Shireen Abu Akleh, yang sedang meliput serangan tentara Zionis Israel di lokasi pengungsian di Jenin, Tepi Barat, pada Rabu (11/5/2022) sangat mengguncang dunia.
Shireen adalah seorang wartawati warga Palestina berkewarganegaraan Amerika Serikat dan beragama Kristen yang selalu hadir meliput dan melaporkan peristiwa untuk Stasiun TV Al-Jazeera. Dikenal dari generasi ke generasi di setiap rumah Arab dan Palestina. Selalu hadir menyampaikan kebenaran selama insiden harian dan peristiwa besar yang dilancarkan Israel yang tak berkesudahan ini di wilayah-wilayah konflik.
Dia satu dari beberapa wartawan pemberani yang dikenal karena liputannya tentang peristiwa-peristiwa besar di Palestina, termasuk meliput Intifadhah Kedua tahun 2000-2005.
Baca Juga: Puluhan Pemukim Yahudi Serbu Masjid Al-Aqsa
Shireen dibunuh dengan darah dingin pada Rabu itu oleh penembak jitu Israel saat dia meliput, mengenakan rompi bertuliskan “PRESS” dan helm, serta tengah berdiri bersama wartawan lainnya–, yang secara khusus menjadi sasaran dan ditembak dengan tingkat akurasi dan presisi yang cukup tinggi oleh seorang penembak jitu.
Dia meninggal saat sedang bertugas, melaporkan kebenaran soal Palestina untuk dunia. Seorang martir dalam setiap arti kata.
Shireen adalah seseorang yang sebagai wartawan menginspirasi jutaan orang dengan komitmennya untuk mengungkapkan kisah-kisah kebenaran tentang Palestina sejak 25 tahun lalu. Sekarang kita menggemakan suara kebenaran kita kepada banyak orang di komunitas Palestina dan di seluruh dunia untuk mengingat Shireen dan menuntut pertanggungjawaban bagi semua orang yang telah dibungkam oleh tindakan kekerasan dan kekejaman sistemik Israel.
Ada sebuah artikel yang ditulis Shireen pada 2021 berjudul “Pekan Ini di Palestina,” di mana dia merenungkan apa arti kota Jenin baginya sebagai tempat harapan dan perlawanan dalam menghadapi berbagai kekerasan Israel.
Baca Juga: Israel Kembali Serang Sekolah di Gaza, 7 Orang Syahid
“Di Jenin, kami bertemu orang-orang yang tidak pernah putus asa; mereka tidak membiarkan rasa takut menyusup ke dalam hati mereka dan tidak bisa dihancurkan oleh pasukan pendudukan Israel… Bagi saya, Jenin bukanlah satu cerita fana dalam karir saya atau bahkan dalam kehidupan pribadi saya. Jenin adalah kota yang dapat meningkatkan moral saya dan membantu saya meninggikan asa. Jenin mewujudkan semangat Palestina yang kadang-kadang gemetar dan jatuh tetapi, melampaui semua harapan, bangkit untuk mengejar mimpi dan asanya.” (Shireen Abu Akleh)
Penargetan terus-menerus Israel terhadap wartawan dan media adalah tindakan teror, serangan terhadap kebebasan pers dan pelanggaran hukum internasional.
Untuk itu, organisasi wartawan di seluruh dunia harus mendukung para wartawan Palestina tanpa syarat karena mereka melakukan tugas untuk memberi tahu dunia tentang berbagai kejahatan Israel dan apa yang sedang terjadi di sana.
Pemerintah Palestina dan komunitas internasional harus bertindak lebih jauh daripada mengungkapkan kesedihan tentang pembunuhan Shireen dan menuntut para pelaku pembunuhannya agar segera diadili.
Baca Juga: Al-Qassam Tembak Mati Tentara Zionis! Perlawanan Gaza Membara di Tengah Genosida
Saat Israel akan berpikir bahwa kematian Shireen akan menghalangi jurnalis lain untuk meliput dan melaporkan berbagai kejahatannya, justru sebaliknya hanya akan menginspirasi lebih banyak orang Palestina untuk mengikuti jejaknya, menjadi corong suara kebenaran dan kepatutan yang terus menuntut dunia agar melihat Israel apa adanya, sebuah negara yang menimbun teror pada orang lain dengan impunitas. Impunitas itu harus diakhiri. Sanksi harus dijatuhkan pada Israel sekarang juga, agar kematian Shireen tak sia-sia.
Kemarahan dan curahan kutukan dari komunitas dunia sebagai tanggapan atas pembunuhan Shireen telah membuktikan bahwa pada setiap martir dan syuhada, kebenaran akan tetap menang.
Duka Kita
Tahun demi tahun, kita bangun setiap hari dengan mendapatkan berita tentang berapa banyak orang Palestina yang telah dibunuh oleh pasukan Israel di Gaza, Tepi Barat, Kota Al-Quds, dan di wilayah-wilayah jahahan Israel lainnya. Belum lama ini, kita terbangun dengan berita bahwa pasukan Israel telah menembak mati Shireen Abu Akleh ketika dia sedang melaporkan serangan militer Israel di Jenin.
Baca Juga: Israel Halangi Evakuasi Jenazah di Gaza Utara
Mirisnya, bahkan aparat Zionis Israel menyerang rombongan pengantar jenazah Shireen. Polisi Israel menendang, memukul, dan mendorong para pengantar jenazah. Beredar pula foto polisi menggunakan baton untuk memukul mereka yang mengangkat peti jenazah Shireen.
Peti jenazah Shireen Abu Akleh yang berbalutkan bendera Palestina diduga kuat menjadi penyebab polisi Israel menyerang. Bendera Palestina juga dicopot polisi Israel dari gereja, tempat keluarga Shireen melangsungkan upacara sebelum pemakaman.
Menurut Marwa Fatafta, pembuat kebijakan di lembaga think-tank Al-Shabaka, menjelaskan bahwa hal itu tidak terlepas dari ambisi Israel selama ini yang hendak mengusir warga Palestina dari Kota Al-Quds (Yerusalem).
“Ketika sebuah rezim sangat ingin mengusir Anda, bahkan sebuah bendera pun dianggap sebagai ancaman,” kata Fatafta sebagaimana dilaporkan Al Jazeera pada 14 Mei 2022.
Baca Juga: Keluarga Tahanan Israel Kecam Pemerintahnya Sendiri
Menurutnya, tujuan utama Israel adalah menghapus etnis Palestina dari Yerusalem, tempat situs-situs suci Islam dan Kristen berada, sehingga pengibaran bendera di upacara pemakaman pun tidak ditoleransi.
Setiap orang yang membaca berita utama terbaru Palestina harus memahami bahwa kolonialisme dan apartheid Israel dengan berbagai tindakan perampasan tanah dan pembangunan permukiman-permukiman ilegal hanya bagi orang Yahudi di Tepi Barat dan sekitarnya secara sistematis membuat kehidupan rakyat Palestina makin buruk.
Hal ini benar adanya apakah itu kehidupan seorang wartawan senior terkenal seperti Shireen, yang tanpa rasa takut berbicara kebenaran dan membimbing orang Palestina lainnya untuk berbagi cerita mereka sendiri; atau kehidupan ribuan orang Palestina di bawah ancaman pembersihan etnis saat ini di Masafer Yatta (di mana pasukan Israel memukuli para wartawan Palestina pada pekan ini); atau nyawa 240 orang Palestina yang dibunuh Israel di Gaza tepat satu tahun lalu pada bulan ini; atau pun kehidupan 750.000 orang Palestina yang diusir oleh Israel selama tragedi Nakbah 74 tahun lalu pada bulan ini; atau rakyat Palestina lain yang tak terhitung jumlahnya menjadi korban pengusiran hingga menjadi pengungsi dan diaspora, serta penangkapan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan oleh rezim Zionis.
Berbagai tindakan represif nan barbar Israel membuat kehidupan rakyat Palestina makin buruk tidak hanya dalam kasus pembunuhan paling mengerikan, tetapi juga dalam kekerasan sistemik sehari-hari dilakukan rezim Zionis bersama pasukan militer dan para pemukim ekstrimis Yahudi Israel yang menggusur, melukai, mengontrol, membungkam, membuat trauma, memiskinkan, dan memenjarakan warga Palestina. Impunitas untuk satu kejahatan perang membuka jalan bagi kejahatan berikutnya.
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang
Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan rezim Zionis di Palestina hingga kini menggambarkan sistem apartheid Israel yang memungkinkan berlanjutnya kekerasan negara tanpa hukuman.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Amnesty International dalam sebuah laporan yang dimumkan 2 Februari 2022, menemukan bukti-bukti yang memberatkan bahwa Israel harus dimintai pertanggungjawaban karena melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina.
Penyelidikan tersebut merinci bagaimana Israel memberlakukan sistem penindasan dan dominasi terhadap rakyat Palestina di mana pun Israel memiliki kendali atas hak-hak mereka. Ini termasuk warga Palestina yang tinggal di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), serta pengungsi-pengungsi di negara lain.
Laporan komprehensif setebal 182 halaman, berjudul “Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Kejam,” mendokumentasikan bagaimana penyitaan tanah dan properti Palestina secara besar-besaran, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan gerakan secara drastis, dan penolakan kewarganegaraan terhadap orang Palestina, menunjukkan adanya sistem apartheid menurut hukum internasional.
Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina
Sistem ini dipertahankan melalui pelanggaran-pelanggaran yang Amnesty International temukan sebagai apartheid, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma dan Konvensi Apartheid.
Perjuangan Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina
Konflik Palestina-Israel sudah berlangsung selama 74 tahun. Sampai saat ini tak kunjung selesai. Tentunya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan komunitas internasional harus mencari solusi untuk mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan berkelanjutan.
Adapun menarik untuk dicermati dan disampaikan solusi alternatif untuk mengatasi konflik ini dengan pembubaran rezim dan negara Zionis Israel.
Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza
Menarik apa yang disampaikan seorang tokoh dan pengamat nasional, yang menyatakan penyelesaian konflik Palestina-Israel tak akan pernah selesai apabila tidak kembali ke akar masalahnya. Di mana akar masalah dari konflik tersebut adalah berdirinya negara Zionis Israel pada 1948 di tanah Palestina.
Tanah tersebut dirampas secara ilegal oleh kaum Yahudi. Konflik antara Palestina-Israel telah berlangsung lama dan panjang dan bisa dilihat dari tiga aspek, yakni okupasi Israel, konflik antar negara dan pembagian wilayah.
Okupasi Israel ditandai dengan berdirinya secara sepihak negara Zionis Israel pada 1948, yang menimbulkan konflik selama 74 tahun. Sedang jika dilihat dari konflik antar negara, ditandai dengan deklarasi negara Palestina pada 1988 di Aljazair, maka usia konflik 33 tahun. Sementara jika melihat kesepakatan Oslo pada 1994 yang melakukan pembagian wilayah, maka konflik sudah 27 tahun terjadi.
Wilayah Palestina berdasarkan Resolusi PBB No.181 Tahun 1947 terus mengalami penyusutan drastis. Hal itu karena kolonisasi Israel memperluas pemukiman baru ilegal. Di mana Israel mengokupasi terus mengokupasi tanah Palestina. Faktanya, kata dia, wilayah yang disepakati merujuk pada Resolusi PBB Tahun 1947 itu, semakin lama semakin sedikit.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Upaya negara Palestina untuk mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatannya sebagai negara mendapat tantangan oleh arogansi Israel yang ingin menganeksasinya dengan dalih ’ajaran’ dan keyakinannya.
Usaha optimal Israel mencaplok wilayah negara Israel dirancang dengan langkah yang rapi, yakni sejak munculnya protokol zionis hingga eksisnya negara Israel. Sejak itu, konflik yang diderita negara Palestina membuat negaranya makin miskin karena energinya tersedot untuk memperjuangkan kedaulatan, di tengah upaya yang harus dilakukan untuk membangun kesejahteraan warganya.
Penderitaan Palestina kian nyata tatkala negara adi daya ikut campur di belakang Yahudi dengan zionisnya. PBB pun tak bernyali karena tak berdaya mengatasi selera Israel untuk mewujudkan obsesinya mengganyang negara Palestina yang berdaulat.
Permasalahan soal Al-Aqsa dan Palestina tidak akan pernah dilupakan oleh umat Islam dan komunitas dunia. Para pembela kebenaran serta para pembela HAM dan kemanusiaan takkan pernah memalingkan muka dari permasalah Palestina.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Yakinlah Al-Aqsa dan Palestina suatu saat akan bebas, maka kita akan terus melanjutkan perjuangan untuk membebaskannya.(A/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)