DALAM sebuah dunia yang terus bergerak cepat, informasi menjadi senjata paling ampuh, wartawan/">peran wartawan tidak pernah lebih krusial daripada sekarang. Mereka bukan hanya pencerita, tetapi juga penjaga kebenaran, pengawas kekuasaan, dan penggerak perubahan. Sejarah telah membuktikan bahwa wartawan sering berada di garis depan perjuangan melawan penjajahan dan ketidakadilan.
Hari ini, di tengah konflik yang masih membara di Palestina, peran mereka kembali diuji. Bagaimana wartawan dan media dapat menjadi kekuatan untuk mendukung kemerdekaan Palestina, sebagai wujud perjuangan menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi ini?
Dalam Sarasehan Media Hari Pers Nasional (HPN) di Riau pada 8 Februari 2025, Tribuana Said, tokoh pers nasional dan senior Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), mengingatkan kita akan pentingnya wartawan/">peran wartawan dalam memperkuat cita-cita sebagai penggerak kemerdekaan.
Pernyataannya bukan sekadar retorika, melainkan seruan yang mendalam untuk mengingat kembali akar sejarah pers Indonesia yang erat kaitannya dengan perjuangan bangsa. “Wartawan bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga menjadi pejuang yang turut memperjuangkan kemerdekaan,” tegas Tribuana.
Baca Juga: Hari Pers Nasional, Peran Wartawan dalam Kemerdekaan dan Tantangan Era Modern
Sejarah Pers dan Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah pers Indonesia adalah sejarah perjuangan. Sejak era kolonial, wartawan telah menjadi ujung tombak dalam melawan penjajahan. Mereka menggunakan pena sebagai senjata, mengkritik kebijakan kolonial, dan membangkitkan kesadaran nasional.
Tokoh-tokoh seperti Tirto Adhi Soerjo, yang mendirikan surat kabar Medan Prijaji pada 1907, dan RM Tirtoadisuryo adalah contoh bagaimana wartawan tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga menginspirasi gerakan kemerdekaan. Pada masa itu, media menjadi alat untuk menyebarkan ide-ide kebangsaan dan mempersatukan rakyat melawan penjajah.
Tribuana Said mengingatkan kita bahwa perjuangan ini tidak berhenti pada 1945. “Kita harus selalu ingat perjuangan yang dimulai sejak 1928, yang melahirkan Budi Utomo, banyak di antaranya digerakkan oleh para penulis dan wartawan,” katanya. Ini adalah pengingat bahwa wartawan memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan perjuangan melawan segala bentuk penjajahan, termasuk yang terjadi di Palestina.
Baca Juga: Bulan Sya’ban Bulannya Para Pembaca Al-Quran
Palestina: Simbol Penjajahan Modern
Konflik Palestina-Israel bukan sekadar persoalan regional, melainkan simbol penjajahan modern yang masih bertahan di abad ke-21.
Rakyat Palestina telah hidup di bawah penjajahan selama puluhan tahun, menghadapi penggusuran, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.
Menurut data terbaru dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) mencatat ada 5,97 juta pengungsi Palestina pada tahun 2024. Jumlah pengungsi Palestina pada tahun lalu tercatat naik sekitar 7.000 lebih orang dibanding tahun 2023.
Baca Juga: Trump, Sudahlah!
UNRWA mencatat pengungsi Palestina tersebar di empat negara. Yakni Palestina sendiri, Yordania, Suriah, dan Libanon. Sebagian besar penduduk Palestina mengungsi di wilayah negaranya sendiri. Kemudian, Yordania tercatat sebagai negara tujuan utama pengungsi Palestina.
Berdasarkan data UNRWA, jumlah pengungsi Palestina terus mengalami kenaikan setiap tahunnya dalam kurun waktu 2019 hingga 2024. Kenaikan itu juga terjadi di wilayah negara-negara yang menampung mereka.
Di Tepi Barat, pembangunan permukiman ilegal Israel terus berlanjut, dengan lebih dari 700.000 pemukim Yahudi tinggal di wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Palestina.
Sementara itu, di Jalur Gaza, sejak tahun 1967, Israel telah menduduki daerah kantong pantai tersebut sebelum menarik pasukannya pada 2005.
Baca Juga: Ini Adab Bertamu yang Benar Menurut Ajaran Islam
Namun, Israel tetap mengontrol wilayah udara, perbatasan, serta arus barang dan orang yang masuk ke Gaza. Blokade ketat yang diberlakukan sejak 2007 telah membuat wilayah ini disebut sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia.”
Negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania telah menolak keras setiap upaya pengusiran warga Palestina dari Gaza, karena dianggap akan menghambat pembentukan negara Palestina di masa depan.
Bagi rakyat Palestina, rencana ini membangkitkan trauma masa lalu yang dikenal sebagai Nakbah atau “bencana”—ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka selama pembentukan Israel pada tahun 1948.
Bahkan, jumlah korban tewas di Gaza akibat agresi genosida penjajah Zionis Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah melampaui 48.219 jiwa, menurut sumber medis setempat yang dikonfirmasi Kantor Berita WAFA pada Selasa (11/2/2025). Mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan, mencerminkan dampak dahsyat konflik ini terhadap warga sipil.
Baca Juga: Israel Juga Lakukan Genosida Budaya di Gaza, Ini Buktinya
Selain korban tewas, jumlah korban luka-luka juga telah mencapai 111.665 orang. Banyak korban masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan, dan tim ambulans serta pertahanan sipil kesulitan menjangkau mereka akibat hancurnya infrastruktur dan serangan udara yang terus berlanjut.
Dalam 24 jam terakhir, 11 jenazah warga Palestina telah dibawa ke rumah sakit di Gaza, termasuk delapan jenazah yang berhasil dievakuasi dari reruntuhan. Selain itu, 10 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka. Situasi di Gaza semakin memprihatinkan, dengan ratusan orang masih dinyatakan hilang dan diperkirakan terjebak di bawah puing-puing bangunan.
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk setiap jamnya. Wilayah ini menghadapi kelangkaan parah pasokan medis, makanan, dan air bersih. Rumah sakit yang masih beroperasi kewalahan menangani jumlah korban yang terus bertambah, sementara akses bantuan kemanusiaan dari luar sangat terbatas akibat blokade dan kerusakan infrastruktur.
PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan internasional telah berulang kali menyerukan gencatan senjata dan akses bantuan kemanusiaan yang tidak terhambat ke Gaza. Namun, upaya diplomasi internasional sejauh ini belum membuahkan hasil signifikan.
Baca Juga: Geliat Warga Gaza Bangun Kembali Kehidupan Mereka Pascagencatan Senjata
Konflik ini telah menimbulkan keprihatinan global, dengan banyak negara menyerukan penghentian kekerasan dan perlindungan terhadap warga sipil. Namun, eskalasi terus berlanjut, meninggalkan Gaza dalam keadaan yang semakin mengenaskan.
Di tengah situasi ini, media memiliki peran krusial untuk menyuarakan kebenaran dan mengungkap ketidakadilan yang terjadi. Namun, tantangannya besar. Media mainstream global sering kali bias, memihak narasi yang didukung oleh kekuatan politik dan ekonomi tertentu. Misalnya, laporan dari The Intercept pada 2021 mengungkapkan bagaimana media AS cenderung mengabaikan konteks historis dan hak-hak rakyat Palestina, sementara fokus pada narasi keamanan Israel.
Di sinilah wartawan independen dan media alternatif harus mengambil peran. Mereka harus menjadi suara bagi yang tak bersuara, mengungkap fakta-fakta yang disembunyikan, dan memastikan bahwa dunia tidak melupakan penderitaan rakyat Palestina.
wartawan/">Peran Wartawan dalam Mendukung Kemerdekaan Palestina
Baca Juga: Peran Suami sebagai Pemimpin Keluarga dalam Islam
Tribuana Said juga menegaskan bahwa wartawan harus menjadi penggerak kemerdekaan. Dalam konteks Palestina, ini berarti wartawan harus berani melaporkan kebenaran, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman. Mereka harus menggunakan segala kemampuan mereka untuk mengedukasi publik tentang akar konflik, sejarah penjajahan, dan pentingnya solidaritas internasional.
Media juga harus menjadi ruang untuk dialog dan pemahaman. Dengan menyajikan berita yang berimbang dan mendalam, wartawan dapat membantu memecahkan stereotip dan prasangka yang sering kali memperkeruh konflik.
Mereka harus memastikan bahwa suara rakyat Palestina didengar, bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai manusia dengan hak yang sama untuk merdeka dan hidup bermartabat.
Contoh konkret adalah peran jurnalis seperti Shireen Abu Akleh, wartawan Al Jazeera yang tewas ditembak oleh pasukan Israel pada Mei 2022 saat melaporkan dari Tepi Barat. Kematiannya memicu kemarahan global dan menyoroti risiko yang dihadapi wartawan di zona konflik. Namun, kisahnya juga menginspirasi banyak jurnalis untuk terus memberitakan kebenaran, meskipun dengan risiko tinggi.
Baca Juga: Waspada Konspirasi Trump-Netanyahu Ambil Alih Gaza
Selain itu, setidaknya 193 wartawan tewas di Gaza sejak Israel melancarkan perang di daerah kantong Palestina tersebut pada Oktober 2023. Menurut sebuah laporan terbaru, beberapa wartawan yang menjadi korban memang sengaja ditarget oleh Israel.
Sebagian besar wartawan tewas akibat serangan udara, serangan pesawat tanpa awak, peluru artileri, atau tembakan penembak jitu. Serangan pesawat nirawak menewaskan 29 wartawan dalam satu tahun. Ada juga kasus ketika beberapa wartawan tewas dalam satu serangan, termasuk serangan udara Israel yang menewaskan lima wartawan pada bulan Desember 2024.
Setidaknya 64 wartawan telah ditahan di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki, dengan 15 menjalani interogasi dan 27 diadili di pengadilan militer. Sebagian besar dari kejadian ini terjadi di Tepi Barat yang diduduki, dengan jurnalis mengalami 367 insiden wartawan dan pekerja media yang ditahan atau dihalangi oleh pasukan Israel saat bekerja.
Pekerja media juga menghadapi serangan fisik, termasuk dipukul dengan popor senapan dan tongkat, ditendang, dicaci maki, dan peralatan mereka disita serta rekaman mereka dihapus.
Baca Juga: Akhlak Mulia, Dakwah Memesona: Kunci Keberhasilan Seorang Da’i
Keluarga wartawan juga terperangkap dalam agresi genosida Israel terhadap jurnalisme Palestina, dengan hampir 164 kerabat tewas oleh serangan udara Israel yang menargetkan rumah mereka dengan 53 rumah wartawan hancur. Banyak wartawan kehilangan seluruh keluarga, membayar harga tertinggi untuk profesi mereka.
Otoritas Israel juga menargetkan lembaga media, dengan 54 kasus organisasi dihancurkan, ditutup, atau dirusak. Sebanyak 28 lainnya menghadapi penutupan atau penutupan yang diperpanjang. Ini juga termasuk penutupan kantor Al Jazeera di Tepi Barat oleh Israel dalam upaya untuk membatasi operasi jaringan Qatar di wilayah tersebut.
Dengan wartawan asing dilarang memasuki Jalur Gaza oleh Israel, pelaporan dari wilayah tersebut sebagian besar diserahkan kepada wartawan Palestina, mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-hari di Jalur yang dilanda perang genosida, serta serangkaian kejahatan Israel.
Tantangan di Era Digital
Baca Juga: Cara Islam Memperlakukan Tawanan dan Sandera
Tribuana juga mengingatkan bahwa perkembangan digitalisasi jangan sampai menyebabkan kemunduran bagi pers Indonesia.
Di era digital, informasi menyebar dengan cepat, tetapi sering kali tanpa verifikasi. Hoaks dan disinformasi menjadi ancaman serius yang dapat memicu konflik dan memecah belah masyarakat.
Wartawan harus tetap berpegang pada prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab, menjaga integritas, dan independensi.
Di sisi lain, teknologi digital juga membuka peluang baru. Media sosial dan platform online memungkinkan wartawan untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan melibatkan publik dalam perjuangan melawan ketidakadilan.
Kampanye solidaritas untuk Palestina, misalnya, dapat disebarluaskan dengan cepat melalui media sosial, menggerakkan dukungan global. Misalnya, tagar #FreePalestine telah digunakan lebih dari 10 juta kali di Twitter pada 2023, menunjukkan betapa kuatnya dukungan publik terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Solidaritas dan Kolaborasi
Sarasehan Media HPN Riau menjadi momentum penting untuk mempererat solidaritas antar wartawan. Tribuana menekankan bahwa PWI harus tetap solid dan tidak boleh tercerai-berai. Solidaritas ini tidak hanya penting dalam konteks nasional, tetapi juga internasional.
Wartawan Indonesia harus bersatu dengan rekan-rekan mereka di seluruh dunia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Kolaborasi antara media lokal dan internasional juga penting. Dengan bekerja sama, wartawan dapat mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Palestina dan memastikan bahwa pelaku kejahatan diadili.
Mereka dapat menciptakan jaringan yang kuat untuk melawan narasi-narasi yang mendukung penjajahan. Pada 2023, sebuah investigasi kolaboratif yang melibatkan media dari 15 negara berhasil mengungkapkan bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional terlibat dalam pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat.
Menghapus Penjajahan di Muka Bumi
Perjuangan untuk kemerdekaan Palestina adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar, yakni menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa penjajahan tidak hanya merampas tanah dan sumber daya, tetapi juga menghancurkan martabat manusia.
Untuk itu, wartawan dan media memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa sejarah kelam ini tidak terulang.
Tribuana Said mengingatkan kita bahwa wartawan adalah pewaris perjuangan para pahlawan nasional.
“Harapannya, para tokoh pers masa kini dapat melanjutkan perjuangan itu dengan memperkuat cita-cita wartawan sebagai penggerak kemerdekaan dan pergerakan bangsa,” katanya. Ini adalah seruan yang relevan tidak hanya untuk Indonesia, tetapi untuk seluruh dunia.
Di akhir tulisan ini, mari kita renungkan kata-kata Tribuana Said: “Wartawan bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga menjadi pejuang yang turut memperjuangkan kemerdekaan.”
Hari ini, di tengah konflik Palestina yang masih berlangsung, kita membutuhkan lebih banyak wartawan yang berani menjadi pejuang. Kita membutuhkan media yang tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga menginspirasi perubahan.
Mari kita jadikan pena dan kamera sebagai senjata untuk melawan ketidakadilan. Mari kita bersatu, sebagai wartawan dan masyarakat global, untuk mendukung kemerdekaan Palestina dan menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi.
Sebab, seperti kata Tribuana, “Keberadaan media sangat penting dalam membentuk arah dan kualitas pers nasional.” Dan keberadaan kita, sebagai pembaca dan pendukung media, sama pentingnya. Bersama, kita bisa membuat perubahan. Bersama, kita bisa mengakhiri penjajahan.
Mari bergerak, karena kemerdekaan adalah hak semua bangsa! []
Mi’raj News Agency (MINA)