Waspada “Adu Domba” Umat Islam dengan Aparat Keamanan

Oleh Widi Kusnadi, Redaktur MINA

Mencermati polemik akhir-akhir ini terkait kontroversi pelaksanaan aksi Bela Islam jilid 3 pada 2 Desember 2016 mendatang, ada sesuatu yang perlu diwaspadai, baik oleh maupun aparat keamanan.

Beberapa ormas yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) menyatakan akan melakukan aksinya kembali dalam bentuk aksi gelar sajadah di jalan MH Thamrin, Bundaran HI dan Jenderal Sudirman.

Namun di pihak lain, kepolisian RI menyatakan tidak mengizinkan aksi tersebut berlangsung dengan alasan akan mengganggu kepentingan orang banyak karena tempat tersebut merupakan jalan protokol yang menjadi akses menuju tempat bekerja dan keperluan vital lainnya.

Berikut adalah kutipan pidato Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait aksi 2 Desember mendatang:

“Ada empat batasan dalam Undang-undang itu yang tidak boleh.
Yang pertama, tidak boleh menggannggu hak asasi orang lain, termasuk memakai jalan, kalau jalan protokol itu tidak boleh dihalangi. Yang kedua, tidak menganggu ketertiban umum, sangat jelas bahwa itu jalan protokol. Kalau itu diblok, otomatis akan mengganggu warga yang melewati jalan itu. Ibu-ibu yang melahirkan, mau berangkat ke RSCM bisa tergangu. Yang sakit bisa terganggu, yang mau bekerja juga bisa terganggu. Sopir taksi, angkutan, dan lain-lain bisa terganggu. Disamping itu, juga bisa memacetkan Jakarta, karena di jalan protokol, hari Jumat lagi. Itu menganggu ketertiban publik.”

Di samping itu, Tito meyakinkan bahwa untuk kasus Ahok, akan diselesaikan segera. Sekarang sudah berada di tahap akhir dan segera dilimpahkan ke pengadilan.

Waspada

Pembina GNPF-MUI, Habib Rizieq Syihab mengatakan aksi damai yang dilakukan tidak boleh menjadi ajang adu domba melawan dan . ‘Mereka saudara kita juga, kami fokus pada kasus penistaan Al Quran oleh Ahok,” kata Habib.

Secara hukum, kata Rizieq, aksi damai sesuai koridor hukum berdasarkan UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aksi juga tidak melanggar peraturan Kapolri mengenai batas waktu penyampaian pendapat di depan umum pada pukul 18.00 WIB.

Lebih lanjut, Habib Rizieq mengatakan pengunjuk rasa tidak berupaya melakukan kericuhan. “Kami tidak boleh diadudomba melawan polisi dan TNI, ,” tambahnya.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyatakan, perang tanpa bentuk (proxy war) saat ini mengancam , sehingga semua pihak harus bersatu dalam mencegah dan melawannya.

” Dalam “proxy war” tidak bisa dilihat siapa lawan dan kawan, tetapi perang tersebut dikendalikan oleh negara lain. Negara-negara luar berlomba-lomba ingin menguasai Indonesia karena kaya akan SDA (sumber daya alam),” kata Gatot.

“Caranya dengan menguasai media di Indonesia dengan menciptakan adu domba TNI-Polri, rekayasa sosial, perubahan budaya, pecah-belah partai, dan penyelundupan narkoba sudah jauh-jauh hari dilakukan,” ucapnya.

Gatot mengatakan, solusi dalam mencegah proxy war, yakni pemerintah harus didukung oleh para pemuda yang menjadi agen perubahan dan pemersatu bangsa.

Dalam konteks kasus Ahok tersebut, hemat kami ada upaya mengadu domba antar sesama umat Islam, yaitu yang pro dan anti terhadap Ahok. Berawal dari perang opini di sosial media, saling ejek, saling hina, bahkan berani merendahkan fatwa ulama, hal ini sangat berpotensi menjadi awal keretakan umat dan pastinya, orang-orang yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia bergembira atas hal ini.

Aksi Demonstrasi

Berbicara tentang demonstrasi itu harus dikaji secara mendalam, baik situasinya, kepentingannya, efektifitasnya serta perhitungan lainya. Kita tidak bisa mengeneralisir bahwa hukum demo itu halal atau haram. Apalagi sekedar mengatakan bahwa demonstrasi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu alaihi wa salam. Hujjah seperti ini agaknya terlalu dangkal dan menyederhanakan masalah.

Sebaliknya, harus ada suatu kajian dari para ulama tentang urgensi demonstrasi sebagai reaksi dari suatu keadaan. Boleh jadi memang hukumnya haram untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi malah wajib untuk alasan yang lain.

Memang ada rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melakukan demonstrasi. Menyampaikan aspirasi hendaknya tetap memperhatikan kepentingan khalayak dan jangan sampai dengan aksi tersebut membuat kemudharatan yang lebih besar.

Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstrasi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad. Dalam kaitannya sebagai sarana amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad itu, demonstrasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan menuju suatu nilai dan sistem yang lebih baik.

Berkaitan dengan aksi demo pada 2 Desember nanti, rasanya semua pihak harus merenungkan secara mendalam tentang manfaat dan madharatnya. Menurut hemat penulis, jika memang akan melakukan aksi damai, akan lebih baik jika tidak menutup akses jalan protokol sehingga tidak mengganggu kepentingan umum.

Yang harus menjadi prinsip para peserta demo nantinya adalah, jangan sampai justru demo tersebut menjadi alat bagi pihak-pihak yang tidak senang dengan aksi itu mencitrakan buruk tentang Islam. Bukankah agama Islam mengajarkan, meski dalam suasana peperangan pun, umat Islam dilarang merusak tanaman di jalan yang mereka lewati. Itu artinya, Islam sangat menghormati kepentingan umum.

Tangani Akar Masalah

Jika melihat akar masalah dalam aksi damai 2 Desember nanti, para peserta aksi menuntut keadilan dari aparat penegak hukum untuk dapat menahan Ahok setelah ia ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana para tersangka penista agama lainnya juga ditahan.

Polisi tidak menahan Ahok dengan alasan, ia selama ini bersikap kooperatif, tidak mungkin melarikan diri, tidak mungkin menghilangkan barang bukti, dan tidak melakukan hal yang sama kedepannya.

Namun, menurut Sekjen Pemuda Muhammadiyah, Pedri Kasman menyatakan, pihaknya meminta Polisi untuk segera menahan Ahok usai dijadikan tersangka.

Pedri mengatakan bahwa Ahok berpotensi mengulangi perbuatannya, buktinya sudah ada pernyataan Ahok di wawancarai ABC News ( mediaAustralia) pada Rabu, 16 Noveber 2016 lalu yang menuduh peserta aksi 4/11 dibayar 500 ribu per orang.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, menyatakan proses hukum yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, harus memberikan efek jera. Sehingga semua sikap dan tindakan yang mengarah pada potensi penistaan agama tidak terulang.

Apalagi dalam perjalanannya, proses hukum penistaan agama yang menjerat Ahok ini berdampak bagi wibawa umat Islam yang dilecehkan.

“Belum apa-apa umat Islam dibilang barbar, dikatakan umat Islam disogok. Ini kan penghinaan,” kata Deddy Mizwar di Gedung Sate, Kota Bandung.

Wagub yang juga aktor kawakan ini meminta Polri meninjau ulang keputusan tidak menahan Ahok setelah ditetapkan sebagai tersangka. “Kitabnya dihinakan, umatnya dihinakan juga. Ya harus (ditahan). Karena makin lama, makin menyakiti umat Islam,” ujar pria yang akrab disapa Kang Demiz itu.

Sementara itu, dai kondang Aa Gym mengingatkan kepada segenap pemangku kebijakan untuk tidak terlambat dalam mengambil tindakan. Keterlambatan dalam memberikan statemen, atau menangani kasus penistaan agama bisa membuat masalah baru yang lebih besar.

Oleh karenanya, hikmah dari kasus Ahok kali ini salah satunya mengajarkan kepada semua orang untuk berbuat sesuatu tepat pada waktunya, sesuai dengan tugas dan fungsinya. ‘Jangan terlambat mengambil keputusan,” tegasnya.

Aa Gym, berandai-andai, jika ia menjadi Presiden Jokowi, dia akan sholat Jumat di masjid Istiqlal dan bertindak sebagai khotib saat aksi dama 4 November lalu. Pasti umat Islam akan bangga punya presiden yang juga mampu merasakan luka hati mereka yang kitabnya dinistakan.(R03/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.