Oleh: Widi Kusnadi, wartawan MINA
Dalam setiap pembukaan khutbah Jumat, khatib selalu membacakan surah Ali-Imran ayat 102 tentang wasiat taqwa larangan mati kecuali dalam keadaan seorang Muslim. Yang menarik di sini adalah mengapa Allah melarang orang-orang beriman agar tidak mati kecuali dalam keadaan menjadi Muslim.
Bukankah orang beriman itu juga merupakan orang Islam dan apakah ada kemungkinan orang-orang yang (mengaku) beriman, ia bisa mati dalam keadaan bukan Muslim alias Kafir?. Dengan kata lain, ada orang yang sudah mengucap dua kalimah syahadat (syahadatain) bisa mati dalam keadaan kafir.
Da’i asal Sulawesi Selatan, Ustaz Das’ad Latif mengatakan, surah Ali Imran ayat 102 tersebut jika dilihat secara teori terbalik, berarti ada orang meninggal dalam keadaan kafir meskipun sudah mengklaim dirinya Muslim dan Mukmin.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
“Apakah setiap yang sudah mengucap syahadat akan mati dalam keadaan muslim ? Belum tentu. Apakah yang sudah melaksanakan shalat akan akan mati dalam keadaan muslim? Belum tentu. Apakah yang sudah zakat, puasa, haji akan akan mati dalam keadaan muslim, belum tentu?”. Kata Ustaz Das’ad dalam sebuah kesempatan ceramahnya di acara Muslim United, Yogyakarta, Oktober 2019.
Sakaratul maut (waktu menjelang nyawa dicabut) merupakan saat-saat menegangkan dalam episode kehidupan manusia. Setan akan mati-matian menyesatkan manusia agar jangan sampai mati dalam keadaan Muslim.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
“Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan ahli neraka, lantas ia memasukinya. Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, lantas ia memasukinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebab Su’ul Khatimah
Sesungguhnya akhir hayat yang buruk diakibatkan bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang seseorang melakukan perbuatan-perbuatan baik, namun dalam hatinya terpendam bibit-bibit keburukan sehingga ketika saat menjelang ajal, keburukan itu tumbuh mengalahkan kebaikannya hingga ia menemui ajalnya dalam keadaan su’ul khatimah. Sebaliknya, ada orang yang beramal keburukan, namun di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka, menjelang ajalnya bibit kebaikan itu tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dalam keadaan husnul khatimah.”
Manshur bin Ammar mengisahkan, bahwa ia memiliki seorang teman yang suka melampaui batas, lalu ia bertaubat. Aku melihat dia banyak beribadah dan shalat tahajjud. Suatu ketika aku putus komunikasi dengannya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Hingga pada suatu hari, menurut kabar dari orang-orang, ia sedang sakit. Maka aku pergi ke rumahnya dan anak perempuannya menemuiku.
Maka ia mengizinkanku masuk dan akupun bergegas ke dalam rumah. Aku melihatnya sedang tebaring di atas ranjang yang terletak di tengah rumah. Mukanya terlihat kehitaman, kedua matanya tertutup dan kedua bibirnya bengkak dan menebal.
Aku berkata padanya dengan perasaan takut melihatnya, “Wahai saudaraku, perbanyaklah mengucap Laa Ilaaha Illallaah.” Ia membuka kedua matanya dan menatapku dengan penuh kemarahan, lalu ia tak sadarkan diri. Kembali kuulangi perkataanku kedua kalinya, wahai saudaraku perbanyaklah mengucap Laa Ilaaaha Illallaah.” Pada saat aku mengulanginya untuk ke tiga kalinya, lalu ia membuka matanya dan berkata, “Wahai Manshur, saudaraku, kalimat ini telah menjauh dariku.”
Kemudian aku bertanya padanya, “Wahai saudaraku, di manakah shalat, puasa, tahajud dan shalat malammu?”
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Ia menjawab, “Aku melakukan semua itu bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taubatku hanyalah taubat palsu. Sebenarnya aku melakukan semua itu supaya aku dikenal dan disebut-sebut orang, aku melakukannya dengan maksud pamer kepada orang lain. Bila aku menyepi seorang diri, aku masuk ke dalam rumah dan memasang tirai-tirai, lalu aku minum khamer dan menantang Tuhan dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Aku terus melakukan itu sampai beberapa masa.
Kemudian aku ditimpa penyakit hingga hampir binasa. Saat itu juga aku suruh anak perempuanku, ‘ambilkanlah aku mushaf!’ dan aku berdoa, ‘Ya Allah, demi kebenaran Al-Qur’an yang agung, sembuhkanlah aku!’ Dan aku berjanji tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya. Maka Allah membebaskanku dari penyakit.
Kemudian aku kembali hidup bersenang-senang dan akupun jatuh sakit lagi. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti yang engkau lihat sekarang ini. Kemudian aku menyuruh mereka mengambilkan mushaf untuk kubaca, tetapi mataku sudah tidak bisa melihat satu huruf-pun. Aku pun menyadari bahwa Allah sudah murka kepadaku. Lalu aku acungkan mushaf itu di atas kepalaku sembari memohon, ‘Ya Allah, demi kehormatan mushaf ini, bebaskanlah aku dari penyakit ini, wahai penguasa bumi dan langit!’
Tiba-tiba aku mendengar seperti suara memanggil, ‘engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Allah menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa dalam kesalahan-kesalahan’.”
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Manshur bin ‘Ammar berkata, “Sungguh demi Allah aku keluar dari rumahnya dengan air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan belum sampai di pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah meninggal.
Agar Selamat dari Su’ul Khotimah
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Su’ul khotimah tidaklah terjadi pada orang yang secara lahir dan batin itu baik dalam bermuamalah dengan Allah. Begitu pula tidak akan terjadi pada orang yang benar perkataan dan perbuatannya”.
Su’ul khotimah akan mudah terjadi pada orang yang rusak batinnya dilihat dari i’tiqod (keyakinannya) dan rusak lahiriahnya yaitu pada amalannya. Su’ul khotimah lebih mudah terjadi pada orang yang terus menerus dalam dosa besar dan lebih menyukai maksiat. Akhirnya ia terus menerus dalam keadaan berlumuran dosa semacam tadi sampai maut menjemput sebelum ia bertaubat.”
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Jika telah mengetahui hal ini dan tidak ingin kehidupan kita berakhir buruk sebagaimana kisah-kisah yang telah kami utarakan di atas, maka sudah sepantasnya kita menyegerakan taubat terhadap semua dosa yang kita perbuat, baik itu dosa kesyirikan, bid’ah, dosa besar dan maksiat. Begitu pula segeralah kita kembali taat pada Allah dengan mengawali segalanya dengan ilmu. Kita tidak tahu kapan nyawa kita diambil. Entah besok, entah lusa, atau pekan depan, boleh jadi lebih cepat dari yang kita kira.
Selagi masih diberi kesempatan, selagi masih diberi nafas, teruslah bertaubat dan kembali taat pada-Nya. Lakukan kewajiban, sempurnakan dengan amalan sunnah. Jauhi maksiat dan berbagai hal yang makruh. Jangan sia-siakan waktu, teruslah berbuat kebaikan dengan istiqomah dan ikhlas hanya kepada Allah semata. (A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menjadi Umat Unggul dengan Al-Qur’an