Tim Wartawan Kantor Berita MINA Biro Sumatera mengadakan wawancara eksklusif bersama Profesor Ilmu Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an Universitas Islam Gaza, Syeikh Mahmoud Hashim Anbar di Masjid An-Nubuwwah, Muhajirun, Natar, Lampung Selatan pada Sabtu (23/11).
Dalam wawancara tersebut, Syeikh Anbar menyampaikan pentingnya pendidikan sebagai pilar utama dalam pembebasan Masjid Al-Aqsa. Ia menyoroti bagaimana pendidikan berbasis Al-Qur’an mampu membangun ketahanan spiritual dan intelektual masyarakat, terutama di tengah situasi konflik yang berkepanjangan.
Syeikh Anbar juga menekankan, Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tetapi juga sumber inspirasi dan pedoman hidup untuk membangun kekuatan moral, sosial, dan perjuangan menuju kebebasan.
Melalui wawancara tersebut, Syeikh Anbar mengajak umat Islam di seluruh dunia untuk mendukung perjuangan rakyat Gaza, baik melalui doa, bantuan nyata, maupun melalui upaya memperkuat pendidikan Islam. Ia menekankan, pendidikan adalah kunci untuk membangun generasi yang kuat, tangguh, dan mampu melanjutkan perjuangan demi keadilan dan kebebasan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Berikut kutipan wawancaranya:
MINA: Seberapa penting pendidikan bagi pembebasan Masjid Al-Aqsa?
Syeikh Anbar: Pendidikan memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu upaya strategis untuk pembebasan Masjid Al-Aqsa. Melalui pendidikan, umat Islam dapat memahami keutamaan Masjid Al-Aqsa sebagai salah satu tempat suci yang memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah dan agama Islam.
Masjid Al-Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam, tempat berlangsungnya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, serta kawasan yang diberkahi sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Dengan memahami hal ini, pendidikan membangkitkan kesadaran akan pentingnya melindungi dan membebaskan Masjid Al-Aqsa dari penjajahan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Lebih dari itu, pendidikan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan yang terinspirasi dari sejarah Islam. Salah satu contoh utama adalah perjuangan Salahuddin Al-Ayyubi dalam membebaskan Baitul Maqdis dari penjajahan. Salahuddin menanamkan pentingnya iman dan ilmu dalam perjuangan dengan memilih tentara yang hafal Al-Qur’an dan memiliki pemahaman agama yang kuat. Keputusan ini menunjukkan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan agama, menjadi fondasi utama yang memperkuat moral, spiritual, dan intelektual para pejuang.
Pendidikan tidak hanya membentuk pemahaman, tetapi juga membangun kesadaran umat Islam untuk bersatu dalam membela dan memperjuangkan Masjid Al-Aqsa. Dengan belajar sejarah, umat Islam memahami akar permasalahan yang dihadapi dan langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasinya. Pendidikan juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai keberanian, pengorbanan, dan semangat membela kebenaran, sebagaimana yang dicontohkan oleh para pejuang Islam terdahulu.
Oleh karena itu, pendidikan adalah kunci dalam membentuk generasi yang tidak hanya memahami nilai-nilai spiritual dan sejarah Masjid Al-Aqsa, tetapi juga mampu menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi aksi nyata dalam upaya pembebasannya. Melalui pendidikan yang terarah dan berbasis nilai-nilai Islam, umat Islam dapat terus berjuang, berkontribusi, dan berdoa untuk terwujudnya pembebasan Masjid Al-Aqsa sebagai salah satu cita-cita mulia dalam sejarah Islam.
MINA: Bagaimana kondisi pendidikan di Palestina sebelum 7 Oktober?
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Syeikh Anbar: Pendidikan di Gaza sebelumnya berjalan normal, mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, layaknya di wilayah lain. Anak-anak mendapatkan pendidikan dasar, belajar membaca, menulis, dan mata pelajaran lainnya, sementara siswa tingkat menengah mempelajari kurikulum yang lebih kompleks.
Perguruan tinggi di Gaza menjadi tempat ribuan mahasiswa mengejar pendidikan di berbagai bidang, seperti teknologi, kedokteran, dan ilmu sosial. Meski menghadapi tantangan besar, masyarakat Gaza menjadikan pendidikan prioritas utama untuk membangun masa depan yang lebih baik dan menghadapi berbagai kesulitan yang ada.
MINA: Apakah masih ada kegiatan belajar mengajar setelah 7 Oktober?
Syeikh Anbar: Setelah 7 Oktober, Zionis melakukan serangan besar-besaran yang menghancurkan sekolah, universitas, dan seluruh fasilitas pendidikan di Gaza. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar di sekolah formal, mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah, terhenti sepenuhnya karena bangunan-bangunannya hancur lebur. Meski demikian, pendidikan di tingkat perguruan tinggi masih tetap berlangsung secara daring, melibatkan sekitar 1.100 mahasiswa yang terus berusaha melanjutkan studi mereka di tengah situasi sulit.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Serangan ini adalah bagian dari strategi untuk melemahkan semangat perlawanan masyarakat Palestina, karena penjajah menyadari bahwa pendidikan adalah senjata utama yang dapat memberdayakan rakyat Gaza dan membangkitkan perjuangan melawan penjajahan.
Meski situasinya sangat sulit, upaya pendidikan di tingkat dasar dan menengah tetap dilakukan secara terbatas, meskipun tidak lagi terikat pada sistem formal seperti madrasah atau sekolah reguler. Anak-anak belajar di tenda-tenda pengungsian dengan fasilitas seadanya, hanya untuk memastikan mereka tidak sepenuhnya kehilangan akses terhadap pendidikan. Sukarelawan dan sejumlah individu yang memiliki ilmu pengetahuan menjadi penggerak utama dalam memberikan pendidikan darurat ini.
Di tengah keterbatasan, masyarakat Gaza menunjukkan tekad luar biasa untuk tetap memberikan pendidikan bagi generasi mudanya. Proses belajar di tenda-tenda pengungsian bukan hanya sekadar aktivitas akademik, tetapi juga cara untuk menjaga harapan, semangat, dan identitas anak-anak Gaza agar tetap hidup. Ini menjadi bukti bahwa meskipun dihancurkan secara fisik, semangat untuk belajar dan melawan penindasan tidak dapat dipadamkan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin