Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wawancara Khusus MINA dengan Profesor Matematika di Gaza

Admin - Senin, 4 Januari 2016 - 22:55 WIB

Senin, 4 Januari 2016 - 22:55 WIB

565 Views ㅤ

tim Mina Gaza dengan Profesor Abdussalaam. (Dok: Mirajnews.com)

matematika.jpg" alt="tim Mina Gaza dengan Profesor Abdussalaam. (Dok: Mirajnews.com)" width="1024" height="678" /> Tim MINA Gaza sedang mewawancarai Profesor Abdussalaam. (Dok: Mirajnews.com)

Jalur Gaza, 25 Rabiul Awwal 1437/4 Januari 2015 (MINA) – Penjajahan, Blokade, pembantaian, krisis kemanusiaan dan berbagai kisah penderitaan dan memilukan lainnya adalah bagian yang tak terpisahkan ketika kita membicarakan Jalur Gaza.

Konflik tak berujung antara Palestina dan Israel seolah menjadi menu pemberitaan utama sehari-hari bagi konsumen berita di seluruh belahan dunia. tidak sedikit dari kita terkadang “lelah” mendengar kisah-kisah pilu yang menimpa warga Palestina khususnya Jalur Gaza.

Namun tahukah Anda bahwa ada hal-hal menarik yang tidak banyak orang ketahui tentang kehidupan warga Palestina khususnya di bidang akademis dan pendidikan? Tahukah Anda bahwa Palestina adalah negara dengan tingkat buta huruf terendah di Timur Tengah? Tahukah Anda bahwa Palestina memiliki sejumlah universitas bertaraf internasional?

Berikut kami sajikan wawancara eksklusif tim Kantor Berita Islam Miraj (Mi’raj Islamic News Agency – MINA) di Gaza dengan seorang profesor Matematika yang juga Rektor Universitas Al-Aqsha, salah satu universitas negeri Palestina berbasis di Gaza, Ahad (3/1), di kediaman beliau di Bait Lahiya, Jalur Gaza Utara dalam membahas sisi lain dunia akademik di Palestina;

Baca Juga: Israel Perpanjang Penutupan Media Al-Jazeera di Palestina

Silahkan Profesor perkenalkan diri Anda serta latar belakang pendidikan Anda?

Perkenalkan, Nama saya Abdussalaam Utsman Hasan Abu Zaida, usia 52 tahun, ayah dari dua putra dan empat putri, tinggal di Desa Glebo, Bait Lahiya, bertetangga dengan Rumah Sakit Indonesia. Keluarga kami sendiri aslinya berasal dari sebuah desa bernama Breir yang berjarak 17 km dari Jalur Gaza.

Saya tumbuh besar di sebuah kamp pengungsian Palestina di Kota Jabaliya, mengenyam pendidikan SD, SMP dan SMA di daerah tersebut. pendidikan Strata 1 (S1) jurusan Matematika saya tempuh sebagian di Universitas Islam Gaza pada tahun 1985 yang pada dua tahun kemudian tepatnya tahun 1987 ditutup bersamaan dengan aksi Intifadhah Palestina Pertama, kemudian saya menyelesaikan sebagian masa pendidikan S1 saya tersebut di Universitas Tripoli di Libya.

Adapun gelar Master (S2) yang juga jurusan Matematika, saya dapatkan di Universitas Islam Gaza pada tahun 1998, kemudian gelar Doktoral (S3) jurusan Teknin Matematika, saya selesaikan di Universitas Ain Assyams di Mesir yang dilanjutkan dengan penulisan berbagai makalah ilmiah hingga pada tahun 2010 saya mendapatkan gelar Profesor di bidang Matematik.

Baca Juga: Australia, Selandia Baru, dan Kanada Desak Gencatan Senjata di Gaza

Saat ini saya merupakan salah satu dosen di Universitas Al-Aqsha milik pemerintah, dan sejak empat bulan terakhir saya telah diangkat menjadi rektor di universitas tersebut.

Bagaimana Anda dan warga Palestina lainnya bisa mencapai prestasi yang begitu tinggi sebagaimana Anda dapatkan saat ini, padahal kita tahu kalian berada di wilayah yang tidak kondusif?

Sejujurnya, berbagai kejadian sulit yang kita alami dan berbagai tantangan besar yang selalu kami temukan di hadapan kami sebagai warga Palestina yang terjajah pada dasarnya adalah motivasi tersendiri untuk kami dalam melanjutkan bebagai tingkatan pendidikan. Kami merasa tertantang untuk terus belajar, tertantang untuk menambah wawasan kami yang mana hal tersebut berdampak besar dalam kehidupan kami sehingga kami mencapai pada titik dan level yang sama dengan tantangan itu sendiri.

Apakah rintangan terbesar bagi Anda dalam menyelesaikan pendidikan di Palestina?

Baca Juga: Sebanyak 35.000 Warga Palestina Shalat Jumat di Masjid Al Aqsa

Saya melihat ada dua hal yang menjadi rintangan terbesar, dan dua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pertama adalah “penjajahan”, yang berdampak pada bebasnya para penjajah untuk menghadirkan rintangan-rintangan lainnya kepada kami dalam usaha mendapatkan hak mengenyam pendidikan, blokade yang dipaksakan kepada kami warga Palestina, pelarangan keluar wilayah Gaza untuk belajar dan berbagai kezaliman lainnya.

Rintangan yang kedua, tidak lepas dari dampak sebuah penjajahan juga yaitu “kesulitan materi” yang kami alami, di mana khususnya saya yang terlahir dan besar di tengah tengah keluarga miskin dan tak berkecukupan yang sering kali menghambat perjalanan kami dalam mengenyam pendidikan.

Dari berbagai bidang pendidikan, kenapa Anda memilih untuk mendalami matematika?

Bagi saya (sambil tersenyum), ada hubungan “cinta” yang mendalam antara saya dengan matematika. Saya melihat matematika adalah ilmu yang sangat unik karena ia selalu mencampuri seluruh urusan di kehidupan dan aktivitas kita. Saat anda berjalan anda tidak lepas dengan ilmu matematika, juga ketika makan, ketika sholat bahkan ketika anda mengesakan Allah maka anda akan menemukan fungsi matematika di dalamnya.

Baca Juga: Pasukan dan Tank Israel Kembali Merangsek Masuk Gaza Selatan

Di seluruh sendi-sendi kehidupan, kita akan dapatkan ilmu matematika. Maka benarlah mereka yang mengatakan “ilmu matematika adalah ibunya para ilmu”. Dan sebagiamana saya juga sering sampaikan ide ini kepada mahasiswa saya di kampus, saya terobsesi untuk bisa menguasai ilmu matematika dan berharap dengan matematika ini kita bisa bermanfaat untuk umat manusia khususnya umat Islam dengan penerapan-perapan teorinya di alam nyata.

Seperti apa contoh dari penerapan-penerapan teori matematika di dunia nyata yang berusaha Anda terapkan ?

Banyak sekali program-program terutama komputer yang sangat bergantung terhadap ilmu matematika, terutama apa yang dinamakan dengan “coding theory“. Teori pengkodean yang banyak sekali digunakan dalam berbagai program yang berkaitan dengan pengkodean. Teori ini mengizinkan penggunanya untuk menyembunyikan atau menampakan kode-kode tertentu dalam program tertentu. Sebuah pekerjaan memiliki tingkat kerahasiaan yang tinggi akan sangat tergantung oleh teori semacam ini.

Selain itu juga, dalam ilmu ekonomi sangat dibutuhkan perhitungan dan ilmu matematika semacam ini, terutama perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang ekonomi baik mikro maupun makro. Bahkan seluruh program yang anda ketahui dalam sebuah komputer pada dasarnya adalah kumpulan kode-kode yang diciptakan oleh para ilmuwan matematika.

Baca Juga: Relawan MER-C Akhirnya Capai RS Indonesia di Gaza Utara

Tidak hanya itu, ilmu pengkodean dalam matematika juga banyak digunakan dalam pekerjaan teknik, kehidupan fisika, kimia dan yang tidak kalah penting adalah penggunaan matematika dalam ilmu pembagian harta waris.

Pernahkan Anda benar-benar menerapkan teori-teori matematika tersebut dalam dunia nyata selama Anda berada di Jalur Gaza?

Sejujurnya, Sejauh ini saya belum menemukan kesempatan untuk bisa menerapkan teori-teori yang telah saya pelajari dan yang telah saya temukan, akan tetapi saya sendiri telah menyebarkan sejumlah penelitian terkait ilmu pengkodean matematika yang sesungguhnya bisa diterapkan dan bermanfaat di alam nyata. Dan yang sangat saya sayangkan di sini, di Jalur Gaza sampai saat ini teknologi kami masih sangat terbatas kami tidak memiliki tempat untuk menerapkan hal hal semacam ini.

Anda sebagai rektor sebuah Universitas negri di Palestina, mungkin bisa ceritakan bagaimana geliat universitas-universitas di negara ini?

Baca Juga: Houthi Yaman: Serangan Israel Tak Dapat Cegah Operasi Kami

Secara garis besar, universitas di Palestina terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, universitas khusus, yang memiliki peraturan khusus dan organisasinya bersifat profit. Kedua, universitas umum yang kurikulumnya berada di bawah pengawasan dewan pendidikan tertinggi pemerintah Palestina dan yang ketiga adalah universitas negeri, seperti universitas Al-Aqsha tempat saya beraktivitas yang semua kebijakannya diatur oleh pemerintah.

Sebagaimana universitas di berbagai wilayah lainnya di dunia, universitas-universitas di Palestina juga memiliki berbagai macam jurusan dan bidang yang memiliki standar internasional. sejumlah universitas besar di Palestina bahkan memiliki segudang prestasi yang membuat mereka bersaing di kancah internasional.

Universitas Islam Gaza di Jalur Gaza dan Universitas Annajah di Tepi Barat sebagai contoh. Kedua universitas tersebut memiliki puluhan staf setingkat profesor yang berbagai riset ilmiahnya tersebar dan diakui bahkan banyak diterapkan oleh dunia internasional, sebagaimana kedua universitas tersebut juga menempati urutan tinggi di kalangan yayasan akademis negara-negara Arab dan dunia internasional.

Sayangnya, kemajuan dan perkembangan sejumlah universitas besar di Palestina ini harus tersendat oleh kendala terbesar bernama blokade khususnya di Jalur Gaza. Di antara rintangan yang paling dirasakan langsung akibat blokade berkepanjangan ini adalah krisis pendanaan universitas-unversitas tersebut. Kita semua tahu bahwa pendanaan yang sehat adalah sebab utama suksesnya berbagai macam program dalam sebuah universitas. Akan tetapi, Alhamdulillah, dibalik keterbatasan dana yang melanda, universitas-universitas ini terus mampu berkembang dengan modal usaha, kerja keras, keinginan dan kegigihan untuk terus maju di tengah-tengah keterpurukan kondisi mereka.

Baca Juga: Seorang Tentara Israel Tewas dan Dua Terluka di Gaza Selatan

Dengan keinginan inilah mereka menemukan jalannya untuk mencapai sejumlah prestasi. Dan kami terus berusaha dengan keterbatasan ini untuk bisa mengakhiri blokade Zionis Israel atas Jalur Gaza.

Anda sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi dalam dunia akademik, apakah ambisi Anda setelah ini?

Sejujurnya, saya belum merasa puas terhadap apa yang saya dapatkan. Jauh sebelum saya menjadi seorang profesor di bidang matematik, saya memiliki ambisi lain yaitu mendalami ilmu syar’i. bahkan saat saya sedang berada di Libya untuk menyelesaikan S1, saya sempat berusaha mendaftarkan diri di Universitas Islam di Arab Saudi dan berniat mengambil jurusan Agama. Akan tetapi kondisi saat itu tidak memungkinkan.

Maka dari itu, sudah lama saya merencanakan untuk mendaftar di Universitas Islam Gaza dan memulai kembali perjalanan pendidikan saya dari bawah lagi dengan mengambli jurusan Syariah Islam. Akan tetapi yang jadi kendala saat ini adalah penyakit tulang punggung yang sedang saya derita sehingga sedikit menghambat rencana ini, dan saya terus berdoa semoga Allah segera menyembuhkan saya.

Baca Juga: Kelompok Pemuda Turkiye Gambarkan Penderitaan Palestina Lewat Drama Teater

Apakah Anda berniat menyelesaikan pendidikan syariah Islam Anda hingga level tertinggi sebagaimanaAnda menyelesaikan pendidikan matematika?

Ambisi saya bukanlah secarik kertas atau sertifikat. Kalau pun saya kelak menapaki pendidikan di bidang syariah Islam, saya hanya ingin agar diri saya bisa berguna dan bermanfaat untuk umat.

Saya bercita-cita untuk bisa menjadi da’i di berbagai majelis taklim di masjid-masjid, seminar keislaman dan sebagainya. Lebih dari itu, saya ingin agar menyampaikan kepada masyarakat perihal keterkaitan dan hubungan antara ilmu ilmu syar’i dengan apa yang telah saya pelajari di bidang matematika.

Benarkah kabar yang mengatakan bahwa Palestina adalah negara terpelajar tertinggi di kalangan negara-negara Arab? Apa penyebabnya?

Baca Juga: Tanggapi Pidato Netanyahu di Kongres AS, Keluarga Tahanan Israel Beri Kecaman

Ya, benar. Hal ini lah yang selama ini menjadi salah satu kebanggaan kami, di mana warga Palestina memiliki nilai rata-rata buta huruf terkecil di antara negara-negara Timur Tengah.

Mengapa bisa terjadi? Karena kami warga Palestina tidak melihat jalan lain selain belajar. Seluruh akses keduniawian tertutup akibat penjajahan dan blokade. Warga Palestina melampiaskan minimnya kemungkinan mereka untuk bergerak dengan menghabiskan waktu untuk belajar dan belajar. Maka dari itu tidak herang mengapa Palestina memilik banyak sekali akademisi bergelar tinggi dan menjadi negara dengan tingkat buta huruf terendah di Timur Tengah.

Lantas, apa peran para akademisi Palestina tersebut dalam perjuangan melawan penjajahan di negeri ini?

Jawabanya adalah para akademisi ini memilki peran yang sangat mendasar dan komprehensif dalam mengakhiri penjajahan. Peran mereka yang paling utama adalah mempersiapkan generasi masa depan. Di antaranya generasi para dokter, insinyur, mujahidin, tentara, komandan perang, pemikir, dan lain-lain yang mana semua itu adalah produk para dosen dan pengajar di yayasan pendidikan tinggi seperti universitas.

Baca Juga: Pejabat Hamas: Pidato Netanyahu Adalah Pesta Kebohongan 

Peran lainnya para akademisi ini adalah pencari solusi dari berbagai krisis yang melanda negeri ini. Sebenarnya Bukan hanya di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, ketika sebuah negara mengalami krisis maka mereka akan mengembalikan persoalan kepada para akademisi, para dosen kampus dan para ahli di bidangnya. Maka dari itu mereka memiliki peran yang sangat penting.

Pesan Anda sebagai profesor untuk dunia dan Indonesia secara khusus?

Untuk dunia saya katakan, inilah kami warga Palestina, warga yang hidup, memiliki kemampuan, generasi yang jenius yang mampu bersaing dengan dunia luar. Kami berharap dunia tersadar bahwa mereka memiliki kewajiban untuk membantu warga Palestina untuk lepas dari kezaliman yang terjadi sejak 1948 di negara ini dan bekerjasama dalam menghentikan penjajahan. Ini adalah hal yang prinsipil bagi kami.

Adapun untuk warga Indonesia yang kami sayangi, saudara-saudara kami tercinta yang telah meninggalkan jejak yang bersejarahnya di sekitar desa-desa dan kamp pengungsian kami berupa Rumah Sakit Indonesia, yang tiap hari bisa saya saksikan dari rumah saya. Warga Indonesia yang setiap kami lihat, tidak tampak kecuali rasa cinta, persaudaraan dan solidaritas untuk kami warga Palestina atas segala permasalahan yang menimpa kami, maka rasa hormat kami untuk warga Indonesia.

Kami sangat bersyukur dan mengapresiasi segala bentuk kasih sayang yang telah Indonesia berikan kepada Kami. Kami berdoa kepada Allah agar bisa dipersatukan atas nama persaudaraan dan aqidah dengan warga Indonesia yang tidak pernah letih dalam memperhatikan kami dan Al-Quds.

Kami berdoa agar kita bisa bersatu dan menunaikan shalat berjamaah di masjid Al-Aqsha tercinta dalam keadaan terbebas dengan Izin Allah.

Pertanyaan terakhir, apakah ada keinginan untuk berkunjung ke Indonesia?

Tentu saja ada. Bahkan sejak saya mengenal warga Indonesia dan para relawan Indonesia yang bekerja sukarelawan di wilayah kami, saya menjadi berambisi untuk bisa mengunjungi indonesia untuk bisa berbagi pengalman, berdiskusi di universitas-universitas di I(ndonesia dan bertemu dengan para saudara-saudara kami tercinta di sana. (L/K0/Reza/R05)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Palestina
Dunia Islam
Dunia Islam