Jakarta, MINA – OIC Youth Indonesia Strategic Research Society (OIC Youth Indonesia SRS) bekerja sama dengan Kantor Berita MINA mengadakan Webinar Internasional bertema “Myanmar dan Peran Indonesia dan Negara-Negara Asia Tenggara Dalam Merespon Konflik dan Relevansi Regional Multilateralism ASEAN.”
Webinar yang digelar secara virtual pada Sabtu malam (8/5) mendapat antusias sangat tinggi dari peserta webinar, hal ini dapat dilihat dari keaktifan para peserta webinar dalam menanggapi dan memberikan ide untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di negara Myanmar.
Acara ini dipandu oleh Madhyasta Budi Pradhana, pengurus OIC Youth Indonesia SRS, dan dimoderatori Widi Kusnadi, Editor Kantor Berita MINA.
Sementara itu hadir menyampaikan kata sambutan yakni Sekretaris Jenderal OIC Youth Indonesia Sarief Saefulloh, Tantan Taufiq Lubis (Ketua Indonesia National Youth Council dan Wakil Presiden ICYF), dan Dr. Viva Yoga Mauladi – Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Sekjen OIC Youth Indonesia Sarief Saefulloh mengharapkan dalam webinar ini dapat meningkatkan solidaritas Antar-negara ASEAN terutama di kalangan pemuda untuk menghadapi Konflik Myanmar.
“Webinar ini penting guna meningkatkan kesadaran kepada para pemuda pentingnya peka terhadap masalah multilateral dimana juga akan mempengaruhi situasi domestik,” kata Sarief.
Wakil Presiden Islamic Cooperation Youth Forum (ICYF) Tantan Taufiq Lubis menekankan peran Indonesia dalam memberikan solusi untuk konflik Myanmar sanagt penting dalam meningkatkan integritas ASEAN. Untuk itu, dia mendorong pemerintah Indonesia dalam mengambil langkah prioritas dalam menangani konflik Myanmar.
“Solidaritas dan dukungan dunia internasional bagi rakyat di Myanmar sangatlah penting. Untuk itu, kita semua perlu memperkuat hubungan, komunikasi, serta bersama-sama memikirkan solusi dalam menyikapi masalah ini. Jangan lupa, bahwa tugas kita adalah membawa perdamaian di dunia,” kata Tantan Taufiq Lubis.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Sementara Dr. Viva Yoga Mauladi, Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, mengatakan perkembangan demokrasi di dunia selalu dihadapkan dengan pemerintahan otoriter militer.
“Dengan kondisi saat ini, Myanmar akan mengarungi langkah-langkah yang panjang dalam arus demokrasi, dan perkembangan demokrasi di Myanmar selalu dihadapkan dengan Junta Militer. Jika tidak ada perubahan secara drastis terutama di dalam konstitusinya, itu tidak akan tercapai sebuah negara yang betul-betul demokratis,” katanya.
Untuk itu, lanjut Viva, perlunya dalam webinar ini mempelajari efektivitas Organisasi ASEAN dalam menangani konflik Asia Tenggara dan memberi kritikan dalam meningkatkan multilateralisme antar-negara di Asia Tenggara.
Adapun pemateri pada diskusi tersebut yakni; Syaroni Rofii, Ph.D (Ketua Rumah Perdamaian Universitas Indonesia), Dr. O.K Ikhsan (Pengamat Politik Internasional Universitas Utara Malaysia), Mohamad Asruchin (Mantan Duta Besar RI untuk Uzbekistan), Syaefullah Muhammad (Diaspora Rohingya Myanmar di Kanada), Bibi Zaleha Zurkiple (Majelis Belia Malaysia), dan Rifa Berliana Arifin (Wartawan Senior Kantor Berita MINA).
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Pada pemaparannya, Syaroni Rofii menyamapaikan Bangsa Indonesia memiliki peranan penting di wilayah Asia Tenggara. Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara yang lebih dahulu merdeka.
“Indonesia memiliki peran dalam memastikan sentralitas atau kesatuan ASEAN, sehingga diharapkan Indonesia berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar,” kata Syaroni.
Sementara Rifa Berliana Arifin mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini Myanmar melalui pasang surut demokrasi sehingga dikategorikan sebagai hybrid regime, yang menggabungkan unsur otokratis dan demokratis dalam pemerintahannya.
Rifa menyoroti, prinsip non-interferensi ini tidak sedikit mendapatkan kritik dari berbagai pihak karena pada akhirnya kebijakan atau langkah yang diambil ASEAN terkesan normatif, seperti sebatas mengecam atau melakukan dialog.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Salah satu prinsip ASEAN yakni mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota ASEAN. Kemudian menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan pelindungan hak asasi manusia, serta pemajuan keadilan sosial.
“Prinsip non-intervensi yang merupakan prinsip fundamental ASEAN, menjadi salah satu dilemma bagi negara-Negara di Asia Tenggara untuk menegakkan keadilan atas kondisi kritis yang sedang terjadi di Myanmar maupun negara Asia Tenggara lain,” katanya.
Dia mencatat, dalam kudeta yang terjadi di Myanmar oleh Junta Militer ini justru menjadi momen lahirnya solidaritas warga sipil Myanmar bagi warga Rohingya akibat kekerasan Junta Militer. “Warga Myanmar saat ini bisa merasakan bagaimana junta Militer melakukan tindakan represif yang sama seperti pada etnis Rohingya,” pungkas Rifa.
Kekerasan telah meningkat sejak kudeta dan pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan lebih dari 760 warga sipil, kata kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Junta militer membantah angka tersebut dan mengatakan 24 polisi dan tentara Myanmar tewas dalam protes tersebut.(L/R1/P2)
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan