Jakarta, 18 Dzulqa’dah 1437/21 Agustus 2016 (MINA) – Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Abdul Djamil angkat bicara soal 177 warga negara Indonesia yang ditahan di Pilipina karena menggunakan paspor Filipina untuk berhaji ke Tanah Suci.
Ia mengatakan bahwa pelanggaran aturan imigrasi tersebut bukan ranah Kementerian Agama RI, namun ia menghimbau masyarakat untuk mengikuti peraturan atau regulasi yang ada di Indonesia jika ingin pergi melaksanakan ibadah haji.
“Kalau mau berangkat haji, ikutilah jalur yang semestinya, sehingga terjamin dari aspek keberangkatannya, perlindungannya, bimbingannya, dan pelayanannya,” ujar Abdul Djamil dalam keterangan tertulis yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA) dari Kantor Urusan Haji, Jeddah, Sabtu (20/8) waktu setempat.
Ia mengakui, bahwa antrian untuk pemberangkatan ibadah haji saat ini cukup panjang. Untuk Sulawesi Selatan saja waktu tunggu mencapai 31 tahun, serta di Kalimantan Selatan mencapai 28 tahun.
Baca Juga: Gencatan Senjata Tercapai di Gaza, ARI BP Potong Nasi Tumpeng
Abdul Djamil mengatakan, antrian seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di negara lain ada antrian yang mencapai 50 tahun.
Antrian haji menurut Abdul Djamil tidak bisa dihindari karena terkait kapasitas Tanah Suci, Armina, dan Masjidil Haram yang terbatas. “Kalaulah saat ini Majidil Haram selesai diperluas, namun masalahnya adalah di Mina yang tidak diperluas karena batas-batasnya sudah ditentukan secara syariah,” katanya.
“Saya imbau kalau ingin berhaji silahkan daftar sedini mungkin. Sebab, hingga sekarang antara kuota dan peminat haji belum berimbang dan itu tidak hanya di negeri kita,” tandasnya.
Sebanyak 177 WNI menggunakan paspor Filipina agar bisa berangkat haji. Kini mereka masih tertahan di Filipina dan akan segera dideportasi ke tanah air.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Sabtu Ini Diguyur Hujan Intensitas Ringan
Dilaporkan media lokal Filipina, Manila Bulletin, Sabtu (20/8/2016), Komisioner Biro Imigrasi setempat, Jaime Morente mengatakan, mereka saat ini ditahan di pusat penahanan imigrasi di Camp Bagong Diwa, Taguig City, pinggiran Manila.
Menurut Morente, Paspor-paspor Filipina yang digunakan merupakan dokumen paspor asli, namun cara mendapatkannya ilegal.
Menurut informasi, para WNI membayar US$ 6 ribu – US$ 10 ribu (Rp 78 juta – Rp 131 juta) per orang untuk mendapatkan paspor Filipina.
Diduga kuat, paspor Filipina itu disediakan oleh lima warga Filipina yang mendampingi mereka. Kelimanya diyakini sebagai sindikat pemalsu paspor dan telah ditahan oleh Biro Investigasi Nasional (NBI) untuk diselidiki lebih lanjut.
Baca Juga: Ibunda Mahfud MD Meninggal Dunia
Imigrasi setempat berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri Filipina dan badan penegak hukum lainnya serta KBRI dalam rangka penyelidikan kasus penerbitan paspor Filipina untuk para WNI ini. (L/M09/P2)
Mi’raj Islamc News Agency (MINA)
Baca Juga: Dubes UEA Sambut Baik Kerja Sama dengan MUI DKI Jakarta