Jakarta, MINA – Pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS atau Rp 840 miliar dari Norwegia untuk keberhasilan Indonesia dalam menekan angka deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ini harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan.
“Arahan Presiden Joko Widodo agar dana ini digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat.” Demikian Yayasan Madani Berkelanjutan dalam keterangan yang diterima MINA, Sabtu (30/5).
Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pencapaian target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya – termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat/lokal – agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas.
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.
Demikian disampaikan Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi satu dekade kerja sama pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Setelah satu dekade melalui fase persiapan dan transformasi, tahun ini Indonesia memasuki fase pembayaran berbasis hasil yang ditandai dengan pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2016-2017 sebesar 11,2 juta ton CO2e.
Dana tersebut akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang resmi diluncurkan pada Oktober tahun lalu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia tahun 2018-2019 yaitu 465,5 ribu hektare dan angka deforestasi bersih (netto) sebesar 462,4 ribu hektare.
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan
Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia.
“Kemitraan yang setara dan saling menghormati ini harus dilanjutkan dan diperkuat dengan lebih menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan terhadap dan hak-hak masyarakat adat dan lokal terhadap hutan dan sumber daya alam,” tambah M. Teguh Surya.
Sementara Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri Permatasari, menyatakan, untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam Kemitraan tersebut, berbagai kebijakan korektif yang sangat penting harus dilakukan.
Seperti penghentian pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, penundaan dan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit, perhutanan sosial – termasuk pengakuan hutan adat -, penyusunan peta jalan untuk mencapai komitmen iklim (Roadmap NDC), serta implementasi peraturan perlindungan ekosistem gambut harus dilanjutkan dan lebih diperkuat lagi karena meskipun deforestasi Indonesia telah berkurang, angka tersebut masih berada di atas ambang batas untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yakni maksimal 450 ribu hektare/tahun sebelum tahun 2020 dan maksimal 325 ribu hektare per tahun dalam periode 2020-2030.
Baca Juga: AWG Gelar Dauroh Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid Terbesar Lampung
“Artinya, Indonesia masih memiliki PR cukup besar untuk memenuhi komitmen dan target yang telah ditetapkannya sendiri. Belum lagi tantangan atau bahkan ancaman yang datang dari upaya legislasi yang berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi, yakni RUU Cipta Kerja, yang berpotensi membuat Indonesia gagal mencapai komitmen iklimnya,” tutur Anggalia.
Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama periode 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada periode 2014-2015, yakni saat momentum politik Pemilihan Umum.
Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, menjelaskan, secara kumulatif, deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Provinsi Riau (1,8 juta hektare), disusul Kalimantan Tengah (1,4 juta hektare), Kalimantan Timur (1,2 juta hektare), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektare). Sementara itu, hutan alam tersisa Indonesia pada 2018 paling luas terdapat di Provinsi Papua (24,9 juta hektare), Papua Barat (8,8 juta hektare), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektare), Kalimantan Timur (6,5 juta hektare), Kalimantan Utara (5,6 juta hektare), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektare).
“Meskipun hutan alam yang tersisa terlihat luas, hutan alam di luar PIPPIB dan PIAPS yang belum dibebani izin/konsesi (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, perkebunan sawit, migas, dan minerba) sesungguhnya sangat kecil, yakni hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa di tahun 2018, yang terluas berada di Papua (1,3 juta hektare), Maluku (912 ribu hektare), NTT (857 ribu hektare), Kalimantan Tengah (855 ribu hektare), Sulawesi Tengah (821 ribu hektare), Kalimantan Timur (586 ribu hektare), dan Maluku Utara (581 ribu hektare),” jelasnya.
Baca Juga: Embassy Gathering Jadi Ajang Silaturahim Komunitas Diplomatik Indonesia
M. Teguh Surya menambahkan, hutan alam dengan luas mencapai 9,5 juta hektare ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupannya agar tidak lenyap akibat perluasan izin/konsesi skala besar, yang akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia.
Dia juga mengatakan, kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dijadwalkan berakhir tahun depan harus diperpanjang serta diperluas cakupannya menjadi penghentian izin sawit ke seluruh area yang masih memiliki hutan alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
“Hal ini sangat penting agar sawit Indonesia dapat terlepas dari stigma deforestasi yang mencoreng citranya di pasar global,” pungkasnya.(L/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prabowo Klaim Raih Komitmen Investasi $8,5 Miliar dari Inggris