Oleh Yakhsyallah Mansur, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Firman Allah yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. al-Isra’: 1)
Yerusalem dalam bahasa Arab adalah Urshalim al-Quds atau Homya al-Quds, dan dalam bahasa Ibrani, Yerushalayim adalah kota yang diakui sebagai kota suci bagi penganut Islam, Yahudi, dan Kristen. Dalam bahasa Karen Amstrong, Yerusalem disebut sebagai “satu kota tiga iman.”
Nama Yerusalem dengan segala ejaan dan sebutannya (Yerusalem, Yerusalam, Salam, Salim, Ur Salem, dan Solom) berasal dari bahasa Kananit berarti suci dan damai. Nama kota ini telah berubah-ubah sesuai dengan kekuatan yang berhasil menguasainya. Perubahan nama tersebut secara kronologis adalah: Yerusalem, Ursalem, Yepus, Kota Daud, Yudes, Ary’il, Aelia, Capitolina, Baitul Makdis, atau al-Quds al-Syarif, dan sekarang pemerintah Israel menyebutnya Ursalem al-Quds.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Kota Yerusalem pertama kali dibangun oleh bangsa Yebosium, salah satu dari kabilah Arab kuno yang berasal dari Jazirah Arab sejak 30 abad sebelum kelahiran Nabi Isa ‘Alaihi Salam. Kota Salem atau Shalim diambil dari nama tuhan bangsa Yebosium dan nama pertamanya diabadikan dengan sebutan Lebos yang menunjukkan nama kabilah dan ini tercantum dalam kitab Taurat. Demikianlah, bangsa Arab mulai dari Kabilah Kan’an dan kabilah-kabilah lainnya selama berabad-abad mendiami kota ini.
Yerusalem menjadi pusat perhatian manusia setelah Nabi Daud ‘Alaihi Salam menguasainya dari orang Yebusum dan mulai mengembangkan kota ini menjadi ibukota kerajaannya. Sejak itu Yerusalem disebut Kota Daud atau YR Daud. Setelah Nabi Daud ‘Alaihi Salam wafat, Yerusalem diperintah oleh putranya Nabi Sulaiman ‘Alaihi Salam sehingga ada yang menghubungkan nama Shalim dengan Nabi Sulaiman ‘Alaihi Salam. Dari sinilah kemudian muncul kota Salomon atau Solomon yang berasal dari kata Sulaiman yang berarti manusia cinta damai.
Yerusalem terletak di garis bulan sabit, sebuah tempat paling subur di kawasan Timur Tengah. Walaupun tidak sesubur daerah-daerah lain pada garis itu. Yerusalem merupakan tujuan utama bagi berbagai kekuatan yang akan menguasai Kan’an (Palestina). Sepanjang sejarahnya, seluruh kekuatan yang menguasai Yerusalem lebih dahulu menguasai daerah-daerah sekitarnya seperti, Galelio, dan Damaskus di utara, pesisir Laut Tengah di barat, Mesir di selatan, dan Suriah di timur.
Yerusalem diambil alih dari bangsa Yubusin oleh Nabi Daud ‘Alaihi Salam disebabkan kenyataan bahwa pada hari-hari akhirnya, bangsa Yebusin diperintah oleh raja-raja yang zalim lagi musyrik serta selalu memusuhi Nabi Daud dan bangsa Israel.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Di bawah pemerintahan Nabi Daud ‘Alaihi Salam, bangsa Israel menjadi bangsa yang kuat. Allah meridlai kepemimpinan Nabi Daud ‘Alaihi Salam karena keimanannya, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an Surat Shad (38) ayat 26 yang artinya, ” Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Kerajaan Israel Raya mencapai zaman keemasannya di bawah kepemimpinan putranya, Nabi Sulaiman yang memerintah sekitar 970 – 930 SM. Nabi Sulaiman inilah yang membangun kembali Masjid al-Aqsha yang diklaim orang Yahudi sebagai Haikal Sulaiman (Solomon Temple atau Kuil Sulaiman) yang kemudian dikenal dalam sejarah Yahudi sebagai Haikal Sulaiman I.
Dalam sejarah Islam disebutkan, pondasi Masjid al-Aqsha sudah diletakkan sejak zaman Nabi Adam ‘Alaihi Salam. Dalam kurun waktu sekian lama, bangunan itu rusak dan runtuh dimakan waktu.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan, Masjid al-Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam yaitu Nabi Ya’kub ‘Alaihi Salam dan Nabi Daud ‘Alaihi Salam membangun ulang masjid itu dan disempurnakan oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihi Salam.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Setelah Nabi Sulaiman ‘Alaihi Salam wafat, Kerajaan Israel Raya terpecah menjadi dua bagian yaitu Kerajaan Israel di utara dengan ibukota Samaria dan Kerajaan Yudah di selatan dengan ibukotanya Yerusalem. Hampir semua raja yang memerintah kedua kerajaan tersebut merupakan raja-raja yang zalim dan selalu menentang kehendak Allah.
Pada masa kedua kerajaan Yahudi inilah, Allah mengutus para nabi untuk memberi peringatan kepada mereka, seperti Nabi Ilyas ‘Alaihi Salam, dan Nabi Ilyasa ‘Alaihi Salam di utara dan Nabi Irmia ‘Alaihi Salam di selatan. Namun para nabi ini mereka dustakan sehingga mereka ditimpa berbagai musibah dan dikalahkan oleh musuh-musuhnya sebagai azab dari Allah.
Kerajaan Israel di utara dihancurleburkan oleh Kekaisaran Assyria di bawah Kaisar Sargon II sekitar tahun 722 SM, sedang Kerajaan Yudah di selatan diporakporandakan oleh Kekaisaran Khaldia (Babilonia II) di bawah Nebukhadnezzar (Bukhtanashar) pada tahun 586 SM. Dalam serbuan ini Nebukhadnezzar ini, Yerusalem berikut Masjid al-Aqsha (Haikal Sulaiman) ikut dihancurleburkan. Inilah yang oleh sebagian ulama disebut dengan “Hukuman Pertama.” Nasib bangsa Israel di utara setelah kehancuran kerajaannya oleh Sargon II sampai sekarang tidak diketahui, sedangkan kehancuran kerajaan Yudah di selatan, mengawali apa yang dikenal dengan “Diaspora” (penyebaran) Yahudi dan “Perhambaan” di Babilonia.
Pada tahun 538 SM, Persia menaklukkan Khaldea dan Kaisar Cyrus Agung dari Persia mengijinkan orang-orang Yahudi kembali ke Palestina. Di bawah kepemimpinan para Nabi yang datang kemudian diantaranya, Nabi Uzair ‘Alaihi Salam bangsa Israel kembali ke Yerusalem dan membangun kembali Masjid al-Aqsha yang telah hancur luluh; bangunan suci ini kemudian dikenal dengan Haikal Sulaiman V.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Namun setelah itu, Kerajaan Yudah kembali dipimpin raja-raja yang menentang tuntunan Allah yang dibawa para rasul-Nya sehingga pada tahun 63 SM, Kerajaan Yudah kembali ditaklukkan oleh Kerajaan Romawi, termasuk Masjidil Aqsha mereka kuasai. Raja Horodes yang berada di bawah pengaruh Romawi memperluas dan memperindah masjid tersebut dan merubahnya menjadi tempat peribadatan mereka di pelataran Masjidil Aqsha (Haikal Sulaiman VI) itu.
Pada waktu itulah, Allah mengutus Nabi Yahya dan Nabi Isa ‘Alaihi Salam kepada bangsa Israel. Tetapi raja, para pendeta, dan hampir seluruh orang Israel menolak kedua utusan Allah itu. Bahkan mereka berniat membunuh kedua nabi tersebut, dan akhirnya mereka berhasil memenggal kepala Nabi Yahya ‘Alaihi Salam dan mengepung Nabi Isa ‘Alaihi Salam untuk menangkap dan membunuhnya sebelum dia diangkat Allah ke langit.
Karena perbuatan ini, Nabi Isa mengutuk orang-orang Yahudi sebagaimana tertulis di dalam kitab Injil, “Oh Yerusalem, Yerusalem! Kamu yang membunuh para nabi serta merajam mereka yang diutus kepadamu, sebagaimana saya selalu berusaha keras mengumpulkan anak-anakmu semua, sebagaimana seekor ayam melindungi anak-anaknya di bawah sayap tetapi kamu tidak menginginkan itu. Lihatlah rumahmu akan kamu tinggalkan dalam keadaan hancur lebur.” (Matt, 23: 37)
Ramalan Nabi Isa ‘Alaihi Salam bahwa Yerusalem akan mengalami kembali kehancurannya terbukti ketika Kaisar Titus dari Romawi memimpin penghancuran Yerusalem beserta Haikal Sulaiman II pada tahun 70 M serta mengusir semua bangsa Yahudi keluar Palestina, menyebar ke Eropa. Diaspora yang kedua ini berlangsung hampir selama 2000 tahun (dari tahun 70 M sampai dengan saat mereka kembali ke Palestina tahun 1948 M).
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Yerusalem di Masa Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Pada masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Yerusalem di awah kekuasaan Kerajaan Bizantium Kristen. Mereka tidak memperhatikan Masjidil Aqsha atau Haikal Sulaiman menurut orang Yahudi, bahkan mereka membangun bangunan suci lain di Yerusalem yaitu Kanisah al-Qiyamah (Gereja Hari Kebangkitan) di tempat yang dipercaya sebagai tempat penyaliban Kristis. Dengan demikian, selama 500 tahun sejak Haikal Sulaiman dihancurkan oleh Titus, bangunan itu tetap dalam bentuk puing-puing kehancuran, diabaikan oleh masyarakat terutama orang-orang Kristen yang waktu itu menguasai Yerusalem.
Allah sendiri yang mengingatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan bangunan suci Nabi Sulaiman ‘Alaihi Salam itu. Allah menamakan bangunan suci itu dengan Masjidil Aqsha, yang berarti Masjid yang jauh dan memperjalankan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengunjungi tempat tersebut dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. al-Isra’: 1)
Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut, umat Islam mendapat perintah shalat wajib sehari semalam lima waktu dan diperintahkan untuk mengarahkan kiblat shalat ke Baitul Maqdis. Kondisi shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis tersebut terus berlangsung hingga umat Islam hijrah ke Madinah. Setelah kurang lebih 16 hingga 17 bulan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tinggal di Madinah umat Islam diperintahkan oleh Allah memerintahkan uamt Islam mengalihkan kiblatnya ke Masjidil Haram.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Walaupun al-Qur’an tidak menyebut “Yerusalem” atau “Baitul Maqdis” tetapi ada hadits yang menyebut mengenainya. Menurut hadit shahih, di Yerusalem Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam naik ke Sidratul Muntaha (langit yang paling tinggi) pada saat Isra’ dan Mi’raj. Kota ini kemudian dibebaskan oleh tentara islam pada masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab, tahun 638 M, Umar bin Khaththab secara pribadi pergi ke Yerusalem setelah mewakilkan kekhalifahan kepada Ali bin Abi Thalib, untuk menerima penyerahan Yerusalem dari Uskup Sofronius. Ketika datang waktu shalat, ditawarkan kepada beliau untuk shalat di gereja Holy Sepulcher tetapi menolak dan sebaliknya beliau meminta supaya dibawa ke Masjidil Aqsha. Beliau mendapati tempat itu terlalu kotor dan mengarahkan supaya dibersihkan. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dari kayu di tempat sekarang merupakan kompleks bangunan Masjidil Aqsha.
Enam tahun kemudian, Qubbah Shakhrah dibangun. Struktur ini terdiri dari sebuah batu yang dikatakan tempat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri sebelum naik ke langit pada waktu peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Perlu diketahui bahwa bangunan Qubbatus-Sakhrah yang kubahnya berlapis emas dan berbentuk oktagon (segi delapan) tidak sama seperti Masjidil Aqsha di sebelahnya.
Pada masa pemerintahan Islam terutama pada masa Dinasti Umaiyyah (650-750 M) dan Dinasti Abasiyyah (750-969M), kota Yerusalem berkembang pesat. Banyak orang berpendapat bahwa Yerusalem merupakan tanah paling subur di Palestina. Pada masa pemerintahan Islam juga terwujud sebuah toleransi kehidupan beragama di Palestina. Pemerintahan Islam memperbolehkan semua orang beribadah di Yerusalem tanpa memandang apakah Kristen, Yahudi atau Muslim. Namun ketika terjadi Perang Salib, dan pada tahun 1099 M tentara Kristen Eropa menguasai Yerusalem, mereka membunuh semua penduduknya baik itu Muslim, Yahudi, bahkan Kristen. Kemudian mereka menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Kerajaan Kristen Yerusalem (Kingdom of Jerusalem) dengan Godfrey sebagai raja yang pertama, dan menjadikan Masjidil Aqsha sebagai gereja.
Pada tahun 1187 M, Yerusalem kembali ke pangkuan umat Islam di bawah pimpinan Shalahuddin. Beliau membolehkan semua orang Islam, Kristen, dan Yahudi beribadah di Yerusalem sehingga toleransi kehidupan beragama tumbuh lagi di Yerusalem.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Jatuhnya kota Yerusalem ke tangan Islam sangat menggemparkan Eropa dan sekaligus membangkitkan kembali semangat umat Kristen untuk mengirim pasukan lebih kuat. Pengiriman ini merupakan ekspedisi yang ke sekian kalinya untuk melanjutkan Perang Salib yang telah berlangsung selama dua abad. Namun peperangan tersebut dapat dipatahkan oleh tentara Islam.
Sejak direbut kembali oleh Salahuddin al-Ayyubi, Yerusalem terus berada di bawah pemerintahan Islam. Pada tahun 1517, ketika Yerusalem di bawah kepemimpinan Dinasti Turki Utsmani, Sultan Sulaiman al-Qanuni membangun tembok di sekeliling kota Yerusalem seperti yang dapat kita saksikan hingga hari ini.
Ketika Eropa berhasil menaklukkan Turki Utsmani pada Perang Dunia I, mereka membagi-bagi wilayarh Turki kepada negara-negara yang terjun dalam perang tersebut, dan Yerusalem diserahkan kepada Inggris yang kemudian menyerahkannya kepada Zionis, sebuah organisasi Yahudi yang berkeinginan mengembalikan seluruh orang Yahudi ke Yerusalem. Sejak itu, berangsur-angsur orang Yahudi secara bergelombang memasuki kota Yerusalem dengan berbagai cara di bawah konspirasi Inggris-Amerika.
Pada tahun 1947, Amerika Serikat dan sekutunya sebagai pemenang Perang Dunia II yang menghadiahkan satu negara Isreael untuk orang Yahudi di Palestina dan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kotanya walaupun ditentang mayoritas masyarakat dunia.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
David Ben Gurion (1886-1973), Perdana Menteri Palestina negara Israel mengatakan, “Tiada arti Israel tanpa Yerusalem (al-Aqsha), dan tiada arti al-Quds tanpa Ha Mikdash (Kuil Yahudi)
Benyamin Netanyahu (salah seorang mantan Perdana Menteri Israel) berkata, “Al-Quds adalah ibu kota abadi bagi Israel dan akan terus kekal di bawah naungan pemerintahan bangsa Yahudi dan tidak boleh dibagi-bagi dengan orang lain.”
Dalam rangka menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mereka melakukan Yahudisasi kota tersebut dengan menjadikan Masjidil Aqsha sebagai sasaran kejahatan pertamanya. Di antara tindakan mereka, antara lain:
- 20 Agustus 1929. Kumpulan punggawa Yahudi Koch menyerbu Masjidil Aqsha untuk merampas tembok baratnya.
- 07 Juni 1967. Jenderal Mordichai memasuki kawasan al-Haram al-Syarif merampas bagian timur al-Quds serta mengambil kunci pintu masuk “al-Magharibah.”
- 16 Juni 1969. Rezim Zionis merampas bagian barat daya Masjidil Aqsha dan menjadikan tembok al-Buraq menjadi tembok “ratapan”.
- 20 Agustus 1969. Denis Rohan ekstrimis Yahudi dari Switzerland membakar Masjidil Aqsha.
- 11 Nopember 1979. Sekumpulan polisi Israel melepaskan tembakan ke arah Jamaah orang yang sedang shalat di Masjidil Aqsha sehingga menimbulkan banya korban dan orang yang cedera.
- 02 Juli 1988. Rezim Zionis melakukan usaha penggalian terowongan di bawah Masjidil Aqsha dan penggalian terowongan tersebut terus berlangsung sampai sekarang.
- 16 Oktober 2004. Melarang orang yang berumur di bawah 60 tahun memasuki Masjidil Aqsha untuk melakukan shalat selama bulan Ramadhan.
Apa yang dilakukan oleh rezim Zionis ini merupakan gambaran nyata dari firman Allah yang artinya, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (Q.S. al-Baqarah: 114)
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Wallahu a’lam bishawab.
(RS3/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!