Jakarta, 26 Syawwal 1437/31 Juli 2016 (MINA) – Pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani menegaskan bahwa jaringan masyarakat sipil sejak awal menolak eksekusi hukuman mati yang dilakukan pemerintah karena dinilai banyak kejanggalan.
Indonesia telah melakukan eksekusi gelombang ke-3 di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut YLBHI saat memberikan keterangan di kantornya di Jakarta Pusat, Ahad (31/7), pemerintah melakukan eksekusi di tengah banyaknya kejanggalan kasus para terpidana mati yang masuk dalam 14 daftar nama yang akan dieksekusi. Kejanggalan ini kemudian terkonfirmasi dengan keputusan menunda eksekusi 10 terpidana mati.
Kejanggalan lainnya, terdapat pelanggaran proses yang begitu nyata yang menunjukkan pemerintah melanggar setidaknya satu Undang-Undang dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma-Kun tak jadi Gugat ke MK
Namun, pemerintah tetap melakukan eksekusi terpidana mati yang jelas-jelas dilindungi dalam Pasal 13 UU Grasi. Tiga terpidana mati, Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddy Budiman sedang dalam proses permohonan grasi pada saat dieksekusi.
YLBHI mengatakan, keputusan itu tidak mengindahkan Paasal 13 UU Grasi yang melarang eksekusi dilakukan saat terpidana amti sedang mengajukan grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015.
“Kami tekankan bahwa pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan ada tenggat waktu dalam mengajukan grasi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi tidaklah mendasar, sebab berdasarkan putusan MK diatas, Pasal 7 ayat (2) UU Grasi telah dihapuskan,” kata Julius.
Selain itu, kata Julius, pemerintah sengaja menutupi segala informasi mengenai eksekusi mati, baik keluarga dan advokat tidak mendapatkan informasi pasti mengenai eksekusi mati, hal ini mengakibatkan hak para terpidana mati dipertaruhkan. Tidak ada daftar terpidana mati yang pasti sampai saat eksekusi, sehingga para terpidana mati tidak siap dalam melakukan upaya hukum yang masih tersedia.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Kamis Ini, Sebagian Berawan Tebal
Pemerintah juga dianggap melanggar ketentuan UU tentang notifikasi yang mengisyaratkan eksekusi dilakukan 3×24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi pada 26 Juli malam, sehingga eksekusi seharusnya dilakukan pada tanggal 29 Juli malam hari, nyatanya, eksekusi dilakukan pada 29 Juli dini hari.
Dalam rencana anggaran, eksksekusi dilakukan untuk 14 terpidana mati, membengkaknya anggara terpidana mati yang mencapai 7 miliar rupiah, tapi diberitakan sudah habis digunakan padahal kegiatan belum selesai, ini dipastikan terbuang sia-sia.
“Hal ini mengkonfirmasi kecurigaan kami bahwa anggaran eksekusi mati memang rawan pelanggaran dan penyelewangan yang diakibatkan kesengajaan-kesengajaan kesalahan prosedur, seperti eksekusi gelombang ke-3 ini bisa saja terjadi,” kata Julius.
Atas dasar kejanggalan dan kelemahan yang YLBHI temukan itu, lembaga hukum itu menyatakan:
Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri
1.Meminta Presiden dan Jaksa Agung untuk bertanggungjawab atas pelanggaran UU Grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015.
2. Mendesak Presiden untuk membentuk Tim Independen guna melakukan peninjauan dan penelitian terhadap seluruh kasus-kasus terpidana mati akibat masih maraknya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial (Peradilan yang bersih dan adil).
3. Mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah Moratorium Eksekusi Terpidana Mati dikarenakan kondisi hukum yang tidak dapat menjamin eksekusi mati berikutnya tidak didasarkan atas adanya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial (Peradilan yang bersih dan adil).
4. Meminta Presiden untuk menelaah dan mengkaji secara serius permohonan Grasi para terpidana mati, atas pertimbangan itu meminta Presiden untuk menerima Grasi para terpidana mati sebagai komitmen atas penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
5. Meminta Presiden untuk segera mencopot Jaksa Agung atas kinerja buruk dan kesalahan fatal dalam kinerja atas instruksi menjalankan eksekusi mati ilegal pada keempat terpidana mati. (L/P002/P001)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025