Zahra, Bocah Korban Kekejaman Pasukan Armenia

Sepekan telah berlalu sejak pembunuhan dua warga sipil – seorang wanita dan cucunya – oleh militer dan negara agresor itu belum mendapatkan hukuman sebagaimana seharusnya.

Pasukan Armenia yang menggunakan mortir 82-mm dan 120-mm, granat-granat lontar serta roket, menembaki desa Alkhanli di wilayah Fuzuli 4 Juli lalu. Akibat provokasi itu, penduduk desa, Sahiba Allahverdiyeva, 50 tahun, dan Zahra Guliyeva, 2 tahun, tewas. Salminaz Guliyeva, 52 tahun, yang cedera dilarikan ke rumahsakit dan menjalani operasi.

Republik Azerbaijan adalah sebuah negara di Kaukasus di persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya. Ia berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Georgia dan Armenia di barat, dan Iran di selatan. Republik Otonomi Nakhichevan (sebuah eksklave milik Azerbaijan) berbatasan dengan Armenia di sebelah utara, Iran di selatan, dan Turki di barat.

Azerbaijan adalah negara anggota dari Dewan Eropa sejak 2001. Mayoritas populasi (9 juta penduduknya) adalah Muslim Syiah dan turunan Turki barat, dikenal sebagai Azerbaijani, atau singkatnya Azeri. Negara ini resminya demokrasi, namun dengan peraturan otoritas kuat.

Pada 1990, orang Azeri berkumpul untuk memprotes kekuasaan Soviet dan menuntut kemerdekaan. Secara brutal demonstrasi itu ditindas oleh campur tangan Soviet dalam peristiwa yang kini disebut orang Azeri sebagai Januari Hitam. Namun pada 1991, Azerbaijan memproklamasikan kemerdekaannya saat jatuhnya Uni Soviet.

Sayangnya, tahun-tahun awal kemerdekaannya teralihkan dengan perang terhadap Armenia dan gerakan separatis Armenia atas kawasan Nagorno-Karabakh. Meski ada gencatan senjata di tempat sejak 1994, Azerbaijan belum memecahkan dengan Armenia atas wilayah yang dominannya orang Armenia.

Konflik atas Nagorno-Karabakh sudah berlangsung satu abad. Baik Armenians maupun Azeri menganggap wilayah itu milik mereka, secara budaya dan sejarah. Daerah kantong pegunungan itu luasnya sekira 4,400 m2.

Di bawah kekuasaan Soviet, kawasan yang mayoritas penduduknya etnis Armenia, merupakan sebuah wilayah otonomi di dalam negara Azerbaijan. Ketika Uni Soviet mulai pecah, etnis Armenia bersatu ke dalam negara Armenia, yang mengakibatkan perang tahun 1990-an.

Etnis Azeri melarikan diri ke Karabakh dan Armenia sementara etnis Armenia melarikan diri ke wilayah Azerbaijan yang tersisa. Sekitar 30.000 orang tewas dan ratusan dari ribuan etnis Azeri terusir dari wilayah itu serta beberapa daerah tetangganya. Tidak ada kesepakatan damai yang pernah ditanda-tangani dan kekerasan timbul secara sporadis dalam beberapa tahun terakhir ini.

Bulan April 2016, pertempuran maut berlangsung empat hari sebelum suatu genjatan senjata disepakati. Nagorno-Karabakh tak pernah diakui sebagai wilayah merdeka oleh masyarakat internasional, tetapi daerah itu didukung oleh Armenia.

Wilayah Nagorno-Karabakh yang dikelilingi pegunungan merupakan subyek dari perseteruan yang tak terpecahkan antara Azerbaijan, di mana lokasi itu berada, dan etnisnya yang mayoritas Armenia yang didukung oleh tetangganya – negara Armenia.

Tahun 1988, menjelang berakhirnya kekuasaan Soviet, pasukan Azerbaijan dan kelompok separatis Armenia memulai perang yang de facto menghasilkan negara merdeka di tangan etnis Armenia ketika suatu gencatan senjata ditanda-tangani tahun 1994.

Perundingan-perundingan sejauh ini gagal menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang permanen, dan perseteruan masih merupakan salah satu “konflik beku” paska Soviet-Eropa.

Serangan maut

Penduduk desa Alkhanli, 400 meter dari garis depan hidup damai sebelum terjadi insiden penembakan oleh tentara Armenia itu. Penduduk desa Alkhanli, yang sudah terbiasa dengan provokasi pasukan Armenia, dibuat sibuk oleh peristiwa tersebut.

“Pasukan Armenia secara teratur menembaki desa dengan senjata-senjata ringan,” kata penduduk desa Mazahir Guliyev kepada seorang wartawan ARB 24. “Tetapi sejak 2 Juli, mereka mulai menggunakan senjata-senjata artileri. Pada hari penembakan wanita itu, pasukan Armenia menembaki padang rumput dan tempat penyulingan kami.”

Menurut Guliyev, pasukan Armenia terus melanggar genjatan senjata dalam dua hari berikutnya. “Pada malam 4 Juli, mereka menembaki pusat desa dan akibatnya dua orang tewas.”

“Ini bukan untuk pertama kalinya – pasukan Armenia melakukan penembakan hampir setiap hari,” kata penduduk Alkhanli lainnya, Sevinj Mammadova. “Sebelumnya, mereka menembaki pekuburan, gedung-gedung, tetapi kemudian mereka menyasar penduduk….”

Zahra kecil sedang bermain di halaman dengan neneknya. Tba-tiba sebuah tembakan yang diletuskan oleh pasukan Armenia jatuh dekat mereka dan menewaskan dua orang tak berdosa itu – seorang nenek berusia 50 tahun dan cucu bocahnya yang bahkan belum merayaan ulang tahunnya yang kedua.

Saat ini, kehidupan di Alkhanli terus berjalan. Pasukan Armenia tidak membuat penduduk desa itu takut, “Mereka mencoba menakuti kami dengan cara itu. Tetapi mereka tak akan mencapai tujuannya – kami tidak takut pada mereka,” kata Salman Guliyev, kakek almarhumah Zahra.

Armenia kembali melakukan tindakan keji dan membunuh dua orang lagi yang hidup dengan tenang di desa asal mereka. Namun, lagi-lagi masyarakat internasional tutup mata atas kejahatan keji tersebut, sehingga Armenia tidak mendapatkan hukuman atas kekejamannya itu.

Sejumlah organisasi internasional memang menyampaikan pernyataan-pernyataan mereka mengutuk tindakan teror itu, tetapi tak satu pun dari mereka yang mengambil suatu tindakan serius terhadap pelakunya – Armenia.

Kini, penduduk desa Alkhanli, seperti juga seluruh bangsa Azerbaijan, merasa yakin bahwa saatnya akan tiba ketika penyerbu itu akhirnya mundur dari tanah-tanah Azerbaijan yang diduduki di kawasan tersebut. Setelah itu, kehidupan normal akan kembali ke seluruh wilayah garis perbatasan Azerbaijan, dan anak-anak akan hidup tenang, tanpa deru peluru atau penembakan oleh pasukan Armenia. (RS1/P1)

Sumber-sumber: AzerNews dan BBCNews

Miraj Islamic News Agency/MINA

Wartawan: illa

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.