Zakat dan Wakaf Sebagai Instrumen Sosial Islam dalam Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan masih merupakan permasalahan di Indonesia dan dari tahun ke tahun belum terselesaikan dengan optimal. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan (termasuk pendidikan).

Data menunjukkan bahwa pada Maret 2019, jumlah penduduk kategori miskin di Indonesia mencapai 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen. Walaupun angka ini menurun sebesar 0.25 persen dibandingkan pada bulan September 2018, tingkat kemiskinan masih tinggi dan tetap menjadi permasalahan yang harus diselesaikan tak hanya oleh pemerintah namun juga oleh semua pihak.

Instrumen keuangan sosial Islam yang dapat membantu adalah dan yang sangat potensial membantu program dan juga ketimpangan ekonomi di Indonesia. Hanya saja, banyak di antara kita yang belum mengetahui tentang zakat dan wakaf, lalu apa sebenarnya perbedaan keduanya?

Dosen dari Departemen Ekonomi Syariah, Dr M Iqbal Irfany dan dosen dari Departemen Ilmu Ekonomi, Dr Alla Asmara, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) mengupas mengenai konsep zakat dan wakaf sebagai instrumen sosial Islam yang dapat membantu dalam mengoptimalkan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Menurut Dr Iqbal, konsep zakat dalam pelaksanaannya terbagi menjadi zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah merupakan kewajiban berzakat bagi setiap individu baik untuk orang yang sudah dewasa maupun yang belum dewasa dan dibayarkan di saat bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri.

“Sedangkan zakat maal adalah zakat harta yang wajib dibayarkan bagi harta yang sudah mencapai nisab (batas harta minimum yang wajib dizakati) dan haul (periode dimana harta harus dikeluarkan zakatnya),” katanya, sebagaimana keterangan pers yang diterima MINA, Ahad (22/3).

Ia menambahkan, besaran harta yang wajib untuk dizakatkan berbeda-beda sesuai dengan harta yang dizakatkan. Zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk beras atau makanan pokok sekira 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa. Sedangkan besaran zakat maal yang harus ditunaikan menyesuaikan dengan jenis harta benda yang dizakatkan.

Ia menjelaskan, zakat wajib dikeluarkan oleh muslim sebagai muzakki (orang yang wajib membayar zakat) dan disalurkan kepada para mustahiq (penerima zakat) yang terbagi menjadi delapan ashnaf (golongan). Delapan asnaf itu diantaranya adalah fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqab (hamba sahaya), gharim (orang yang terlilit hutang), orang yang sedang berada di jalan Allah dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).

Sementara Dr Alla Asmara menyampaikan, konsep wakaf berbeda dengan zakat. Dalam pelaksanaannya, wakaf terbilang cukup fleksibel. Mulai dari harta benda yang diwakafkan hingga peruntukannya. Walaupun demikian, pelaksanaan wakaf tetap harus mengikuti beberapa persyaratan.

“Syarat ini merupakan hal yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf. Setidaknya terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah benda wakaf harus mempunyai nilai dan dapat digunakan dalam jual beli, pinjam meminjam serta sebagai hadiah. Tidak sah bagi harta benda yang tidak mempunyai nilai,” ujarnya.

Ia menambahkan, benda wakaf harus berupa benda yang jelas dari segi wujud dan batasannya, sehingga benda yang tidak diketahui secara pasti wujudnya dan mengandung sengketa di dalamnya tidak dapat diwakafkan. Lalu persyaratan yang terakhir adalah benda wakaf harus kekal, zatnya tidak boleh habis sewaktu-waktu. Sehingga mendermakan harta benda yang akan habis (zatnya) seperti makanan atau minuman dianggap tidak memenuhi persyaratan wakaf.

Kemudian Dr Iqbal dan Dr Alla menjelaskan perbedaan zakat dan wakaf. Kedua instrumen keuangan sosial Islami ini sangat berguna untuk membantu mengoptimalkan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Keduanya merupakan konsep pendistribusian harta benda yang adil dari kedua belah pihak. Satu pihak mendapatkan manfaat dari harta benda serta pihak lainnya diuntungkan dengan pahala yang terus mengalir.

Namun, antara zakat dan wakaf memiliki beberapa perbedaan, di antaranya adalah zakat hukumnya wajib dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan wakaf hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan).

Jadi zakat merupakan hal yang harus dilaksanakan karena zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang mampu. Adapun wakaf, walaupun sifatnya tidak wajib, jika dilaksanakan maka seseorang akan mendapatkan kemuliaan dari amal wakafnya tersebut.

Besaran harta yang dizakatkan dan diwakafkan juga berbeda. Besaran harta zakat sudah ditentukan sesuai dengan syariat Islam, seperti zakat fitrah yang sudah ditetapkan besarannya yaitu 2,5 kg beras atau 3,5 liter beras. Adapun besaran harta wakaf tidak memiliki ketentuan pastinya, yakni tidak dibatasi minimum dan maksimumnya. Bahkan seseorang, mahasiswa misalnya, sudah bisa berwakaf dengan wakaf uang sebesar Rp 5 ribu.

Jadi terlepas dari semua perbedaan tersebut, zakat dan wakaf sama-sama bertujuan baik untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tidak mampu, terutama dapat membantu mengentaskan kemiskinan.

Utamanya kita akan mendapatkan pahala yang akan tetap mengalir bahkan ketika sudah meninggal. Karena dengan wakaf, akan mengekalkan amal hingga akhirat.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.