Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Hesham Tillawi, seorang komentator politik di Louisiana, AS, mengemukakan bahwa konflik serangan koalisi Saudi ke Yaman atau yang kemudian diikuti serangan balasan Yaman, adalah bagian dari rencana Zionis memecah belah Timur Tengah.
“Ini bukan rencana Zionis baru, bahkan sudah dibicarakan sejak 1982. Termasuk apa yang terjadi di Irak dan Suriah,” ujar Tillawi dalam wawancara khusus dengan Press Tv, Jumat (14/8) pekan lalu.
“Akhirnya memang benar-benar terjadi, negara-negara Arab saling menyerang dengan negara-negara Arab lainnya,” imbuhnya
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Menurutnya, kekuatan intelejen Zionis memang dirancang untuk menciptakan bagaimana tempat di Timur Tengah tidak stabil.
Israel Raya
Penelitian Global Research pada 22 Maret 2015 menyebutkan, dokumen pembentukan Israel Raya (Greater Israel) merupakan landasan kuat faksi Zionis dalam pemerintahan Netanyahu saat ini. Didukung partai Likud, militer dan intelijen Israel. Dokumen itu diperjuangkan oleh Netanyahu pada tujuan politik untuk mengabaikan negara Palestina.
Editor Michel Chossudovsky menyebutkan, rencana Israel yang tertuang dalam Oded Yinon Plan 1982, sebagian sudah diterapkan dalam konteks saat ini, seperti perang di Irak (2001), Lebanon (2006), Libya (2011), Suriah (2012), belum lagi proses perubahan rezim di Mesir, harus dipahami dalam kaitannya dengan Rencana Zionis untuk Timur Tengah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Semua untuk melemahkan dan pada akhirnya terpecah belah negara-negara Arab sehingga memudahkan proyek ekspansionis Israel,” kata Chossudovsky.
Oded Yinon adalah seorang wartawan tokoh zionis di Kementerian Luar Negeri Isral waktu itu, yang menyampaikan proposal pada Februari 1982, tentang bagaimana mengeksploitasi ketegangan di negara-negara Arab, “Israel Should Exploit Internal Tensions of Arab States“.
Dalam kertas kerja berbahasa Ibrani tersebut, Yinon menolak gagasan bahwa Israel harus melaksanakan perjanjian Camp David dan mencari perdamaian. Sebaliknya, Yinon menunjukkan bahwa negara-negara Arab harus dihancurkan dari dalam dengan memanfaatkan ketegangan etnis internal dan isu sekte agama.
Pemecahbelahan dimulai dari Lebanon, kemudian ke seluruh dunia Arab : Mesir, Suriah, Irak, dan semenanjung Arab.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Suriah akan berantakan, sesuai dengan struktur etnis dan agama, menjadi beberapa negara seperti di Lebanon,” simpulan Yinon.
Desain Kolonial
Menurut Mahdi Darius Nazemroaya dalam jurnal Global Research tahun 2011, The Yinon Plan Rencana merupakan kelanjutan dari desain kolonial Inggris di Timur Tengah:
Nazemroaya, peneliti Timur Tengah dan Asia Tengah pada The Centre for Research on Globalization (CRG) berpusat di Montreal, Kanada, mengatakan, Yinon adalah rencana strategis Israel untuk memastikan keunggulan wilayah Israel.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
“Sebuah konfigurasi ulang lingkungan geo-politik melalui Balkanisasi negara-negara Arab dan sekitarnya menjadi negara lebih kecil dan lebih lemah,” ujarnya.
Ia menambahkan, Israel melihat Irak sebagai tantangan strategis terbesar mereka dari negara Arab. Itulah sebabnya mengapa Irak diuraikan sebagai pusat ke Balkanisasi Timur Tengah dan Dunia Arab.
Atas dasar konsep Yinon, ahli strategi Israel telah menyerukan pembagian Irak menjadi negara Kurdi dan dua negara Arab, satu untuk Muslim Syiah dan yang lainnya untuk Muslim Sunni. Langkah pertama menuju pembentukan ini adalah diciptakannya perang antara Irak dan Iran.
Setelah itu, bergeser ke Lebanon, Mesir, dan Suriah. Turki, Somalia, dan Pakistan juga terseret ke jalan itu. Yinon juga menyerukan pembubaran di Afrika Utara, penggulingan Mesir hingga meluas ke Sudan, Libya, dan seluruh daerah di kawasan Arab.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
“Israel sebenarnya sudah rapuh, maka untuk dapat bertahan hidup, Israel harus menjadi kekuatan regional dan harus memecah belah seluruh kawasan ke dalam negara-negara kecil dengan pembubaran semua negara Arab yang ada.
Kecil di sini akan tergantung pada komposisi etnis atau sektarian dari masing-masing negara. Akibatnya, harapan Zionis adalah bahwa negara-negara sektarian itu akan menjadi satelit Israel.
“Ide pecah belah sudah merupakan pemikiran strategi Zionis, itu bukan ide baru, dan bukan muncul untuk pertama kalinya. Tetapi ironisnya memang, negara-negara Arab itu terpecah ke dalam unit yang lebih kecil,” ungkap Mahdi Darius Nazemroaya, yang juga kontributor jaringan internasional untuk Al-Jazeera, Press TV dan Russia Today.
Termasuk menurut Nazemroaya, dilihat dalam konteks ini, perang Suriah dan Irak merupakan bagian dari proses ekspansi teritorial Israel. Caranya, Iintelejen Israel didukung AS dan NATO melancarkan perang salib yang ditujukan kepada Islamic State (ISIS), yang tujuan akhirnya adalah untuk menghancurkan Suriah dan Irak dari dalam sebagai negara bangsa.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Yinon dan ISIS
Sultana Afroz, guru besar di Universtas West Indies, Mona Campus, Jamaica, menmpaikan temuannya yang mengaitkan rencana global Zionis melalui Yinon Plan-nya dengan ISIS.
Afroz mengawali dari pesan video dan gambar dari kelompok ISIS yang mengenakan pakaian Islam dengan bendera Nabi, supaya disebut sebagai pejuang sunni, dengan mengusung Khilafah.
Kekuatan militer mana dan didukung siapa, hingga dalam tempo cepat ISIS mengambil alih Mosul. Tikrit, dan kilang minyak Baiji, Fallujah dan Ramadi di Provinsi Anbar, hingga ke perbatasan Suriah-Yordania.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Untuk menambah kekacuan dan pertikaian, maka dimunculkanlah isu sunni-syiah, plus etnis Kurdi Irak di bawah perlindungan AS yang sekarang di ambang menyatakan kemerdekaan penuh dari Baghdad.
Melalui ISIS inilah Irak kini di ambang pembagian menjadi tiga negara kecil: Sunni Irak, Syiah Irak dan Kurdistan. Serupa dengan proyek sebelumnya ketika AS-Inggris menipu dunia global dalam aksi militer invasi ke Irak dengan alasan Irak memiliki senjata pemusnah massal.
“Wartawan dan media barat yang terlibat dalam opini publik global telah menyesatkan dan menipu, dengan invasi Irak, dan kini proyek ISIS,” kata Sultana Afroz, penulis buku The Cold War and United States Military Aid to Pakistan.
Menurutnya, seperti Barat menciptakan Arab Spring di Afrika, proyek ISIS adalah penipuan paling buruk yang dirancang dengan niat kebencian untuk menimbulkan kekacauan regional untuk menciptakan sebuah “Timur Tengah Baru” (New Middle East), dengan Israel sebagai kekuatan pengendali minyak, gas dan sumber daya air di wilayah itu (Israel as the regional power in control of the region’s oil, gas and water resources).
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dengan cara itu semakin kuatlah dominasi hubungan AS-Israel. Hingga pada akhirnya dengan alasan mengatasi kehancuran akibat perang, datanglah utusan PBB dan intervensi militer internasional dengan alasan “melindungi warga sipil yang tidak bersalah”.
Kekacauan dan kehancuran yang disebabkan oleh ISIS dalam proses mendirikan ‘kekhalifahan’ di wilayah Irak dan Suriah merupakan realisasi dari kebijakan AS dan Barat dalam agenda jangka panjang menciptakan tiga negara : Sunni Khilafah, Republik Arab Syiah dan Republik Kurdistan.
Pembagian Irak menjadi tiga negara juga sudah diajukan oleh Wakil Presiden AS Joe Biden. Alasannya, Irak memiliki cadangan minyak terbesar di Timur Tengah, yang tidak bisa diambil begitu saja jika Irak bersatu sebagai negara dengan beragam etnis, bahasa dan sectarian.
Saling Bunuh
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Gilad Atzmon musisi Yahudi-Antizionis kelahiran Tel Aviv, kini sebagai aktivis politik dan penulis yang banyak membongkar rencana jahat Zionis mengatakan, bahwa memang apa yang ditargetkan dalam rencana Yinon 1982 adalah bagaimana Israel mempertahankan keunggulan regional.
Hal itu, menurut Atzmon, Penulis buku Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme (Kata Pengantar Ahmad Syafi’i Ma’arif), akan terwujud jika negara-negara Arab sekitarnya terpecah belah ke dalam unit-unit yang lebih kecil.
Tersirat di dalamnya adalah bagaimana orang-orang Arab dan Muslim saling membunuh dalam perang sektarian yang tak berujung itu. Sementara pada sisi lain, pesawat-pesawat tempur Barat dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya ikut memberangus kaum Muslimin dan warga Arab dengan dalih ‘Perang Melawan Terorisme’ (War Against Terrorism).
Analisis isu-isu ilmiah terkemuka, Harun Yahya dalam artikel Plan for Iraq Invasion Drawn up Decades Ago, Israel’s Policy Aimed at the Fragmentation of Iraq has Long Historical Roots, yang dipublish Pravda Rusia (1998), antara lain mencontohkan bagaimana AS dan sekutunya menyerang Irak dan menggulingkan rezim Saddam Hussein, yang ternyata sudah disiapkan jauh-jauh waktu sebelum peristiwa 11 September 2001.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Rencana itu sudah muncul sejak 1997 empat tahun sebelum peristiwa terjadi, ketika sekelompok think tank ahli strategi pro-Israel di Washington mengajukan skenario invasi ke Irak dengan manipulasi, yang mereka sebut dengan Project for The New American Century (PNAC).
Nama-nama yang paling menonjol dalam PNAC adalah Donald Rumsfeld (Menteri Pertahanan AS) dan Dick Cheney (Wakil Presiden), sebagai tokoh paling berpengaruh di pemerintahan George W. Bush.
Rumsfeld dan Cheney, dan sekelompok kecil ideolog konservatif telah memulai wacana untuk invasi Amerika ke Irak sejak 1997, empat tahun sebelum serangan 11 September dan tiga tahun sebelum Presiden Bush menduduki jabatannya.
Harun Yahya menambahkan, proyek dengan afiliasi Paul Wolfowitz (Wakil Sekretaris Pertahanan AS) sebenarnya sudah dimulai dengan mendesak Presiden Clinton untuk menyerang Irak Januari 1998. Akhirnya, di lapangan yang menjadi korban lagi-lagi adalah warga Muslim dan bangsa Arab.
Inilah politik Barat yang ingin menyaksikan umat Islam saling membunuh dan hancur dalam pertikaian internal. Barat telah memulai perang peradaban sejak dulu, tapi lebih rumit dari yang dikatakan oleh Samuel Huntington.
Mengapa perang Barat dengan Timur? Perang manusia dengan manusia, perang Timur dengan Timur, perang mazhab dengan mazhab, perang Syiah dan Sunni, perang Arab dengan Arab, namun semua ini terjadi di bawah skenario Barat. Dengan begitu, Barat tak perlu repot-repot mengeluarkan biaya atau mengorbankan tentaranya, perpecahan yang diciptakan di tengah umat Islam sudah cukup untuk menguasai Timur Tengah dengan fokus menjamin kepentingan Zionis Israel.
Bersatu
Negara-negara di kawasan Arab dan Timur Tengah pada khususnya serta dunia Islam pada umumnya, hakikatnya adalah satu saudara dan satu keluarga besar Muslim sedunia.
Mereka hidup bertetangga seperti Irak dan Iran, Irak dan Suriah, Palestina dan Jordania, Mesir dan Palestina, Arab Sausi dan Yaman, dan seterusnya. Rangkaian mata rantai yang sebenarnya tidak boleh dipisahkan. Ada kaitan sejarah yang kuat bahwa semuanya berasal dari umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Maka, untuk kembali pada kejayaan, keagungan dan kekuatan bersama, tidak lain adalah kembali bersatu, menjauhi fitnah dan tidak mudah dipecah belah. Koordinasi penyelesaian konflik adalah pada kemauan internal masing-masing negara, tanpa perlu melibatkan Barat, PBB apalagi Zionis.
Kalau tidak ada kemauan yang kuat untuk menyatukan diri dalam satu front kesatuan umat Islam, maka yang akan terjadi adalah fitnah dan fitnah di muka bumi ini.
Tepatlah jika Al-Quran mengingatkan, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (kaum Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (bersatu), niscaya akan terjadi fitnah(kekacauan) di muka bumi dan kerusakan yang besar” (Q.S. Al-Anfal [8]: 73). (T/P4/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)