GERAKAN Zionisme yang melahirkan negara Israel pada tahun 1948 telah menyebabkan perampasan tanah Palestina secara masif. Sejak berdirinya, Israel telah menguasai sekitar 85 persen wilayah historis Palestina, meningkat tajam dari hanya 6,2 persen yang dimiliki oleh komunitas Yahudi selama Mandat Inggris (1920-1948).
Proses perampasan ini terus berlanjut hingga kini. Pada tahun 2024, Israel mencatat rekor dengan menyita sekitar 2.370 hektare lahan di Tepi Barat yang diduduki, menjadikannya perampasan terbesar dalam lebih dari tiga dekade terakhir.
Penyitaan tanah tersebut sering kali dilakukan dengan mendeklarasikan area sebagai “tanah negara,” membuka jalan bagi pembangunan pemukiman ilegal. Misalnya, pada tahun 2024, Israel mendeklarasikan 1.269 hektare tanah di Lembah Yordan sebagai “tanah negara,” memungkinkan pembangunan ratusan unit perumahan pemukiman.
Sejak 1948, Israel telah merebut 85 persen tanah Palestina di Tepi Barat. Data ini diumumkan oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) pada peringatan 45 tahun Hari Tanah Palestina.
Baca Juga: Tarif Trump dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Proses Yahudisasi juga melibatkan perubahan demografi dan budaya. Sejak 1948, penduduk asli Arab Palestina mengalami penurunan signifikan, sementara jumlah pendatang Yahudi meningkat tajam. Data tahun 2016 menunjukkan bahwa 17.100 warga Al-Quds terpaksa meninggalkan kota, disusul oleh kedatangan 13.600 warga Yahudi baru.
Selain itu, Israel memalsukan realita dan sejarah dengan mengganti nama jalan, kampung, serta situs di Al-Quds dengan nama-nama Ibrani yang tidak memiliki kaitan dengan sejarah kota tersebut. Contohnya, Jabal al Mukabbar diubah menjadi Har Ovel, dan Pintu al Asbat menjadi Syaer Haryot.
Aktivitas pemukiman ilegal ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan. Masyarakat internasional, termasuk PBB, telah berulang kali mengutuk tindakan Israel ini, namun upaya diplomatik belum membuahkan hasil yang signifikan.
Dalam konteks masa depan, tindakan Israel yang terus memperluas pemukiman ilegal dan merampas tanah Palestina menimbulkan pertanyaan serius mengenai kelangsungan solusi dua negara. Dengan semakin berkurangnya wilayah yang dapat dijadikan negara Palestina yang berdaulat, prospek perdamaian menjadi semakin suram.
Baca Juga: Ketika Palestina Dibantai, Di Mana Suara Negara-Negara Arab?
Selain itu, tindakan ini juga memperburuk kondisi kemanusiaan di Palestina. Warga Palestina menghadapi pengusiran paksa, pembatasan akses terhadap sumber daya vital, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Hal ini menambah penderitaan rakyat Palestina dan memperdalam jurang perpecahan antara kedua belah pihak.
Pemerintah Israel, didukung oleh kelompok-kelompok pemukim ekstremis, terus mendorong agenda ekspansionis mereka. Organisasi seperti Amana, yang didirikan pada tahun 1978, telah bekerja sama dengan pemerintah Israel untuk membangun permukiman di seluruh Tepi Barat. Dalam beberapa tahun terakhir, bukti menunjukkan bahwa Amana juga mendukung pos-pos permukiman ilegal.
Dokumen pengadilan mengenai sengketa perdata yang melibatkan pemukim mengungkapkan bahwa Amana menyediakan dana yang digunakan untuk membangun pos-pos permukiman. Dalam rekaman pertemuan eksekutif pada tahun 2021 yang dibocorkan oleh seorang aktivis, terdengar CEO Amana, Ze’ev Hever, menyatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir, operasi yang mereka kembangkan adalah peternakan penggembalaan (pos terdepan). Area yang mereka kuasai hampir dua kali lebih luas dari pemukiman yang telah dibangun.
Tahun ini, pemerintah Kanada memasukkan Amana ke dalam daftar sanksi terhadap individu dan organisasi yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan dan destabilisasi terhadap warga sipil Palestina serta harta benda mereka di Tepi Barat. Sanksi tersebut tidak menyebutkan pos-pos secara spesifik, namun menyoroti peran Amana dalam mendukung aktivitas pemukiman ilegal.
Baca Juga: Melanjutkan Amal Kebaikan di Bulan Syawal
Meskipun ada tekanan internasional, pemerintah Israel tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan aktivitas pemukiman ilegalnya. Sebaliknya, mereka terus mengalokasikan sumber daya dan dukungan politik untuk memperluas kontrol mereka atas wilayah Palestina.
Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi komunitas internasional dalam upaya mereka untuk menegakkan hukum internasional dan mendorong solusi damai. Tanpa tindakan tegas dan konsisten dari negara-negara berpengaruh, prospek perdamaian di Timur Tengah akan tetap menjadi impian yang sulit dicapai.
Kesimpulannya, tindakan Zionis Israel dalam merampas tanah Palestina dan memperluas pemukiman ilegal telah menciptakan realitas yang mengancam masa depan solusi dua negara dan perdamaian di kawasan tersebut. Diperlukan upaya bersama dari komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan aktivitas ilegalnya dan menghormati hak-hak rakyat Palestina.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dolar, Drone, dan Darah: Ekspor Utama Amerika