Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات [٤٩]: ١٣)
Baca Juga: Pemuda dan Tanggung Jawab Pembebasan Al-Aqsa
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat di atas diawali dengan kata يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ditujukan untuk seluruh manusia, sejak diturunkannya ayat itu hingga kiamat. Islam dengan tegas melarang segala diskriminasi terhadap orang lain. Larangan itu termasuk memberi perlakuan berbeda karena perbedaan suku, ras, bangsa, jenis kelamin, warna kulit, status sosial, dan lainnya.
Ayat di atas sempat viral di perhelatan Piala Dunia di Qatar 2022 silam, ketika diucapkan oleh seorang motivator penyandang disabilitas bernama Ghanim Al-Muftah. Ia membacakan ayat tersebut dalam bahasa Arab, kemudian diikuti oleh aktor Hollywood Morgan Freeman yang membacakan terjemahannya dalam Bahasa Inggris.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya “Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir Bil-Ma’tsur” menyebutkan, terdapat dua sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat ke-13 dari surah Al Hujurat tersebut.
Baca Juga: Kehidupan Berjama’ah Berimamah, Kunci Optimalisasi Pengamalan Syariat Islam
Pertama, pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah) pada tahun ke-8 Hijriyah. Ketika itu sahabat Bilal bin Rabah Radhiallahu anhu naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan.
Hal itu membuat sebagian penduduk Makkah yang baru memeluk Islam terkaget-kaget. Di antara mereka ada yang berkata, “Budak hitam itukah yang adzan di atas Ka‘bah?” dengan nada meremehkan.
Sementara yang lainnya berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat ke-13 surah Al-Hujurat di atas, bahwa warna kulit dan keturunan bukan menjadi ukuran kemuliaan seseorang, melainkan ketakwaanlah yang membedakannya.
Kedua, asbabun nuzul ayat tersebut berkenaan dengan permintaan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam kepada seorang dari Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan seorang sahabat bernama Abu Hind yang berprofesi sebagai pembekam.
Baca Juga: Menelusuri Hadis-Hadis Akhir Zaman, Suriah, Dajjal, dan Al-Aqsa
Tetapi Bani Bayadhah enggan melakukannya dengan alasan Abu Hind merupakan bekas budak mereka. Kemudian turunlah ayat tersebut sebagai jawaban bahwa kedudukan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala diukur bukan dari silsilah nasab, garis keturunan atau pangkat dan kebangsawanan, melainkan karena ketakwaannya di sisi-Nya.
Ayat di atas menjadi dalil untuk menghapus fanatisme jahiliyah dan diskriminasi sosial. Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).
Baca Juga: Ukhuwah, Teras Kehidupan Berjama’ah yang Membawa Berkah
Inilah pesan universal yang isinya menghapus perbedaan kasta dalam masyarakat Arab, dan manusia pada umumnya, serta menegaskan bahwa sebagai hamba Allah bukan asal keturunan, harta, bentuk rupa atau status profesi yang menentukan keutamaan hamba Allah, akan tetapi ketakwaan.
Dalam khutbah Fathu Makkah, Rasulullah bersabda, yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian keburukan masa jahiliyah dan tradisinya yang selalu membangga-banggakan nasab dan keturunan. Manusia (di sisi Allah Ta’ala) itu hanya ada dua macam; yakni mereka yang berbakti, bertakwa lagi mulia dan orang-orang yang durhaka, celaka lagi hina.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam sejarah panjang umat manusia, persoalan diskriminasi dan kebencian antar kelompok sering kali menjadi luka yang sulit sembuh. Salah satu istilah yang terus menyisakan perdebatan dan kontroversi adalah “antisemitisme”.
Hal itu menjadi realitas sosial, politik, dan sejarah yang memengaruhi dinamika dunia. Bagaimana Islam memandang antisemitisme? Apakah kebencian terhadap Yahudi memang sesuai dengan ajaran agama ini, atau justru bertentangan dengan nilai-nilai universal yang dibawa oleh Rasulullah?
Baca Juga: Mencetak Generasi Pecinta Shalat di Awal Waktu
Antisemitisme dan Sejarahnya
Istilah “Semit” berasal dari nama Sam (Shem), yakni salah satu dari tiga putra Nabi Nuh Alaihi Salam (Sam, Ham, dan Yafit). Dalam tradisi agama dan sejarah, Sam dianggap sebagai leluhur dari bangsa-bangsa yang kemudian dikenal sebagai bangsa Semit, yaitu Arab dan sebagian Eropa. Sementara Ham menjadi leluhur bangsa Afrika dan Yafit leluhur bangsa Asia tengah dan sebagian Eropa timur.
Istilah antisemitisme pertama kali muncul pada abad ke-19, didefinisikan sebagai prasangka, kebencian, atau diskriminasi terhadap orang Yahudi sebagai kelompok etnis, agama, atau ras.
Antisemitisme sering kali terkait dengan stereotip agama. Dalam kepercayaan masyarakat Kristen Eropa, kaum Yahudi dituduh bertanggung jawab atas kematian Yesus.
Baca Juga: Agar Tenang Menghadapi Segala Takdir Allah
Saat ini, antisemitisme memiliki dimensi politik yang kompleks. Tuduhan antisemitisme sering kali digunakan sebagai alat politik oleh kelompok Yahudi, terutama Zionis untuk membungkam kritik terhadap Israel. Fenomena ini menunjukkan bahwa antisemitisme telah bergeser dari persoalan agama menjadi persoalan politik global.
Agenda politik global seperti zionisme, sering kali menggunakan narasi antisemitisme untuk melegitimasi tindakan yang kontroversial, termasuk penjajahan dan pendudukan mereka di wilayah Palestina.
Antara Israil, Bani Israil, Ahli Kitab dan Yahudi
Israil adalah nama lain dari Nabi Ya’kub Alaihi Salam. Beliau diberi gelar Israil karena suka berjalan di waktu malam. Riwayat lain menyebut Israil berarti seorang hamba yang berjuangan untuk Allah.
Baca Juga: Ahlul Qur’an, Pelita Umat dalam Cahaya Ilahi
Keturunan Nabi Ya’kub kemudian disebut sebagai Bani Israil. Sebagian dari mereka ada yang berada dalam ketaatan, tetap berpegang teguh kepada agama tauhid yaitu Islam. Namun sebagian lainnya durhaka dengan melakukan perbuatan syirik dan berbagai kemaksiatan.
Nabi Ya’kub memiliki 12 putra. Salah satunya bernama Yehuda. Yahudi awalnya adalah sebuah gelar bagi keturunan Yehuda. Namun dalam konteks yang disebut dalam Al-Qur’an, Yahudi adalah mereka yang memiliki sifat-sifat buruk, mendustakan para rasul setelah Nabi Musa Alaihi Salam, termasuk Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam.
Adapun Ahli Kitab adalah orang-orang kalangan Bani Israil yang diberi kitab Taurat dan Injil (Yahudi dan Nashrani). Mereka memahami isi kitab tersebut, kemudian menyampaikannya kepada kaumnya. Sebagian kecil ahli kitab di masa Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam berbuat jujur dan mengakui kerasulan beliau. Namun sebagian besar mereka mendustakan dan menyembunyikan kebenaran di hadapan kaumnya.
Orang-orang Yahudi mengubah status Nabi Uzair Alaihi Salam menjadi tuhan, atau masuk ke dalam derajat ketuhanan, dalam posisi sebagai anak tuhan. Sementara sebagian dari mereka menjadikan Nabi Isa Alaihi Salam yang lahir di Nazareth sebagai tuhan, sehingga mereka disebut kaum Nashrani.
Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar
Bukti Yahudi Menyebarkan Antisemitisme
Banyak pihak berpendapat bahwa antisemitisme disebarkan oleh kelompok Yahudi, khususnya gerakan Zionis, demi memupuk simpati internasional terhadap mereka. Dalam konteks ini, antisemitisme bukan lagi hanya soal kebencian terhadap orang Yahudi, melainkan alat propaganda untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Dalam perkembangannya, antisemitisme meluas hingga mencakup kritik terhadap kebijakan negara Israel. Di berbagai forum internasional, siapa pun yang mengkritik Israel sering kali dicap antisemit, meskipun kritik tersebut didasarkan pada pelanggaran hak asasi manusia.
Hal ini memicu perdebatan tentang apakah label antisemitisme digunakan sebagai perisai untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan kejahatan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina.
Baca Juga: Korupsi, Dosa dan Bahayanya dalam Islam
Menurut Noam Chomsky, seorang intelektual Yahudi yang sering mengkritik kebijakan Israel, “Melabeli kritik yang sah sebagai antisemitisme adalah cara untuk membungkam diskusi yang penting tentang keadilan dan hak asasi manusia.” Pendapat ini mencerminkan pandangan sebagian masyarakat internasional yang melihat narasi antisemitisme yang digunakan untuk menolelir kejahatan Zionis.
Dengan menonjolkan penderitaan Yahudi dalam Holocaust yang masih menjadi kontroversi, mereka mendapatkan simpati global yang kemudian digunakan untuk mendukung pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Peringatan Holocaust setiap tahunnya menjadi simbol penting bagi masyarakat Yahudi, tetapi juga sering dikritik karena digunakan untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan kemanusiaan dan pelanggarah HAM yang mereka lakukan di Palestina.
Norman Finkelstein, dalam bukunya “The Holocaust Industry,” berpendapat bahwa penderitaan Yahudi telah menjadi komoditas politik. Ia menulis, “Eksploitasi Holocaust oleh kelompok tertentu telah menciptakan rasa bersalah yang mendalam di masyarakat Barat, yang dimanfaatkan untuk membenarkan kebijakan ekspansionis Israel.”
Faktanya saat ini, narasi antisemitisme sering kali mengabaikan penderitaan rakyat Palestina yang terusir dari tanah mereka. Sejak pembentukan negara Israel, jutaan orang Palestina menjadi pengungsi, dan angka ini terus bertambah akibat konflik yang berkepanjangan.
Baca Juga: Doa, Usaha, dan Keajaiban: Rahasia Hidup Berkah
Orang Yahudi dari kaum Zionis justru melakukan diskriminasi, perampasan tanah, dan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Palestina. Dalam konteks ini, narasi antisemitisme dianggap sebagai bentuk pembenaran untuk tindakan yang dianggap melanggar hukum internasional.
Dr. Ilan Pappé, seorang sejarawan Yahudi menggambarkan kebijakan Israel terhadap Palestina sebagai “pembersihan etnis yang sistematis.” Menurutnya, narasi antisemitisme sering digunakan untuk menutupi pelanggaran-pelanggaran ini dan untuk membungkam kritik internasional.
Maka, masyarakat internasional hendaknya lebih kritis dalam memahami antisemitisme. Zionis Israel lah yang menciptakan doktrin itu yang kemudian digunakan untuk melegalkan perbuatan jahat mereka menguasai bumi Palestina dengan menghancurkan Masjidil Aqsa, merampas tanah Palestina dan melakukan aksi genosida di Gaza.
Islam sendiri sebagai agama yang rahmatan lil alamiin menentang diskriminasi berdasarkan suku, wrna kulit dan bangsa. Semua manusia memiliki kedudukan sama di sisi Allah Ta’ala. Yang membedakan hanyalah takwanya.
والله أعلمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)